Sandima![]() Sandima adalah seni teater tradisional khas Kota Samarinda yang diadaptasi dan dikembangkan dari seni teater klasik mamanda khas suku Banjar. Sandima mengombinasikan unsur kesenian Banjar dan Kutai serta menggunakan dialog berbahasa campuran bahasa Banjar Samarinda[1] dan bahasa Indonesia. Latar cerita sandima sama dengan mamanda, yaitu interaksi antara raja dan kalangan istana dengan rakyat, yang dikemas secara humoris. Pesan cerita sandima lebih pada isu sosial kemasyarakatan dengan durasi pertunjukan yang lebih singkat daripada mamanda.[2][3] Asal-usulSandima bermula dari pertunjukan kesenian mamanda di Samarinda. Nama Mamanda didasarkan atas kebiasaan tokoh raja memanggil wazir atau mangkubumi dengan perkataan "pamanda" atau "mamanda". Secara etimologi mamanda berasal dari kata mama yang berarti paman atau pakcik, serta suku kata nda sebagai morfem terikat yang berarti terhormat. Penggabungan dari keduanya dapat diartikan sebagai "paman yang terhormat".[4] Mamanda awalnya dibawa oleh para saudagar dari Kesultanan Malaka ke Kesultanan Banjar Kalimantan Selatan pada 1897. Selain misi perdagangan, para saudagar yang dipimpin oleh Encik Ibrahim bin Wangsa bersama istrinya Cik Hawa ini memperkenalkan Komedi Indra Bangsawan kepada masyarakat Banjar. Kuatnya pengaruh kesenian ini terhadap kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan, menginspirasi seorang tokoh masyarakat Anggah Putuh dan Anggah Datu Irang untuk mengenalkan kesenian sejenis yang diberi nama ba abdoel moeloek atau badamuluk. Seiring perjalanan waktu kesenian badamuluk ini kemudian berganti nama menjadi mamanda. Masuknya kesenian mamanda dari Kalimantan Selatan ke Kalimantan Timur, tidak jauh berbeda dengan peristiwa masuknya kesenian ini dari Kesultanan Malaka ke Kesultanan Banjar, yaitu melalui interaksi antarwarga baik perdagangan, agama, dan kesenian.[5] Daerah awal perkembangan mamanda di Samarinda adalah di Sungai Kapih. Selanjutnya mamanda juga berkembang di daerah-daerah lain seiring bermunculannya grup-grup mamanda di ibu kota Kalimantan Timur. Perkembangan mamanda kemudian menjadi lebih fleksibel dengan nama sandiwara mamanda. Untuk keperluan pementasan dengan durasi terbatas, baik di acara umum maupun di televisi, sandima dikreasikan dengan menyederhanakan beberapa pakem dan memasukkan unsur-unsur musik maupun cerita yang selama ini tidak terdapat pada mamanda asli. Dengan dukungan Stasiun TVRI Kalimantan Timur, sandiwara mamanda menjadi salah satu kesenian daerah Samarinda yang mampu bertahan puluhan tahun bahkan selalu eksis di televisi. Awalnya pada 1990-an jenis mamanda yang dikembangkan diberi nama "mamanda jenaka", untuk membedakan mamanda modifikasi ini dengan mamanda versi asli yang ketat memegang pakem. Namun, memasuki abad ke-21 nama mamanda jenaka mulai ditinggalkan dan kembali kepada nama yang sudah dibuat oleh para seniman terdahulu, yakni sandiwara mamanda, yang kemudian diakronimkan menjadi sandima.[6] Pakem pertunjukanSandima menyesuaikan dengan budaya dan kesenian masyarakat yang ada di Samarinda. Adaptasi sandima meliputi struktur, cerita, artistik, penggunaan tokoh, serta kondisi geografis dan sosial. Sandima memiliki dinamika kesenian terutama terkait pada kelahiran dan perkembangannya sejak tahun 1993. Sandima berkembang dari sebutan mamanda, mamanda kreatif, mamanda urakan, mamanda modifikasi, hingga mamanda jenaka. Perubahan-perubahan yang ada pada sandima tetap mempertahankan struktur, tokoh, dan gaya teater mamanda. Sifat pada karakternya tidak lagi baku (pakem) seperti mamanda. Naskah pertunjukan sandima merujuk pada peristiwa sosial yang dialami keseharian warga masyarakat Samarinda secara aktual.[7] Perbedaan signifikan antara sandima dan mamanda adalah pakem yang ditiadakan dari sandima, yaitu syair "beladun" dan beberapa lagu yang dibawakan raja, permaisuri, putri dan tokoh lainnya. Terdapat perbedaan pula pada stilisasi gerak para tokoh dan musik.[8] Namun, perbedaan ini tidak mutlak antara satu grup sandima dengan yang lainnya. Pada grup sandima yang lain, tetap menggunakan beladun. Pantun juga digunakan sebagai pengantar dialog atau selingan humor serta menyampaikan pesan dan kritik sosial.[6][4] Dialog dalam sandima menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa utama. Namun, bahasa Banjar yang digunakan bukan bahasa Banjar totok seperti di Kalimantan Selatan. Samarinda mempunyai bahasa daerah tersendiri, yaitu bahasa Banjar Samarinda.[9] Pementasan sandima mirip dengan seni teater lenong Betawi dari aspek hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Para penonton sandima diperbolehkan terlibat aktif menyampaikan komentar atau celetukan humoris yang dapat membuat suasana menjadi lebih hidup.[10] Penokohan
Tata urutan tampilUrutan tampil ke panggung dalam sandima menyesuaikan dengan kebutuhan cerita. Tidak selalu tokoh pengharapan yang tampil mempersiapkan ruang sidang istana. Terkadang adegan dibuka dengan konflik yang terjadi pada tokoh lain, bisa dimulai raja/sultan, khadam. Bahkan tak jarang adegan dimulai dengan adegan konflik antarrakyat jelata. Terlebih lagi, setting panggung tidak harus dimulai dengan suasana ruang sidang istana. Adakalanya hutan, kampung, atau tempat lainnya. Dengan demikian, urutan tampil tidak bisa dipastikan bermula dari pengharapan (pengawal) istana di ruang balairung istana sebagaimana dalam kebanyakan mamanda.[6] KostumBusana para pemain sandima, terutama versi Format lebih cenderung pada tradisi Kutai yang dikombinasikan dengan budaya pesisir seperti Banjar dan Bugis. Sandima juga mengakomodasi unsur budaya lain seperti Dayak, Jawa, bahkan etnis lain seperti Tionghoa, menyesuaikan dengan skenario cerita dan bintang tamu yang dihadirkan.[6] Musik pengiring dan laguAlat musik utama yang digunakan dalam sandima adalah tingkilan gambus dengan iringan gendang dan gong. Kesenian musik tradisional ini dinamakan “salating”, akronim dari “Samarinda Lagu Tingkilan”. Salating memadukan seni musik tingkilan Kutai dan seni musik panting Banjar.[11] Dalam mamanda, beberapa tokoh biasanya mengungkapkan perasaan mereka dengan menyanyikan lagu. Berbeda dengan mamanda, sandima menggabungkan beberapa lagu daerah dari beberapa etnis, antara lain lagu "Tirik", lagu "Terima Kasih", lagu "Puteri", lagu "Raja", lagu "Nasib", dan lagu karya kelompok salating lainnya sesuai tema cerita.[6] PerkembanganSelain ditayangkan di TVRI Kalimantan Timur, sandima juga dipentaskan di acara-acara pemerintah dan di sekolah-sekolah di lingkungan Kota Samarinda.[12] Pertunjukan sandima banyak difasilitasi oleh Pemerintah Kota Samarinda, melalui dua organisasi perangkat daerah, yaitu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Komunikasi dan Informatika.[13][14] Lokasi pertunjukan sandima yang paling sering digunakan sejak dulu hingga masa kini adalah di kawasan pertokoan Citra Niaga.[15][16] Sandima juga dimainkan di ruang publik lainnya, seperti kawasan tepian Sungai Mahakam[17] dan Taman Budaya di Samarinda.[18] Dengan situasi penduduk Samarinda yang majemuk dan multi-etnik, sandima mengakomodasi banyak unsur kesenian, baik seni pedalaman, seni pesisir, seni keraton, maupun seni urban.[19] Seniman sandimaPara seniman yang mengaktifkan sandiwara mamanda dan sandima di Samarinda antara lain sebagai berikut.
Referensi
|