TawassulTawassul adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari kata wasilah. Wasilah berarti sarana yang digunakan untuk mendekati, mencapai, atau memperoleh sesuatu. Dalam pengertian lain, tawassul berasal dari kata benda verbal wasilah, yang menurut Ibn Manzur (w. 711 H/1311 M) dalam Lisān al-'Arab berarti "kedudukan di hadapan raja, suatu derajat, atau tindakan ibadah". Dengan kata lain, wasilah merujuk pada posisi berkuasa karena kedekatannya dengan raja atau penguasa. Sementara itu, tawassul atau tawassulan adalah penggunaan wasilah untuk tujuan tersebut. Dalam konteks keagamaan, tawassul adalah penggunaan wasilah untuk memperoleh kedekatan atau mendapatkan karunia dari Allah. EtimologiTawassul adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari kata benda verbal wasilah, yang berarti "kedekatan, kebersamaan, keterdekatan, atau hubungan bertetangga".[1] Menurut Ibn Manzur dalam *Lisān al-'Arab*, *wasilah* berarti "kedudukan di hadapan raja, suatu derajat, atau tindakan ibadah".[butuh rujukan] Kata *wasilah* disebutkan dua kali dalam Qur'an, yaitu dalam Surah Al-Ma'idah ayat 35 dan Surah Al-Isra ayat 57. Kata ini diterjemahkan sebagai "sarana yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah". Oleh karena itu, makna umum dari *tawassul* atau *tawassulan* adalah penggunaan *wasilah* untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah.[2]
KonsepTawassul, sebagai kebiasaan utama dalam doa permohonan (supplication), memiliki peran penting dalam diterimanya doa.[5][6]
Beberapa ulama klasik, termasuk para ahli tafsir Sufi seperti al-Qushayri (w. 465 H/1074 M), menjelaskan bahwa penggunaan istilah *al-wasilah* dalam ayat ini berarti menjauhi hal-hal yang terlarang, melaksanakan kewajiban, dan mendekatkan diri kepada Allah melalui amal saleh.[butuh rujukan] Baik Al-Raghib al-Isfahani maupun Sayyid Muhammad Husayn Tabataba'i berpendapat bahwa *al-wasilah* berarti mencapai suatu tujuan melalui keinginan, kecenderungan, dan kesiapan diri. Dengan kata lain, *wasilah* menuju Allah berarti menaati jalan-Nya dengan ilmu dan ibadah melalui kepatuhan terhadap Syariat.[7] Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perantaraan (*tawassul*) hanya terjadi dengan "izin" Allah.[8] Selain itu, praktik meminta syafaat sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad.[9] Hadis yang sering dikutip sebagai dukungan terhadap tawassul adalah kisah dari Utsman bin Hunaif, yang meriwayatkan tentang seorang lelaki buta yang diyakini sembuh melalui proses ini:
Berbagai riwayat dalam kehidupan Nabi Muhammad menunjukkan bahwa beliau sering kali memberikan syafaat bagi para sahabatnya, terutama dalam bentuk permohonan ampunan kepada Allah atas dosa-dosa mereka (*Istighfar*). Misalnya, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah sering keluar diam-diam pada malam hari untuk pergi ke pemakaman Al-Baqi' dan berdoa agar Allah mengampuni para penghuni kubur. Demikian pula, praktik *istighfar* Nabi disebutkan dalam Salat al-Janazah beserta manfaatnya.[11][12] Contoh awal lain dari *tawassul* adalah praktik berdoa kepada Allah dengan perantaraan Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam kisah seorang lelaki buta yang meminta Nabi Muhammad untuk berdoa agar matanya sembuh. Hadis ini dikutip dalam beberapa koleksi hadis utama, seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal:[11]
Dalam Al-Qur'anAl-Qur'an menyatakan:
Ayat ini menimbulkan pertanyaan apakah perantaraan Nabi Muhammad masih mungkin setelah wafatnya. Sejumlah ulama Islam, termasuk Al-Nawawi, Ibnu Katsir, dan Ibn al-Athir, dalam tafsir mereka, meriwayatkan kisah berikut untuk menunjukkan efektivitasnya: Seorang Badui dari padang pasir mengunjungi makam Nabi dan memberi salam kepadanya, berbicara seolah-olah beliau masih hidup, "Salam sejahtera bagimu, wahai Rasulullah!" Kemudian ia berkata, "Aku mendengar firman Allah, 'Jika, ketika mereka telah menzalimi diri mereka sendiri...,' maka aku datang kepadamu untuk memohon ampunan atas kesalahanku, berharap perantaraanmu kepada Tuhan kita!" Kemudian Badui itu membacakan sebuah syair pujian kepada Nabi dan pergi. Orang yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa ia tertidur, lalu dalam mimpinya ia melihat Nabi berkata kepadanya, "Wahai ‘Utbi, temui kembali saudara kita si Badui itu dan sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuninya!"[13][14][15] Al-Qur'an juga menyatakan:
Ayat di atas menekankan empat hal:
Menurut ayat ini, aturan ketiga setelah iman kepada Allah dan ketakwaan adalah "mencari wasilah (jalan pendekatan kepada-Nya)". Beberapa ulama menafsirkan wasilah dalam ayat ini sebagai iman dan amal saleh, sementara mayoritas ulama lainnya menjelaskan bahwa wasilah berarti para nabi, orang-orang saleh, dan hamba-hamba pilihan Allah.[16][sumber tepercaya?] Selain itu, ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang mencari wasilah kepada Allah harus terlebih dahulu menjadi seorang mukmin dan muttaqin (orang yang bertakwa). Dengan demikian, wasilah bukanlah bentuk kesyirikan, tetapi justru menegaskan keesaan Allah, menurut pendapat Muhammad Tahir-ul-Qadri.[16] Jenis-Jenis TawassulDi antara para teolog Muslim terdapat kesepakatan bahwa tawassul merupakan konsep yang dapat diterima untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, mereka tidak mencapai kesepakatan mutlak mengenai jenis-jenis tawassul yang diperbolehkan. Berdasarkan kesepakatan utama, seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan berdoa kepada-Nya dengan menggunakan sarana yang diperbolehkan, seperti amal saleh mereka (shalat, puasa, dan membaca Al-Qur'an). Namun, masih terdapat perdebatan mengenai pendekatan kepada Allah melalui pribadi Nabi Muhammad dan kemuliaannya atau melalui perantaraan Muslim saleh lainnya setelah wafatnya.[2] Perspektif SunniBerbagai peristiwa dalam kehidupan Nabi Muhammad menggambarkan beliau melakukan syafaat bagi para sahabatnya, terutama dengan memohonkan ampun kepada Allah atas dosa-dosa mereka (Istighfar). Misalnya, Aisyah meriwayatkan bahwa beliau sering meninggalkan sisinya di malam hari untuk pergi ke pemakaman Al-Baqi' guna memohonkan ampun kepada Allah bagi orang-orang yang telah meninggal. Demikian pula, istighfar Nabi disebutkan dalam Salat al-Janazah dan dijelaskan efektivitasnya.[11][12] Seluruh mazhab fikih Sunni, termasuk Imami, Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali, sepakat mengenai kebolehan tawassul, baik saat Nabi Muhammad masih hidup maupun setelah wafatnya.[17][18] Ulama Islam asal Suriah seperti Salih al-Nu`man, Abu Sulayman Suhayl al-Zabibi, dan Mustafa ibn Ahmad al-Hasan al-Shatti al-Hanbali al-Athari al-Dimashqi juga telah mengeluarkan Fatwa yang mendukung praktik tawassul.[19] Al-Suyuti dalam bukunya History of the Caliphs juga mencatat bahwa Umar bin Khattab berdoa meminta hujan setelah wafatnya Nabi Muhammad dan menyebutkan bahwa saat itu Umar mengenakan mantel (al-burda) Nabi, yang menunjukkan bahwa ia melakukan tawassul melalui Nabi dalam kesempatan tersebut.[11] Sahih al-Bukhari meriwayatkan situasi serupa sebagai berikut:
ReferensiBacaan Lebih Lanjut
Pranala Luar
|