Kitab Yesus bin Sirakh (disingkat Kitab Sirakh atau Sirakh; akronim Sir.) merupakan salah satu kitab yang termasuk dalam kelompok kitab-kitab hikmat dan menjadi bagian dari golongan Deuterokanonika pada Perjanjian Lama bagi kanon Kitab Suci Katolik. Kitab ini juga menjadi salah satu kitab pada Septuaginta dan pada Perjanjian Lama dalam Alkitab Ortodoks. Kitab ini tidak dianggap kanonik oleh Alkitab Ibrani (Tanakh) dan dianggap sebagai apokrifa dalam kanon Alkitab Protestan. Kitab ini juga disebut Kitab Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh, Kitab Putra Sirakh,[1] atau Kitab Eklesiastikus (bahasa Latin: Liber Ecclesiasticus) dalam beberapa versi Alkitab tertentu.[2]
Nama
Yesus dan Sirakh
Nama kitab ini merujuk pada tokoh Yesus bin Sirakh, yang dipercaya menjadi penulis kitab ini dan merupakan seorang Yahudi Helenistik yang menjadi juru tulis, orang bijak, dan alegoris pada abad ke-2 SM, yaitu ketika Yudea sedang dikuasai Seleukia. Nama kitab tersebut diterjemahkan dari nama kitab ini dalam Alkitab VulgataLatin versi-versi awal, "Liber Iesu filii Sirach" ("Kitab Yesus anak Sirakh"). Nama tersebut pada gilirannya berasal dari nama kitab ini dalam Alkitab SeptuagintaYunani Koine "Σοφία Ίησου Σειράχ" (Sofía Íisou Seirách, "Kebijaksanaan Yesus Sirakh"), yang menjadi sumber terjemahan nama "Kitab Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh". Bapa Gereja Yunani menyebut kitab ini sebagai "Kebijaksanaan yang Berbudi Luhur".
Nama "Kitab Putra Sirakh" merupakan terjemahan dari nama kitab ini dalam naskah sumber Ibrani ספר בן סירא (Sefer ben Sirak, har. "Kitab bin/Putra Sirakh"), yang juga disebut משלי בן סירא (Misylei ben Sirak, har. "Mazmur bin/Putra Sirakh") atau חכמת בן סירא (Khokhmat ben Sirak, har. "Hikmat/Kebijaksanaan bin/Putra Sirakh").
Nama "Yesus" sendiri merupakan serapan dari bahasa Latin: Iesus, yang merupakan serapan dari bahasa Yunani Kuno: Ἰησοῦς (Iēsoûs), yang kemungkinan besar diserap dari bahasa Ibrani: יֵשׁוּעַ (Yeshua) atau bahasa Aram: ܝܶܫܽܘܥ/יֵשׁוּע (Yesyu), yang merupakan kependekan dari nama Ibrani יְהוֹשֻעַ (Yehosyua). Nama tersebut diperkirakan merupakan gabungan nama יה (Yah) dan kata הוֹשֵׁעַ (hosyea, har. "selamatkan, Hosea") atau הוֹשִׁיעַ (hosyia har. "menyelamatkan"), sehingga menghasilkan arti kira-kira "Yahweh adalah keselamatan" atau "keselamatan pada Yahweh". Nama Yesus merupakan varian dari nama Yesua, Yosua, dan Hosea.
Sementara itu, nama "Sirakh" kemungkinan berasal dari kata bahasa Aram yang telah usang, yang berarti "duri".
Eklesiastikus
Bapa Gereja Latin, dimulai dengan Santo Siprianus pada abad ke-3, menyebut kitab ini sebagai "Eklesiastikus" (bahasa Latin: Ecclesiasticus; bahasa Yunani Kuno: Ἐκκλησιαστικός, translit. Ekklēsiastikós), yang secara harfiah berarti "gerejawi", karena kitab ini saat itu sering dibacakan di dalam gereja-gereja. Penggunaan julukan tersebut kemudian berkembang menjadi nama diri kitab ini menggantikan nama kitab aslinya. Hingga saat ini, banyak versi Kitab Suci Katolik yang masih menggunakan istilah "Eklesiastikus" untuk merujuk pada kitab ini alih-alih "Yesus bin Sirakh" atau "Putra Sirakh".
Isi
Kitab Sirakh merupakan suatu karya yang berisikan ajaran-ajaran etika dari sekitar tahun 180-175 SM. Seperti kitab-kitab hikmat lainnya, kitab ini juga disusun dalam bentuk puisi yang bertemakan hikmat/kebijaksanaan.
Sumber
Kitab ini awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani, tetapi di dalam perjalanan waktu naskah tersebut hilang. Sumber terawal yang dapat ditemukan saat ini adalah naskah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani oleh cucunya (yang tidak diketahui namanya) di Mesir, yang menambahkan bagian prolog atau pengantar kitab ini. Prolog tersebut umumnya dianggap sebagai saksi yang paling awal akan adanya sebuah kanon dari kitab-kitab para nabi, dan dengan demikian tarikhnya menjadi subjek pengamatan yang intens. Kitab ini sendiri merupakan kitab hikmat atau kebijaksanaan terbesar yang terlestarikan dari zaman kuno.[3]
Menurut versi Yunani, meskipun tidak ditemukan dalam versi Siria, si penulis banyak berkelana (34:11) dan sering kali menghadapi bahaya maut (1b:12). Dalam nyanyian dari pasal 51, ia berbicara tentang segala jenis bahaya yang daripadanya Allah telah melepaskannya. Cemooh yang dihadapinya di hadapan seorang raja tertentu, konon salah satu dari wangsa Ptolemeus, hanya disebutkan di dalam versi Yunani, dan diabadikan di dalam teks bahasa Suryani dan Ibrani. Satu-satunya fakta yang diketahui pasti, yang diambil dari teks itu sendiri, ialah bahwa Bin Sirakh adalah seorang sarjana, dan seorang ahli Taurat yang sangat paham tentang Taurat, dan khususnya dalam "Kitab-kitab Hikmat."
Sirakh tidak termasuk dalam kanon Yahudi, yang penetapannya pernah dianggap dilakukan pada suatu konsili hipotetis di Yamnia, kemungkinan karena kepenulisannya yang belakangan,[6] kendati tidak ada kejelasan apakah kanon tersebut telah benar-benar "ditutup" pada zaman Ben Sira.[7] Kalangan lainnya mengemukakan bahwa identifikasi diri yang dilakukan Ben Sira sebagai penulisnya menjadi penghalang untuk meraih status kanonik, yang diperuntukkan bagi karya-karya yang dikaitkan (atau dapat dikaitkan) dengan para nabi.[8] Kemungkinan penyebab lainnya yang membuat kitab ini ditolak dalam kanon Yahudi yaitu reaksi balasan para rabi atas diterimanya kitab ini oleh komunitas Kristen yang baru tumbuh pada saat itu.[9]
Namun beberapa kalangan diaspora Yahudi memandang Kitab Sirakh sebagai kitab suci. Sebagai contoh, kitab ini termasuk dalam kanon Septuaginta, yaitu kitab-kitab Yahudi versi Yunani dari abad ke-2 SM yang digunakan oleh kalangan diaspora Yahudi, dan melaluinya kitab ini menjadi bagian dari kanon Yunani. Banyaknya fragmen-fragmen naskah yang ditemukan di Geniza Kairo membuktikan statusnya yang otoritatif di antara kalangan Yahudi Mesir hingga Abad Pertengahan.[10]
Karena tidak termasuk dalam kanon Yahudi, Kitab Sirakh tidak dimasukkan ke dalam kanon Protestan menyusul terjadinya Reformasi Protestan.
Muatan teologis
Pengaruh dalam liturgi Yahudi
Bin Sirakh digunakan sebagai dasar dari dua bagian penting dari liturgi Yahudi. Dalam "Mahzor" (buku doa hari kudus), seorang penyair Yahudi abad pertengahan menggunakan "Bin Sirakh" sebagai dasar untuk sebuah puisi, "KeOhel HaNimtah", dalam kebaktian musaf ("tambahan") Yom Kippur. Penelitian yang belakangan menunjukkan bahwa kitab ini merupakan dasar dari doa yang paling penting dari semua doa Yahudi, Amidah. Bin Sirakh tampaknya memberikan kosakata dan kerangka bagi banyak dari berkat Amidah.
Seorang akademisi patristik terkenal bernama Henry Chadwick mengklaim bahwa dalam Matius 11:28 Yesus mengutip langsung dari Sirakh 51:23Diarsipkan 2016-08-04 di Wayback Machine. ,[15][16] serta membandingkan Matius 6:12 ("Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.") dengan Sirakh 28:2Diarsipkan 2016-08-04 di Wayback Machine. [17] ("Ampunilah kesalahan kepada sesama orang, niscaya dosa-dosamu pun akan dihapus juga, jika engkau berdoa.")[16]
Penafsiran mesianik oleh kalangan Kristen
Beberapa kalangan Kristen memandang katalog para pria ternama dalam Kitab Sirakh mengandung beberapa referensi mesianis. Yang pertama diperlihatkan pada ayat-ayat mengenai Daud. Sirakh 47:11Diarsipkan 2016-08-04 di Wayback Machine. [18] berbunyi, "Tuhan mengampuni segala dosanya serta meninggikan tanduknya untuk selama-lamanya. Iapun memberinya perjanjian kerajaan, dan menganugerahkan kepadanya takhta yang mulia di Israel." Ini merujuk pada perjanjian dalam 2 Samuel 7, yang menunjuk kepada Mesias. Kata "tanduk" merupakan terjemahan harfiah dari kata Ibrani qeren. Kata ini sering digunakan dalam pengertian mesianis dan keturunan Daud (misalnya Yehezkiel 29:21, Mazmur 132:17, Zakharia 6:12, Yeremia 33:15). Selain itu juga digunakan dalam Kidung Zakharia untuk menyebut Yesus ("Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu.").[19]
Ayat lainnya, yaitu Sirakh 47:22, yang ditafsirkan secara mesianis kembali merujuk pada 2 Samuel 7. Ayat ini berbicara mengenai Salomo dan dilanjutkan dengan mengatakan bahwa keturunan Daud akan berlanjut selamanya, lalu berakhir dengan menyampaikan bahwa "diberikan-Nya suatu sisa kepada Yakub, dan sebuah akar kepada Daud yang tumbuh dari padanya." Hal ini merujuk pada nubuat Yesaya mengenai Mesias: "Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah." (Yesaya 11:1) dan "Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa ..." (Yesaya 11:10).[20]
^Manhardt,Laurie, Ph.D., Come and See Wisdom: Wisdom of the Bible, p. 173(Emmaus Road Publishing 2009), ISBN 978-1-931018-55-5.
^Ska, Jean Louis, The Exegesis of the Pentateuch: Exegetical Studies and Basic Questions, pp. 184–195 (Mohr Siebeck Tubingen 2009), ISBN 978-3-16-149905-0.
^Mulder, Otto, Simon the High Priest in Sirach 50, p. 3 fn.8 (Koninkliijke Brill nv 2003), ISBN 978-90-04-12316-8 ("The highly esteemed book of Ben Sira is not sacred Scripture [because] 'the author was known to have lived in comparatively recent times, in an age when, with the death of the last prophets, the holy spirit had departed from Israel.").
^Sulmasy, Daniel P., M.D. The Rebirth of the Clinic: An Introduction to Spirituality in Health Care, p. 45 (Georgetown Univ. Press 2006), ISBN 978-1-58901-095-6.
^ abChadwick, Henry.(2001) The Church in Ancient Society: From Galilee to Gregory the Great Clarendon Press, Oxford, England, page 28, ISBN 0-19-924695-5
^Skehan, Patrick (1987) The Wisdom of Ben Sira: a new translation with notes (Series: The Anchor Bible volume 39) Doubleday, New York, p. 524, ISBN 0-385-13517-3