Wayan LimbakI Wayan Limbak adalah seorang maestro tari asal Bali yang dikenal sebagai pencipta Tari Kecak bersama pelukis Jerman, Walter Spies.[1] Tari Kecak, yang dikembangkan pada tahun 1930-an mengadaptasi tradisi sakral Sanghyang dan menggabungkannya dengan kisah Ramayana, menciptakan pertunjukan tari khas Bali yang kini dikenal luas secara global.[2]
Limbak berperan penting dalam memperkenalkan Tari Kecak ke berbagai penjuru dunia melalui tur internasional yang ia lakukan bersama para penari Bali.[3] Kehidupan AwalI Wayan Limbak lahir pada tahun 1897 di Banjar Marga Bingung, Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, Bali, Hindia Belanda (kini Indonesia).[4] Sejak muda, Wayan Limbak sudah menunjukkan minat dan bakatnya dalam bidang seni tari tradisional Bali, khususnya tarian sakral Sanghyang yg biasanya dipentaskan dalam upacara adat di Pura Goa Gajah, Bedulu, Gianyar.[5] KarierAwal karier Wayan Limbak mulai dikenal secara luas ketika ia mulai aktif dalam berbagai pertunjukan tari Bali. Ia dikenal tidak hanya sebagai penari, tetapi juga sebagai seorang koreografer. Limbak memiliki visi bahwa seni tari Bali memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dipentaskan di luar konteks ritual keagamaan, menjadi seni pertunjukan yang dapat dinikmati secara lebih universal. Wayan Limbak mulai mengeksplorasi kemungkinan menciptakan bentuk pertunjukan yang lebih komunikatif dan dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas, termasuk wisatawan asing yang mulai berdatangan ke Bali pada tahun 1920-an hingga 1930-an.[6] Lahirnya Tari Kecak Wayan Limbak bertemu dengan Walter Spies, seorang seniman asal Jerman yang tinggal di Ubud, Bali. Spies sangat tertarik pada budaya Bali dan telah banyak mendokumentasikan kehidupan masyarakat Bali melalui lukisan dan catatan budayanya. Limbak dan Spies melahirkan gagasan kolaboratif menciptakan bentuk pertunjukan baru yang berbasis tradisi, namun dapat disajikan dalam format teater pertunjukan modern. Mereka mengadaptasi ritual sakral "Sanghyang", yaitu pertunjukan tradisional di mana para penari (biasanya laki-laki) melantunkan nyanyian "cak" dalam kondisi setengah kesurupan.[4] Elemen ini dikombinasikan dengan narasi epik dari kisah Ramayana, khususnya tentang Rama, Sita, Rahwana, dan Hanoman. Hasilnya adalah Tari Kecak, pertunjukan teatrikal tanpa iringan gamelan yang hanya mengandalkan vokal manusia sebagai instrumen irama. Wayan Limbak sebagai pelatih para penari, koreografi gerakan, dan penyusunan struktur vokal “cak”.[7] Dengan inovatifnya, Wayan Limbak berhasil mentransformasikan ritual keagamaan menjadi karya seni panggung, tanpa menghilangkan nilai-nilai spiritual yang menjadi akar budayanya. Setelah format Tari Kecak disempurnakan, Wayan Limbak mulai melakukan promosi dan pementasan Tari Kecak di Bali hingga keluar negeri. Pada tahun 1937, ia membawa rombongan Kecak tampil di Pameran Kolonial di Belanda, sebuah ajang internasional, membuka pintu pengakuan dunia terhadap kesenian Bali.[8] Keberhasilan itu membuat Limbak terus membawa pertunjukan Tari Kecak ke berbagai negara. Lebih dari sekadar memperkenalkan tarian, Wayan Limbak juga melatih banyak penari muda, membentuk sanggar-sanggar tari, dan terus aktif dalam kegiatan kebudayaan hingga usia lanjut.[9] Akhir HayatDalam usia lanjut, Wayan Limbak mengalami gangguan kulit yang membuatnya sering menggaruk tubuhnya. Beliau juga mulai menghindari daging babi karena alergi.[2] Meskipun kesehatannya menurun, Wayan Limbak terlihat masih bisa berinteraksi dengan tamu dan tetap mempertahankan gaya hidup tradisional Bali. Setiap pagi, beliau rutin melakukan ngayah atau pelayanan sukarela dengan menyapu halaman Pura Samuan Tiga, salah satu pura bersejarah di Bali, yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.[2] Wayan Limbak meninggal pada 31 Agustus 2003 di desa Bedulu, Gianyar, Bali, di usia yang ke-106 tahun.[1] Referensi
|