Raden Mas Panji Margono (wafat: 1750 M) adalah seorang keturunan trah Panji Lasem dan merupakan salah satu dari PahlawanLasem dalam pertempuran melawan VOC yang biasa dikenal dengan Perang Kuning. Ia adalah putra dari seorang AdipatiLasem bernama Tejakusuma V (Raden Panji Sasongko). Pada saat perang kuning, ia menggunakan nama samaran Tan Pan Ciang dan dicatat dalam Babad Tanah Jawi sebagai Encik Macan.[1][2]
Bersama Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oei Ing Kiat) dan Tan Kee Wie, mereka bertiga mengangkat senjata untuk melawan pasukan VOC dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Kuning. Tan Kee Wie akhirnya gugur di selat Mandalika pada tahun 1742, sementara Raden Panji Margono dan Mayor Oei Ing Kiat gugur pada tahun 1750. Meskipun kalah dalam perang melawan Belanda, kisah heroik ketiganya dimonumenkan dalam bentuk Kelenteng Gie Yong Bio yang dibangun oleh warga Tionghoa Lasem pada tahun 1780.[1][3] Pada saat menjelang wafat, ia berpesan agar istri dan anaknya yang masih bayi (Raden Panji Witono) diungsikan ke Dukuh Narukan, Desa Dorokandang.
Silastuti (akhirnya menikah dengan adipati dari Mataun)
Santiwira (akhirnya menjadi Ki Ageng mBedhog, cikal bakal Desa mBedgog Pamotan)
Sulantari (akhirnya menikah dengan Tumenggung Pamotan)
Sulanjari (akhirnya menikah dengan Ki Ageng Ngataka, cikal bakal Desa Karangasem dan Gedhug)
Silarukmi (akhirnya menikah dengan Ki Demang Ngadhem)
Santiyoga (mendapat julukan Ki Ageng ngGada, menjadi Bintara Dhang Puhawang membantu kakaknya (Santipuspa), serta menjadi salah satu pimpinan Prajurit Pathol dan mengepalai pathol-pathol dari Nggada sampai Sarang)
Santidharma (akhirnya menjadi Demang di daerah Bakaran (Juwana) dan menurunkan pembesar-pembesar di Juwana dan Jakenan Pati)
Silagati (akhirnya menikah dengan Ki Ageng Sutisna dari Criwik, menurunkan pembesar-pembesar di bumi Argasoka)
Santikusuma (sejak kecil ditinggal ayahnya mengabdi ke Majapahit dan diasuh Santipuspa, saat dewasa dibimbing kakeknya Sunan Bejagung dari Tuban dan diberi nama Said, kelak menjadi waliyullah yang tersohor dengan sebutan Kalijaga)
R. Panji Margono (menolak menjadi adipati) dikenal juga dengan nama samaran Tan Pan Ciang dan Encik Macan
Penghormatan oleh etnis Tionghoa
Masyarakat Lasem pada masa itu sangat berduka karena gugurnya Raden Panji Margono. Penduduk Tionghoa di Lasem menghormatinya dan membuat patungnya (kimsin) untuk diletakkan di atas altar pada kelenteng Gie Yong Bio di Lasem. Penghormatan Raden Panji Margono sebagai seorang Jawa-muslim oleh komunitas Tionghoa di Lasem dapat disebut unik di seluruh Indonesia, selain menjadi bukti persahabatan leluhur kedua komunitas.[4]
^Pusat Studi Sejarah & Budaya Maritim Universitas Diponegoro. 2003. "Menggali Warisan Sejarah untuk Pengembangan Objek Wisata. Rembang: Kantor Pariwisata Kabupaten Rembang.