Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Teori alienasi Marx

Intelektual Jerman abad ke-19 Karl Marx (1818–1883) mengidentifikasikan dan mendeskripsikan empat jenis Entfremdung (alienasi sosial) yang dikenai para buruh di bawah kapitalisme.

Teori alienasi Karl Marx mendeskripsikan alienasi (Jerman: Entfremdung) orang-orang dari aspek-aspek Gattungswesen ("esensi spesies") mereka sebagai konsekuensi dari kehidupan di dalam masyarakat dengan golongan-golongan sosial yang terstratifikasi. Sementara itu, alienasi diri adalah sebuah konsekuensi dari menjadi bagian mekanistik dari sebuah golongan sosial, sebuah kondisi yang mengalienasi seseorang dari kemanusiaan mereka.

Karl Marx mencetuskan teori Entfremdung mengenai alienasi diri dalam Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1844 (1927). Secara filosofis, teori Entfremdung bergantung pada Esensi Kekristenan (1841) karya Ludwig Feuerbach, yang menyatakan bahwa gagasan tuhan yang supranatural telah mengalienasikan karakteristik alami manusia. Setelah itu, dalam Der Einzige und sein Eigentum (1845), Max Stirner mengembangkan analisis Feuerbach dengan menyatakan bahwa gagasan "kemanusiaan" adalah sebuah konsep yamg mengalienasikan individu-individu; Marx dan Engels menanggapi gagasan filosofis tersebut dalam Ideologi Jerman (1845).

Dua Bentuk Alienasi

Dalam tulisannya pada awal tahun 1840-an, Karl Marx menggunakan kata-kata Jerman Entfremdung (yang berarti "alienasi" atau "keterasingan", berasal dari kata fremd yang berarti "asing") dan Entäusserung (yang dapat diterjemahkan sebagai "eksternalisasi" atau juga "alienasi", merujuk pada gagasan menyerahkan atau melepaskan sesuatu) untuk menggambarkan adanya pemisahan yang tidak selaras atau bahkan bersifat antagonistik antara unsur-unsur yang seharusnya saling terkait secara alami.

Konsep alienasi menurut Marx terbagi menjadi dua bentuk: "subjektif" dan "objektif". Alienasi bersifat subjektif ketika seseorang merasa terasing atau tidak merasa menjadi bagian dari dunia sosial modern. Dalam hal ini, alienasi muncul dari pengalaman individu yang merasa hidupnya tidak bermakna atau merasa dirinya tidak berharga. Sebaliknya, alienasi objektif tidak berkaitan dengan perasaan atau keyakinan pribadi. Alienasi ini terjadi ketika manusia secara nyata dihalangi untuk mengembangkan kapasitas-kapasitas dasarnya sebagai manusia.

Bagi Marx, alienasi objektif adalah akar dari alienasi subjektif: seseorang merasa hidupnya hampa dan tidak memuaskan karena masyarakat modern tidak mendorong pengembangan potensi manusia secara utuh.

Marx mengembangkan gagasan ini dari Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang menurutnya memiliki pemahaman penting tentang struktur dasar dunia sosial modern dan bagaimana struktur tersebut menjadi cacat akibat alienasi. Menurut Hegel, alienasi objektif telah teratasi dalam dunia modern, karena institusi negara rasional memungkinkan individu untuk mewujudkan diri mereka. Hegel berpendapat bahwa keluarga, masyarakat sipil, dan negara berperan dalam aktualisasi manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas. Meskipun begitu, alienasi subjektif tetap meluas—banyak orang merasa terasing dari masyarakat modern atau tidak menganggapnya sebagai rumah mereka sendiri. Tujuan Hegel bukanlah untuk mengubah institusi-institusi sosial modern, melainkan untuk mengubah cara orang memahami masyarakat tempat mereka hidup.

Marx setuju dengan Hegel bahwa alienasi subjektif banyak terjadi, namun ia menolak anggapan bahwa negara modern memungkinkan individu untuk mengaktualisasikan diri. Sebaliknya, Marx melihat maraknya alienasi subjektif sebagai bukti bahwa alienasi objektif masih belum terselesaikan.[1]

Dimensi-Dimensi Kerja yang Terasing

Marx menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis, para pekerja mengalami keterasingan dari kerja mereka sendiri—mereka tidak memiliki kendali atas aktivitas produksi yang mereka lakukan, serta tidak memiliki akses untuk menggunakan atau memiliki nilai dari hasil kerja yang mereka produksi.[2]

Keterasingan dari Produk Kerja

Marx memulai dengan membahas bagaimana manusia terasing dari hasil kerja mereka sendiri. Dalam bekerja, seorang pekerja mewujudkan tenaganya dalam bentuk objek yang diproduksinya. Namun, proses objektivasi ini juga menjadi bentuk keterasingan karena kendali atas hasil kerja tersebut berpindah ke tangan pemilik alat produksi, yakni kaum kapitalis. Produk tersebut kemudian dijual oleh kapitalis, yang semakin memperkuat dominasi kekayaan atas pekerja. Akibatnya, pekerja memandang hasil kerjanya sebagai sesuatu yang asing, yang justru menguasai dan mengekangnya. Objek-objek hasil kerjanya membentuk dunia tersendiri yang terlepas darinya. Pekerja menciptakan suatu barang yang tampak seperti miliknya, namun pada kenyataannya, pekerja justru menjadi milik barang tersebut. Jika pada masa lalu satu orang menguasai orang lain, kini benda-benda menguasai manusia—produk mendominasi produsen.[3]

Desain produk dan cara produksinya tidak ditentukan oleh pekerja yang membuatnya, maupun oleh konsumen yang akan menggunakannya, melainkan oleh kelas kapitalis. Selain mengatur kerja fisik para buruh, kapitalis juga mengarahkan kerja intelektual seperti para insinyur dan desainer industri, yang merancang produk sesuai selera pasar demi keuntungan maksimal. Pekerja tidak memiliki kendali atas proses desain dan produksi. Dalam pengertian yang lebih luas, keterasingan menggambarkan bagaimana kerja—yang seharusnya merupakan aktivitas untuk menghasilkan nilai guna—diubah menjadi komoditas yang dinilai berdasarkan nilai tukar. Kapitalis menguasai tenaga kerja manual maupun intelektual, serta hasil kerja mereka, dengan sistem produksi industri yang mengubah tenaga kerja menjadi produk nyata berupa barang dan jasa yang dinikmati oleh konsumen.

Lebih jauh lagi, sistem produksi kapitalis menjadikan kerja sebagai "pekerjaan" semata, sesuatu yang bersifat konkret dan diupah serendah mungkin demi memastikan keuntungan tertinggi bagi modal kapitalis. Ini adalah salah satu bentuk eksploitasi. Keuntungan dari penjualan barang dan jasa—yang semestinya bisa dibagikan kepada para pekerja—malah dialihkan kepada para kapitalis, baik mereka yang menjalankan alat produksi maupun yang hanya memilikinya.

Keterasingan dari Aktivitas Produktif

Dalam sistem produksi kapitalis, penciptaan barang dan jasa dilakukan melalui rangkaian aktivitas berulang dan terpisah-pisah, yang tidak memberikan kepuasan psikologis bagi pekerja. Karena kerja dikomodifikasi, tenaga kerja dihargai semata-mata sebagai nilai tukar, yaitu upah. Keterasingan psikologis pekerja muncul dari hubungan langsung antara kerja produktif dan upah yang diterimanya.

Pekerja mengalami keterasingan dari alat produksi melalui dua cara: tekanan upah dan penetapan isi produksi yang dipaksakan. Mereka terikat pada pekerjaan yang tidak mereka inginkan demi bertahan hidup; kerja bukanlah kegiatan sukarela, melainkan paksaan. Penolakan terhadap tekanan upah berarti mempertaruhkan kehidupan mereka dan keluarganya. Kepemilikan pribadi atas alat produksi oleh segelintir orang, ditambah dengan pajak yang diberlakukan negara, memaksa para pekerja untuk tetap bekerja. Dalam masyarakat kapitalis, kelangsungan hidup ditentukan oleh pertukaran uang, sehingga satu-satunya pilihan adalah menjual tenaga kerja dan tunduk pada kehendak kapitalis.[4]

Pekerja tidak merasa bahagia, justru merasa tersiksa. Mereka tidak mampu mengembangkan potensi fisik dan mentalnya secara bebas, tetapi malah merusak tubuh dan pikirannya. Pekerja hanya merasa menjadi dirinya sendiri di luar pekerjaan, dan merasa terasing saat bekerja. Kerja menjadi sesuatu yang asing baginya, bukan bagian dari jati dirinya. Selama bekerja, ia merasa menderita, letih, dan tertekan. Arah, isi, dan bentuk produksi ditentukan oleh kapitalis, bukan oleh pekerja itu sendiri. Karena tidak memiliki alat produksi, pekerja tidak punya suara dalam proses produksi. Dalam kondisi ini, kerja menjadi aktivitas yang dikendalikan pihak lain. Pikiran manusia yang seharusnya bebas justru diarahkan dan dikendalikan oleh kapitalis. Akibatnya, pekerja tidak bisa berkarya secara bebas dan spontan, karena bentuk dan arah kerjanya telah ditentukan oleh orang lain.

Referensi

  1. ^ admin (2023-06-11). "Pengertian Alienasi, Faktor, Dampak, dan 2 Contohnya". Diakses tanggal 2025-05-09.
  2. ^ Times, I. D. N.; Fujiana, Melinda. "5 Keterasingan Buruh di Dunia Kerja Menurut Teori Alienasi Kerja". IDN Times (dalam bahasa In-Id). Diakses tanggal 2025-05-09. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  3. ^ admin (2018-04-12). "Keterasingan Manusia Menurut Karl Marx (Tinjauan Kritis)". InPAS Indonesia (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-05-09.
  4. ^ Petrovic, Gajo (1967). Marx in the mid-twentieth century;. Internet Archive. Garden City, N.Y., Anchor Books.

Bacaan tambahan

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya