Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Raden Mas Sodewo

Raden Mas Bagus Singlon (1810–1860), lebih dikenal dengan gelar Ki Sodewo atau Raden Sadewo, adalah putra Pangeran Diponegoro yang turut memimpin gerilya melawan kolonial Belanda setelah Perang Jawa (1825–1830). Ia juga dikenal dengan nama lain Pangeran Alip, R. M. Singlon, dan Demang Notodirjo.[1]

Riwayat hidup

Kehidupan awal

Bagus Singlon lahir pada tahun 1810 di Madiun sebagai putra dari Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Citrowati. Untuk menghindari penangkapan oleh kolonial Belanda, saat masih bayi ia dititipkan kepada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun.[2] Pada usia sekitar 15 tahun (sekitar 1825), Bagus Singlon mulai mencari ayahnya dan berkelana ke tempat-tempat perlawanan Pangeran Diponegoro, antara lain Tegalrejo dan Goa Selarong. Di Panjatan, Kulon Progo, ia belajar kanuragan di bawah bimbingan Kyai Gothak dan menekuni ilmu Pancasona di daerah Bagelen. Kemampuannya dalam bertempur membuat Pangeran Diponegoro memberi julukan “Ki Sodewo” (bagaikan dewa) kepada Bagus Singlon.[2] Nama Raden Mas Bagus Singlon (Ki Sodewo) sendiri tercatat secara resmi dalam silsilah Trah Dalem Kasultanan Yogyakarta yang diterbitkan Tepas Darah Dalem, menegaskan statusnya sebagai bagian keluarga besar Sultan Hamengkubuwana III.

Perlawanan pasca-Perang Jawa

Setelah berakhirnya Perang Jawa dan penangkapan Diponegoro pada 1830, Ki Sodewo melanjutkan perjuangan gerilya melawan rezim kolonial. Bersama Syekh Syarip Prawiro Sentana, ia memobilisasi pemberontakan di wilayah Kulon Progo pada 26 April 1839, menghimpun sekitar 1.600 pasukan yang tersebar di Pengasih, Nanggulan, Sentolo, Wates, dan Galur.[1].Puncak perlawanan terjadi pada 14 Februari 1840 bertepatan dengan upacara Grebeg Besar, namun pada 18 Februari 1840 Syekh Syarip Prawiro Sentana tertangkap dan dieksekusi, sedangkan Ki Sodewo berhasil melarikan diri. Menurut keturunan, ia kembali melakukan aksi perlawanan pada tahun 1850.[1]

Gerakan sosial-keagamaan ini mengguncang stabilitas pemerintah Hindia Belanda di daerah Kulon Progo dan sekitarny menunjukkan bahwa semangat anti-kolonial arus bawah masih menyala hampir satu dasawarsa setelah perang usai.[1]

Namun, sumber lain menjelaskan pada akhirnya perlawanan Ki Sodewo dan para pengikutnya berhasil dipatahkan oleh pemerintah kolonial. Dalam babak akhir perjuangannya, Ki Sodewo gugur dalam pertempuran melawan pasukan Hindia Belanda pada pertengahan akhir 1830-an. Sumber mencatat bahwa upaya perlawanan yang dilanjutkan para putra Diponegoro berakhir tragis – Ki Sodewo dan Pangeran Joned (saudara tirinya) tewas di medan laga, sementara dua saudara lainnya (Diponingrat dan Diponegoro Anom) ditangkap dan diasingkan ke Ambon]].[3] Kematian Ki Sodewo menandai berakhirnya sisa-sisa perlawanan bersenjata keluarga Diponegoro di Jawa pasca perang, meskipun pemberontakan lokalnya sempat memberikan perlawanan berarti terhadap kekuasaan kolonial Belanda.

Di mata pemerintah kolonial Hindia Belanda, Ki Sodewo tak lain adalah pemberontak berbahaya yang harus ditumpas. Kolonial berusaha menggambarkan perlawanan sisa laskar Diponegoro ini sebagai aksi kriminal alih-alih perjuangan politik. Propaganda Belanda menyebut Ki Sodewo sebagai “pemimpin gerombolan perampok” untuk mendiskreditkannya di mata rakyat.[4] Hal ini tercermin dalam catatan lokal (misalnya Sejarah Kabupaten Purworejo), di mana Ki Sodewo dicatat sebagai sekutu seorang bandit bernama Amat Sleman pada tahun 1838, musuh bebuyutan Bupati Cokronegoro yang pro-Belanda.[4] Meski demikian, bagi rakyat jelata khususnya di Kulon Progo dan daerah pedesaan Jawa, Ki Sodewo justru dipandang sebagai pahlawan rakyat yang membela martabat keluarga dan bangsanya.[4] Pertentangan pandangan ini menunjukkan bagaimana hubungan Ki Sodewo dengan penguasa resmi (Mataram maupun kolonial) sangat negatif pada masanya, namun ia mendapat tempat tersendiri dalam ingatan kolektif rakyat sebagai simbol perlawanan.

Kontribusi dan Warisan

Raden Sadewo alias Ki Sodewo berkontribusi penting dalam sejarah perlawanan Indonesia meski kerap luput dari sorotan sejarah resmi. Peranannya melanjutkan perjuangan Pangeran Diponegoro menunjukkan bahwa semangat anti-kolonial tidak padam dengan ditangkapnya tokoh utama perang, melainkan diteruskan oleh keluarganya dan tokoh lokal lain hingga akhir 1830-an.[1] Keberanian Ki Sodewo memimpin gerilya di Kulon Progo dan Bagelen telah menginspirasi perlawanan rakyat setempat, dan mengganggu upaya Belanda menegakkan kontrol penuh setelah Perang Jawaj. Dalam narasi besar sejarah Indonesia, sepak terjang Ki Sodewo memperkaya contoh perlawanan regional terhadap kolonialisme yang bersifat gigih dan berlandaskan jiwa sabilillah (perang suci membela agama dan tanah air), sejalan dengan spirit perang Diponegoro secara umum.

Daftar Pustaka

  1. ^ a b c d e Puspa Sari, Aditya Ayu; Layyinah, Inast Mardatina; Syarifah, Hidayatu (2022). "Perlawanan Syekh Syarip Prawira Sentana Dan Ki Sodewo Menentang Kolonialisme Belanda Di Kulon Progo 1839-1840". Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam.
  2. ^ a b Author, Andika (2024-07-29). "Menelisik Cerita Perjuangan Ki Sodewo, Putra Pangeran Diponegoro, Seorang Pahlawan".
  3. ^ medcom.id. "SEJARAH PERANG DIPONEGORO: LATAR BELAKANG, JALANNYA PERANG, DAN AKHIR". osc.medcom.id (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2025-06-14.
  4. ^ a b c Seseratan (2018-06-24). "SESERATAN: Ki Sodewo, Putra Sekaligus Panglima Perang Diponegoro oleh Dwi Ony Raharjo". SESERATAN. Diakses tanggal 2025-06-14.
Kembali kehalaman sebelumnya