Wayang GantungWayang Gantung (Hakka: Chiao Thew Hi) adalah kesenian wayang menggunakan media boneka kayu yang digantung dengan tali yang berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat. Wayang gantung adalah bentuk kesenian dan budaya masyarakat Tionghoa yang berada dan menetap di Kalimantan Barat. Ciri khasWayang gantung adalah boneka tiruan orang atau tokoh yang terbuat dari pahatan kayu yang dimainkan dengan cara menggerakkan benang yang diikat pada boneka-boneka tersebut. Tinggi wayang gantung berkisar 70–80 cm dengan konstruksi kepala yang bisa dipisah dari tubuhnya. Tujuannya agar dalang dapat dengan mudah menukar kepala karakter wayang dalam peralihan tokoh pada saat pertunjukan. Dengan demikian bentuk boneka bagian tubuh tidak memerlukan banyak koleksi melainkan yang banyak koleksi adalah bagian kepala. Pementasan biasanya dilakukan di sebuah panggung, dengan jalan cerita suatu tokoh yang diperankan melalui boneka tersebut, diiringi musik[1] SejarahWayang gantung sendiri diperkirakan telah ada sejak awal abad ke-20. Penelitian Yuda, dkk (2014) mengemukakan bahwa wayang gantung pertama kali diperkenalkan di Kota Singkawang oleh seorang seniman yang berasal dari Tiongkok bernama Ajo atau A Jong pada tahun 1929.[2] Penelitian yang sama juga mengungkapkan nama lain yang dianggap berperan dalam mengenalkan wayang gantung di Kota Singkawang yaitu Li Tung Jin yang disebut sebagai seniman wayang gantung pertama di Singkawang.[3] Li Tung Jin disebut sebagai seseorang yang ahli di bidang sandiwara atau opera (seperti wayang orang) sedangkan Ajo dikenal sebagai pemain kecapi. Ia memiliki seperangkat boneka wayang gantung yang dibawanya dari Tiongkok. Dari murid-murid Li Tung Jin, permainan wayang gantung diturunkan ke generasi berikutnya yang kemudian membentuk perkumpulan-perkumpulan wayang gantung di Kota Singkawang, seperti komunitas Jung Thaian Cai, Jun Sien Cai, Jun Sien Cai, dan Shin Thian Cai.[4] PenurunanKebijakan politik pemerintah Orde Baru berupa Inpres No. 14/1967 dengan kekhawatiran bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina "dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia", Presiden Soeharto mengeluarkan intruksi presiden yang mengisyaratkan agar "ibadat dan tata-cara ibadah Cina untuk dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan" dan juga perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina untuk "dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga". Inpres ini menyebabkan keturunan etnis tionghoa tidak dapat secara bebas melaksanakan pementasan wayang gantung. Meski Inpres No. 14/1967 sudah dicabut oleh Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid dengan keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, pentas wayang gantung masih mengalami kemunduran yang cukup pesat[5] Lihat jugaCatatan kakiBibliografi
|