Sebagaimana perkembangan kanon Perjanjian Lama, kanon Perjanjian Baru juga mengalami proses secara bertahap. Sebuah artikel dari Catholic Encyclopedia tentang Perjanjian Baru menjelaskan proses perangkaian berbagai surat dan sejarah yang beredar dalam Gereja awal mula sampai kanon tersebut disahkan oleh serangkaian konsili yang berupaya memastikan legitimasi kitab-kitab tersebut sebagai kitab suci yang terinspirasi atau terilhami:
Gagasan bahwa kanon yang lengkap dan jelas dari Perjanjian Baru telah ada sejak awal, yaitu dari masa Apostolik, tidak memiliki dasar dalam sejarah. Kanon Perjanjian Baru, seperti yang Lama, merupakan hasil dari suatu perkembangan, dari suatu proses yang secara bersamaan dipicu oleh perdebatan dengan mereka yang meragukannya, baik di dalam maupun di luar Gereja, diperlambat oleh berbagai keraguan alamiah dan ketidakjelasan tertentu, dan tidak mencapai kesepakatan akhir sampai definisi dogmatis yang dilakukan dalam Konsili Trento.[1]
Pada tahun 331, Kaisar Konstantinus I menugaskan Eusebius dari Kaisarea untuk mengirimkan 50 Alkitab bagi Gereja Konstantinopel. Athanasius[2] mencatat para ahli kitab dari Aleksandria sedang mempersiapkan Alkitab-Alkitab untuk Kaisar Konstans pada sekitar tahun 340. Hanya sedikit hal lainnya yang diketahui, kendati ada banyak spekulasi seputar hal tersebut. Sebagai contoh, ada dugaan bahwa hal ini mungkin mendorong adanya pendaftaran kanon, dan bahwa Kodeks Vaticanus dan Kodeks Sinaiticus merupakan beberapa contoh dari Alkitab-Alkitab ini. Kodeks-kodeks tersebut nyaris merupakan versi lengkap dari Septuaginta; Vaticanus hanya kekurangan 1–3 Makabe dan Sinaiticus tidak mencakup 2–3 Makabe, 1 Esdras, Barukh, dan Surat Nabi Yeremia.[3] Bersama dengan Pesyita dan Kodeks Alexandrinus, Kodek Vaticanus dan Sinaiticus merupakan Alkitab-Alkitab Kristen paling awal yang masih ada hingga sekarang.[4]
Penugasan oleh PausDamasus I kepada Hieronimus untuk mengerjakan Alkitab edisi Vulgata berbahasa Latin, ca 383, memiliki peranan penting dalam penetapan kanon di Barat.[6] Daftar di bawah ini konon disahkan oleh Paus Damasus I:
Kedua kitab Esdras merujuk pada Kitab Ezra dan Kitab Nehemia sebagaimana adanya dalam satu kitab (‘Ezrā) di Alkitab Ibrani; Hieronimus, dalam Kata Pengantar Kitab Samuel dan Raja-raja, menjelaskan bahwa "untuk kelompok ketiga dalam Hagiografa, yang mana kitab pertama dimulai dengan Ayub, ... yang kedelapan, Ezra, yang mana juga dibagi menjadi dua kitab di kalangan Yunani dan Latin; yang kesembilan adalah Ester."[7] Kelima kitab Salomo mengacu pada Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan Salomo, dan Sirakh (Eklesiastikus).[8]
Paus Damasus I sering kali dianggap sebagai bapa dari kanon Katolik, karena apa yang dipandang sebagai daftarnya sesuai dengan kanon Katolik saat ini. Apa yang disebut sebagai "daftar Damasian", yang mana sebagian kalangan mengaitkannya dengan Decretum Gelasianum,[9] dianggap merujuk pada Konsili Roma tahun 382 di bawah kepemimpinan Paus Damasus I. Daftar tersebut identik dengan apa yang kemudian dirumuskan dalam Kanon Trente,[10] dan kendati ada yang menganggap teks tersebut bukan Damasian, setidaknya dianggap sebagai suatu kompilasi yang berharga dari abad ke-6.[11][12]The Oxford Dictionary of the Christian Church menyatakan bahwa, "Suatu konsili kemungkinan diadakan di Roma pada tahun 382 di bawah kepemimpinan St. Damasus yang memberikan sebuah daftar lengkap berisi kitab-kitab kanonik baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (juga dikenal sebagai 'Dekret Gelasius' karena direproduksi oleh Gelasius pada tahun 495), yang mana identik dengan daftar yang diberikan di Trente."[13]
Agustinus dari Hippo menyatakan bahwa seseorang seharusnya "lebih memilih apa yang diterima oleh semua Gereja Katolik daripada apa yang tidak diterima oleh beberapa dari mereka" (De doctrina christiana 2.12, bab 8).[14] Yang dimaksudkan Agustinus oleh "Gereja-gereja Katolik" adalah mereka yang setuju dalam penilaian ini, karena saat itu banyak Gereja Timur yang menolak beberapa dari kitab yang dipertahankan penerimaannya secara universal oleh Agustinus. Dalam bagian yang sama ia menegaskan bahwa gereja-gereja yang tidak sepakat ini semestinya terkalahkan oleh pendapat-pendapat dari "gereja-gereja yang lebih banyak dan lebih tinggi", yang mungkin mencakup Gereja-gereja Timur, suatu wibawa yang mana Agustinus nyatakan menggerakkannya untuk menyertakan Kitab Ibrani di antara tulisan-tulisan kanonik, kendati ia masih bertanya-tanya mengenai kepengarangannya.[15]
Agustinus mengorganisir tiga sinode/konsili terkait kanonisitas: Sinode Hippo tahun 393, Konsili Kartago tahun 397, dan satu lagi di Kartago pada tahun 419 (M 237-8). Masing-masing sinode ini menegaskan hukum Gereja yang sama: "tidak ada satu pun yang dapat dibacakan dalam gereja atas nama kitab-kitab suci ilahi" selain Perjanjian Lama (dikatakan termasuk kitab-kitab yang kemudian disebut Deuterokanonika) dan kitab-kitab kanonik Perjanjian Baru. Dekret-dekret ini juga dinyatakan dengan fiat (semacam pemakluman) bahwa Surat kepada Orang Ibrani dituliskan oleh Paulus, untuk mengakhiri segala perdebatan seputar subjek tersebut.
Philip Schaff mengatakan bahwa "Konsili Hippo pada tahun 393, dan Konsili Kartago yang ketiga (yang keenam menurut perhitungan lain) pada tahun 397, di bawah pengaruh Agustinus yang mana menghadiri keduanya, menetapkan kanon Kitab Suci Katolik, termasuk Apokrifa Perjanjian Lama, ... Bagaimanapun keputusan ini tunduk pada ratifikasi gereja seberang lautan (Roma); dan persetujuan dari Tahta Roma yang diterimanya pada masa Innosensius I dan Gelasius I (414 M) mengulangi daftar kitab-kitab biblika yang sama. Kanon ini tetap tak terganggu sampai abad ke-16, dan disetujui oleh Konsili Trente pada sesi keempat."[16] Menurut Lee Martin McDonald, Kitab Wahyu ditambahkan ke daftar tersebut pada tahun 419.[17] Konsili-konsili ini berada di bawah pengaruh yang cukup besar dari Agustinus, yang lalu menganggap seolah-olah kanon tersebut telah ditutup sejak saat itu.[18][19][20]
Perbedaan pendapat seputar kanon bukanlah pada hal pokok, tetapi pada yang "pinggiran".[21] Sejak abad ke-4 telah ada kebulatan suara di Barat mengenai kanon Perjanjian Baru (sebagaimana adanya sekarang),[22] dan pada abad ke-5 di Timur, dengan beberapa pengecualian, telah sampai pada penerimaan Kitab Wahyu dan karenanya berada dalam keselarasan dengan Barat mengenai kanon Alkitab, setidaknya untuk Perjanjian Baru.[23]
Periode ini menandai permulaan dari suatu kanon yang diakui secara lebih luas, meskipun disertakannya beberapa kitab masih diperdebatkan: Surat Ibrani, Yakobus, 2 Yohanes, 3 Yohanes, Yudas, dan Wahyu. Alasan-alasan yang diperdebatkan misalnya pertanyaan atas siapa penulis kitab-kitab ini (yang disebut "Konsili Damasus di Roma" dikatakan menolak Rasul Yohanes sebagai penulis 2 dan 3 Yohanes, tetapi tetap mempertahankan kitab-kitab tersebut), kelayakannya untuk digunakan (sejak masa tersebut Wahyu telah ditafsirkan dengan berbagai cara yang dipandang sesat), dan seberapa luas penggunaan kitab-kitab itu (2 Petrus dianggap sebagai yang paling lemah penegasannya di antara semua kitab dalam kanon Kristen).
Namun demikian para akademisi Kristen mengegaskan bahwa ketika para uskup dan konsili ini berbicara mengenai hal tersebut, mereka tidak mendefinisikan sesuatu yang baru, melainkan "meratifikasi apa yang telah menjadi pemikiran Gereja."[18][24][25]
Kanon-kanon Timur
Gereja-gereja Timur secara umum memiliki firasat yang lebih lemah dibandingkan dengan Barat berkenaan dengan kebutuhan untuk membuat suatu gambaran yang jelas terkait kanon Alkitab. Mereka lebih sadar akan adanya tingkatan kualitas rohaniah di antara kitab-kitab yang mereka terima (misalnya klasifikasi dari Eusebius; lihat pula Antilegomena) dan lebih jarang menegaskan bahwa kitab-kitab yang mereka tolak tidak memiliki kualitas rohaniah sama sekali.[butuh rujukan]
Alkitab Armenia memuat satu tambahan: sebuah surat yang ketiga kepada Jemaat di Korintus, juga ditemukan dalam Kisah Paulus, yang mana dikanonisasikan dalam Gereja Armenia, tetapi tidak termasuk dalam Alkitab Armenia masa kini. Namun Kitab Wahyu tidak termasuk dalam Alkitab Armenia hingga ca 1200 M ketika Uskup Agung Nerses mengorganisir suatu Sinode Armenia di Konstantinopel untuk memperkenalkan teks tersebut.[34] Meskipun demikian ada upaya-upaya yang menemui kegagalan, bahkan sampai tahun 1290 M, untuk memasukkan beberapa kitab apokrif ke dalam kanon Armenia, yaitu: Nasihat Bunda Allah kepada Para Rasul, Kitab Criapos, dan Surat Barnabas yang pernah populer.
Kanon Gereja-Gereja Tewahedo agak longgar dibandingkan dengan kelompok Kristen tradisional lainnya; pengurutan, penamaan, pembagian pasal/ayat dari beberapa kitabnya juga sedikit berbeda.
Kanon Ethiopia "yang lebih sempit" mencakup 81 kitab sekaligus: 27 kitab Perjanjian Baru; kitab-kitab Perjanjian Lama yang terdapat dalam Septuaginta dan diterima oleh kalangan Ortodoks; serta Kitab Henokh, Yobel, 1 Esdras, 2 Esdras, Paralipomena Barukh dan 3 kitab Makabian (ketiga kitab Makabe Ethiopia ini sama sekali berbeda isinya dengan keempat Kitab Makabe yang dikenal oleh kalangan lainnya).
Kanon Perjanjian Baru Ethiopia yang "lebih luas" mencakup 4 kitab "Sinodos" (praktik menggereja), 2 "Kitab Kovenan", "Klemens Ethiopik", dan "Didaskalia Ethiopik" (Ordinansi-Gereja Apostolik). Namun kitab-kitab ini tidak pernah dicetak atau dipelajari secara luas. Kanon yang "lebih luas" ini terkadang dikatakan memasukkan juga, dalam Perjanjian Lama, suatu kisah sejarah Yahudi dalam 8 bagian yang berdasarkan pada tulisan Flavius Yosefus, dan dikenal sebagai "Pseudo-Yosefus" atau "Joseph ben Gurion" (Yosēf walda Koryon).[35][36]
Martin Luther merasa terganggu dengan empat kitab Perjanjian Baru: Yudas, Yakobus, Ibrani, dan Wahyu; dan meskipun ia menempatkannya dalam posisi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kitab lainnya, ia tidak mengeluarkannya. Luther mengusulkan untuk mengeluarkan kitab-kitab ini dari kanon,[37][38] menyinggung dukungan dari beberapa umat Katolik seperti KardinalThomas Cajetan dan Desiderius Erasmus, dan sebagian lagi karena kitab-kitab tersebut dianggap bertentangan dengan doktrin Protestan tertentu seperti sola gratia dan sola fide, tetapi hal ini tidak diterima secara umum di antara para pengikutnya. Bagaimanapun kitab-kitab ini tetap ditaruh dalam urutan terakhir di Alkitab Luther berbahasa Jerman hingga saat ini.[39][40] Luther juga mengeluarkan kitab-kitab yang disebut "deuterokanonika" dari Perjanjian Lama Alkitab terjemahannya, ia menempatkan kitab-kitab tersebut dalam "Apokrifa, yakni kitab-kitab yang tidak dianggap setara dengan Kitab Suci, tetapi berguna dan baik untuk dibaca".[41]
Karena tuntutan Martin Luther, Konsili Trente pada tanggal 8 April1546 mengesahkan pemberlakuan kanon Alkitab Katolik sebagaimana adanya saat ini, yang memuat kitab-kitab deuterokanonika, dan keputusan ini dikonfirmasi dengan anatema melalui pemungutan suara (24 setuju, 15 tidak, 16 abstain).[42] Konsili tersebut menegaskan daftar yang sama seperti yang dihasilkan dalam Konsili Florence tahun 1442,[43]Konsili Kartago tahun 397-419,[16] dan mungkin Konsili Roma tahun 382.[10][13] Kitab-kitab Perjanjian Lama yang ditolak oleh Luther kemudian disebut dengan istilah deuterokanonika, bukan menandakan tingkatan pengilhaman yang lebih rendah tetapi karena persetujuan akhirnya belakangan. Selain kitab-kitab tersebut, Vulgata Sixto-Clementina dalam lampirannya memuat beberapa kitab yang dipandang apokrif dalam konsili tersebut: Doa Manasye, 3 Esdras, and 4 Esdras.[44]
Sinode Yerusalem[45] pada tahun 1672 menetapkan Kanon Ortodoks Yunani yang mana serupa dengan yang diputuskan oleh Konsili Trente. Gereja Ortodoks Timur umumnya memandang Septuaginta adalah versi Perjanjian Lama yang seharusnya diterima, dengan menganggapnya terinspirasi sebagaimana pendapat beberapa Bapa Gereja seperti St Agustinus, yang dilanjutkan oleh semua terjemahan modern lainnya.[46] Mereka menggunakan istilah Anagignoskomena (Ἀναγιγνωσκόμενα "dapat dibaca, layak untuk dibaca") untuk menggambarkan kitab-kitab dari Septuaginta Yunani yang tidak terdapat dalam Tanakh Ibrani. Kitab-kitab Perjanjian Lama Ortodoks Timur mencakup semua kitab deuterokanonika Katolik Roma, ditambah 3 Makabe dan 1 Esdras (juga terdapat dalam lampiran Vulgata Clementina), sedangkan Barukh dipisahkan dengan Surat Nabi Yeremia sehingga berjumlah total 49 kitab Perjanjian Lama, kontras dengan kanon 39 kitab Protestan.[47] Teks-teks lainnya yang tercetak dalam berbagai Alkitab Ortodoks dianggap memiliki nilai tertentu (seperti tambahan Mazmur 151, dan Doa Manasye) atau disertakan sebagai suatu lampiran (seperti 4 Makabe Yunani, dan 2 Esdras Slavia).[47]
Sebagian besar kitab Perjanjian Lama dalam Apokrifa Protestan disebut deuterokanonika oleh kalangan Katolik sesuai hasil Konsili Trente, dan semua kitab tersebut disebut anagignoskomena oleh kalangan Ortodoks Timur sesuai hasil Sinode Yerusalem. Komuni Anglikan menerima "Apokrifa tersebut sebagai ajaran teladan hidup dan tata krama; tetapi tidak digunakan untuk menetapkan doktrin",[48] dan banyak "bacaan leksionari dalam Buku Doa Umum yang diambil dari Apokrifa ini", serta pengajaran ini "dibacakan dengan cara yang sama seperti pengajaran dari Perjanjian Lama".[49] Apokrifa Protestan mencakup tiga kitab (3 Esdras, 4 Esdras, dan Doa Manasye) yang diterima oleh banyak Gereja Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental sebagai kanonikal, tetapi dipandang non-kanonik oleh Gereja Katolik dan karenanya tidak termuat dalam Alkitab-Alkitb Katolik modern.[50]
Berbagai kitab yang tidak pernah dikanonisasikan oleh gereja apa pun, tetapi diketahui eksistensinya pada zaman awal, memiliki kemiripan dengan Perjanjian Baru dan sering kali kepengarangannya diklaim berasal dari para rasul; kitab-kitab ini dikenal sebagai apokrifa Perjanjian Baru. Beberapa tulisan ini dikutip sebagai kitab suci oleh kalangan Kristen awal, tetapi sejak abad ke-5 timbul suatu konsensus yang tersebar luas untuk membatasi Perjanjian Baru hingga 27 kitab sebagaimana dikenal dalam kanon modern.[51][52] Karenanya kalangan Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Protestan pada umumnya tidak menganggap apokrifa Perjanjian Baru ini sebagai bagian dari Alkitab.[52]
Variasi umum lainnya misalnya versi-versi dari Gideons International yang meliputi Perjanjian Baru, Mazmur, dan Amsal, tetapi pemilihan kitab-kitab yang disertakan ini tidak mewakili suatu kanon.
^The Canon Debate, pp. 414–15, for the entire paragraph
^ Herbermann, Charles, ed. (1913). "Book of Judith". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Canonicity: "..."the Synod of Nicaea is said to have accounted it as Sacred Scripture" (Praef. in Lib.). It is true that no such declaration is to be found in the Canons of Nicaea, and it is uncertain whether St. Jerome is referring to the use made of the book in the discussions of the council, or whether he was misled by some spurious canons attributed to that council".
^ ab(Inggris) F.L. Cross, E.A. Livingstone, ed. (1983), The Oxford Dictionary of the Christian Church (edisi ke-2nd), Oxford University Press, hlm. 232
^(Inggris) McDonald & Sanders' The Canon Debate, Appendix D-2, note 19: "Revelation was added later in 419 at the subsequent synod of Carthage."
^ ab(Inggris) Ferguson, Everett. "Factors leading to the Selection and Closure of the New Testament Canon", in The Canon Debate. eds. L. M. McDonald & J. A. Sanders (Hendrickson, 2002) p. 320
^(Inggris) F. F. Bruce, "The Canon of Scripture" (Intervarsity Press, 1988) p. 230
^(Inggris) Lee M. MacDonald, "The Formation of the Christian Biblical Canon", 1995, p 132
^(Inggris) F. F. Bruce, "The Canon of Scripture" (Intervarsity Press, 1988) p. 215
^(Inggris) P. R. Ackroyd and C. F. Evans, eds. (1970). The Cambridge History of the Bible (volume 1). Cambridge University Press. hlm. 305.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
^(Inggris) Metzger, Bruce (1987). The Canon of the New Testament: Its Origins, Development, and Significance. Oxford: Clarendon. hlm. 237–238.
^(Inggris) Geoffrey W. Bromiley, The International Standard Bible Encyclopedia: Q-Z 1995- Page 976 "Printed editions of the Peshitta frequently contain these books in order to fill the gaps. D. Harklean Version. The Harklean version is connected with the labors of Thomas of Harqel. When thousands were fleeing Khosrou's invading armies, ..."
^Corpus scriptorum Christianorum Orientalium: Subsidia Catholic University of America, 1987 "37 ff. The project was founded by Philip E. Pusey who started the collation work in 1872. However, he could not see it to completion since he died in 1880. Gwilliam,
^ ab(Inggris)"Reliability". Theological Perspectives. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-15. Diakses tanggal 2016-01-06.
^(Inggris) Metzger, Bruce M. (March 13, 1997). The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance. Oxford University Press. hlm. 246. ISBN0-19-826954-4. Finally on 8 April 1546, by a vote of 24 to 15, with 16 abstensions, the Council issued a decree (De Canonicis Scripturis) in which, for the first time in the history of the Church, the question of the contents of the Bible was made an absolute article of faith and confirmed by an anathema.
^(Inggris) Ewert, David (11 May 2010). A General Introduction to the Bible: From Ancient Tablets to Modern Translations. Zondervan. hlm. 104. ISBN9780310872436.
^(Inggris) Henze, Matthias; Boccaccini, Gabriele (20 November 2013). Fourth Ezra and Second Baruch: Reconstruction after the Fall. Brill. hlm. 383. ISBN9789004258815.