Ilustrasi Batang Garing (Pohon Kehidupan) sebagai penciptaan pertama Ranying Hatalla.
Ranying Hatalla dalam kepercayaan Kaharingan yang dianut suku Dayak adalah sebutan untuk Tuhan yang Maha Esa. Ranying berarti ‘agung’ dan Hatalla adalah sebutan untuk nama Tuhan.[1]
Ranying Hatalla merupakan sosok penting yang menganugerahkan firman atau sabda secara lisan, dan nantinya firman itu dituliskan. Bagi penganut Kaharingan, nama ini merupakan nama yang sakral dan memiliki makna luhur.[2]
Beberapa penyebutan Tuhan dalam agama Kaharingan selain Ranying Hatalla, diantaranya adalah "Suwara" (bahasa Dayak Meratus), "Yustu Ha Lattala" (bahasa Dayak Dusun), "Lahtala" (bahasa Dayak Benuaq), "Moho Tara Danum Diang" (bahasa Dayak Siang dan Bahasa Ot Danum/Kadorih), "Talamana Tuah Hukat" (bahasa Dayak Maanyan), "Jubata" (bahasa Dayak Kanayatn), "Petara" (bahasa Dayak Kenyah), "Penompa" (bahasa Dayak Jangkang), dan masih banyak lagi.
Ranying Hatalla dalam Kitab Panaturan
Kitab Panaturan merupakan kitab suci penganut kepercayaan Kaharingan.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki kitab suci yang dikenal dengan nama Panaturan. Panaturan adalah pedoman yang menjadi dasar pegangan bagi umat Kaharingan dalam menjalankan kehidupan. Kitab Panaturan memuat 63 Pasal dan 2951 ayat.[3]
Kitab Panaturan dalam bahasa Sangiang diambil dari kata “naturan” (disebut sebagai bahasa komunikasi yang digunakan oleh Ranying Hatalla), yang berarti “menuturkan”.[2]
Penganut kepercayaan Kaharingan mengenal Tuhan sebagai Ranying Hatalla, sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci Panaturan Pasal 1 ayat 3:
"Aku inilah Ranying Hatalla yang Maha Kuasa, awal dan akhir segala kejadian, dan cahaya kemuliaan-Ku yang terang dan bersih dan suci adalah cahaya kehidupan dan kusebut ia Hintan Kaharingan.
Berdasarkan ayat Panaturan di atas, Ranying Hatalla adalah awal dari segalanya. Ia yang menciptakan semua yang ada di alam semesta, yang awalnya gelap tanpa adanya satu mahluk pun. Ranying Hatalla hadir dengan cahaya kemuliaan-Nya yang di sebut HintanKaharingan sebagai cahaya kehidupan.[3]
Perwujudan Hanying Ratalla dalam Ritual
Ada beberapa upacara atau ritual suku Dayak Ngaju dalam mengungkapkan relasi dengan Ranying Hatalla, yakni sebagai berikut:
Upacara Gawai Antu, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan oleh suku Dayak Ngaju. Dalam upacara ini, mereka memohon restu dari Ranying Hatalla agar arwah orang yang telah meninggal dapat sampai ke tempat yang dituju, yaitu LewuTatau Dia Rumpang Tulung, sehingga roh orang yang meninggal itu tidak mengganggu orang yang masih hidup.
Upacara Gawai Kenyalang, yaitu upacara adat yang dilakukan untuk menghormati burung enggang yang dianggap sebagai binatang suci, dan diyakini sebagai perantara antara manusia dan Ranying Hatalla.
Upacara Gawai Dayak, yaitu upacara adat tahunan yang diadakan untuk memperingati berbagai peristiwa penting, seperti panen atau pernikahan. Dalam upacara ini, suku Dayak Ngaju menyajikan berbagai macam makanan dan minuman kepada Ranying Hatalla sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang diberikan.
Lima Pengakuan
Konsep kepercayaan Kaharingan dalam bahasa Sangiang disebut sebagai Lime Sarahan, yang artinya "lima pengakuan". Adapun lima pengakuan tersebut meliputi:
Ranying Hatalla Langit Katamparan (Tuhan yangMaha Esa adalah awal dari segalanya). Pengakuan keimanan ini memiliki arti bahwa Tuhan adalah sumber pertama yang ada, sehingga patut dipercaya dan pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya.
Langit Katambuan (langit menjadi tumpuan). Pengakuan ini berarti manusia berkeyakinan bahwa langit menjadi atap bagi makhluk di bumi dan sebagai penerangan di bumi.
Petak Tapajakan (tanah tempat berpijak). Kalimat ini mempunyai arti bahwa manusia meyakini bumi sebagai tempat untuk melakukan aktivitas, juga tempat di mana manusia mendapatkan balasan atas perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan pada orang lain.
Nyalung Kapanduian (air untuk membersihkan diri). Kalimat ini berarti manusia berterima kasih pada Tuhan yang telah menciptakan air yang bisa digunakan untuk mensucikan tubuh manusia. Manusia dipercaya terlahir dengan keadaan suci, dan kelak jika sudah meninggal akan dimandikan lagi sebagai wujud kepercayaan bahwa manusia akan kembali kepada-Nya dalam keadaan yang suci juga.
Kalata Padadukan (dunia tempat berkedudukan manusia untuk sementara). Artinya, manusia percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia hanya bersifat sementara. Maka, manusia tidak boleh terlalu fokus pada godaan duniawi, namun juga harus ingat dengan Tuhan yang menciptakan alam dan seisinya.[4]