Wilayah Ekonomi Eropa atau Area Ekonomi Eropa[4] (bahasa Inggris: European Economic Area; EEA) adalah wilayah di mana Perjanjian mengenai EEA memperbolehkan pergerakan bebas manusia, barang, jasa, dan modal dalam Pasar Tunggal Eropa, termasuk kebebasan memilih tempat tinggal di setiap negara dalam area ini. EEA didirikan pada 1 Januari 1994 saat mulai berlakunya Persetujuan EEA.[5]
Perjanjian EEA menetapkan bahwa keanggotaan terbuka bagi negara anggota Uni Eropa (UE) atau Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA). Negara-negara EFTA yang menjadi negara anggota Perjanjian EEA berpartisipasi dalam pasar internal UE tanpa menjadi anggota UE. Mereka menerapkan sebagian besar undang-undang UE mengenai pasar tunggal, tetapi dengan pengecualian penting termasuk undang-undang mengenai pertanian dan perikanan.[6] Barang negara ketiga dikecualikan untuk negara-negara ini dalam penerapan peraturan mengenai tempat asal barang.
Ketika mulai berlaku pada tahun 1994, negara anggota EEA adalah 17 negara dan dua organisasi Masyarakat Eropa: Masyarakat Ekonomi Eropa, yang kemudian diserap ke dalam kerangka kerja UE yang lebih luas, dan Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa yang kini sudah tidak berfungsi. Keanggotaan telah berkembang menjadi 31 negara pada tahun 2016: 28 negara anggota UE, serta tiga dari empat negara anggota EFTA (Islandia, Liechtenstein, dan Norwegia).[5] Perjanjian ini diterapkan sementara untuk wilayah Kroasia — negara anggota UE yang terbaru — yang belum diputuskan ratifikasi penerimaannya oleh seluruh pendukung EEA.[2][7] Salah satu anggota EFTA, Swiss, belum bergabung dengan EEA, tetapi memiliki serangkaian perjanjian bilateral dengan UE yang memungkinkannya juga berpartisipasi dalam pasar internal.
Pada akhir tahun 1980-an, negara-negara anggota EFTA, yang dipimpin oleh Swedia, mulai mempertimbangkan pilihan untuk bergabung dengan Masyarakat Eropa. Alasannya sendiri bermacam-macam. Banyak penulis menyebut kecenderungan penurunan ekonomi pada awal tahun 1980-an dan penerapan agenda Eropa 1992 oleh Uni Eropa sebagai alasan utama. Sementara itu, kelompok intergovernmentalis liberal berpendapat bahwa perusahaan multinasional besar di negara-negara EFTA (terutama Swedia) mendesak pemerintah di negara mereka untuk bergabung dengan EEC di bawah ancaman untuk memindahkan produksinya ke luar negeri. Penulis lain berpendapat bahwa akhir Perang Dingin telah membuat keanggotaan UE menjadi kurang kontroversial secara politik untuk negara-negara netral.[8]
Sementara itu, Jacques Delors, yang merupakan Presiden Komisi Eropa saat itu, tidak menyukai gagasan EEC yang semakin membesar dengan lebih banyak negara anggota, karena dia khawatir hal itu akan menghambat kemampuan Masyarakat untuk menyelesaikan reformasi pasar internal dan membentuk persatuan moneter. Delors mengusulkan Ruang Ekonomi Eropa (EES) pada bulan Januari 1989, yang kemudian berganti nama menjadi Wilayah Ekonomi Eropa, seperti yang dikenal saat ini.[8]