Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Perang Dingin II

Peta yang menunjukkan letak tiga negara besar yang mungkin bisa terlibat dalam skenario "Perang Dingin II": Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok.

Istilah Perang Dingin Kedua,[1][2] Perang Dingin II[3][4], atau Perang Dingin Baru[5][6] digunakan para pengamat politik dunia untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dengan Rusia sebagai penerus Uni Soviet yang merupakan bagian dari Perang Dingin, atau dengan Tiongkok. Istilah ini sering juga digunakan untuk skala hubungan multirateral antara ketiga negara.

Meski beberapa pengamat telah menggunakan istilah tersebut untuk membandingkan dengan Perang Dingin yang asli, pengamat lain justru meragukan bahwa salah satu ketegangan akan mengarah pada "perang dingin" lain atau telah berhati-hati untuk menggunakan istilah tersebut dalam merujuk terhadap salah satu ataupun kedua ketegangan tersebut.

Lalu isu ini meningkat setelah ketegangan rusia - Ukraina pada tahun 2022 dan Israel-iran di tahun-tahun berikutnya yang membuat perlombaan senjata semakin masif dan kerjasama militer meningkat diantara negara-negara

Hubungan Rusia dengan Amerika Serikat

Perang Dingin Pertama merujuk kepada persaingan geopolitik antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kejadian tersebut berlangsung sejak pertengahan 1940-an sampai 1991. Istilah "Perang Dingin II" mengacu pada kelanjutan persaingan antara NATO dan Rusia, pengganti Uni Soviet yang diakui secara internasional. Meski tokoh-tokoh terkenal seperti Mikhail Gorbachev memberi peringatan pada tahun 2014, perihal konfrontasi politik Rusia–Barat atas Krisis Ukraina,[7] bahwa dunia berada di ambang Perang Dingin Baru atau bahkan sedang mengalaminya,[8] tokoh lainnya berpendapat bahwa istilah tersebut tidak bisa dipakai untuk menjelaskan hubungan Rusia dengan Barat.[9]

Sebenarnya ketegangan baru antara Rusia dan NATO mirip sekali dengan ketegangan era Perang Dingin, misalnya perebutan pengaruh di Eropa, ada pula sejumlah perbedaan besar seperti eratnya hubungan ekonomi Rusia saat ini dengan dunia luar yang mengekang tindakan Rusia[10] namun membuka jalan bagi Rusia untuk memengaruhi negara lain.[11] Konfrontasi baru ini melibatkan Jerman sebagai pemain geopolitik utama di Eropa[12][13] untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II berakhir.[14][15]

Stephen F. Cohen, Robert D. Crane, and Alex Vatanka sering merujuk hubungan kedua negara sebagai "Perang Dingin AS-Rusia".

Oktober 2018, analis militer Rusia Pavel Felgenhauer mengatakan kepada Deutsche Welle bahwa Perang Dingin yang baru akan membuat Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah dan perjanjian era Perang Dingin lainnya "tidak relevan karena sesuai dengan situasi dunia yang sama sekali berbeda." Pada Februari 2019, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan bahwa penarikan diri dari perjanjian INF tidak akan mengarah pada "Perang Dingin yang baru".

Pada Juli 2024, setelah Amerika Serikat mengumumkan niatnya untuk mengerahkan rudal jarak jauh di Jerman mulai tahun 2026, Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, mengatakan kepada televisi milik pemerintah Rusia, “Kami mengambil langkah mantap menuju Perang Dingin,” dan kemudian berkata, “Semua atribut Perang Dingin dengan konfrontasi langsung akan kembali.”

Hubungan Tiongkok dengan Amerika Serikat

Tiongkok dan Amerika Serikat

Gordon Chang, menggunakan istilah Perang Dingin II untuk merujuk kepada kejadian pasca pertemuan Presiden Richard Nixon dan Ketua Mao Zedong pada 1972.[2]

Istilah-istilah ini serta istilah "Perang Dingin Pasifik" sering digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara kedua negara, seperti pejabat senior pertahanan AS Jed Babbin,[16] Profesor Universitas Yale David Gelernter,[17] redaktur Firstpost R. Jagannathan,[18] Subhash Kapila dari Grup Analisis Asia Selatan,[19] mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd.[20][21] terutama dalam ketegangan hubungan kedua negara pada tahun 2000-an dan 2010-an

Penggunaan "Perang Dingin Baru" antara Amerika Serikat dan Sekutunya dengan poros Beijing-Moskow sering menjadi sorotam media-media RRT sejak sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan,[22] ketika Tiongkok menentang putusan Pengadilan Tetap Arbitrase terhadap Tiongkok dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan, dan rencana Amerika Serikat untuk mengerahkan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan pada Juli 2016, sebuah langkah yang dibenci oleh Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara.[23]

Perang Dagang Amerika Serikat-Tiongkok sejak 2018 telah berdampak signifikan pada kedua negara dan dinamika geopolitik antar kawasan. Hal ini terjadi karena kedua negara menerapkan tarif di berbagai komoditas sehingga berdampak pada berbagai sektor ekonomi di seluruh dunia yang disebut Trump sebagai “Perang tarif” atau "Reciprocal Tariff". Tarif yang berlaku di Tiongkok dan Amerika Serikat telah menciptakan ketidakpastian ekonomi global dan berdampak pada rantai pasok internasional.

Kawasan lain

Selain di Eropa, perebutan pengaruh juga terjadi di kawasan lain, terutama di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah dan Asia Tenggara. Dalam perang saudara Suriah misalnya, Amerika Serikat yang mendukung para pemberontak sementara Rusia mendukung pemerintahan Bashar al-Assad. Rusia juga menentang tindakan Amerika dan sekutunya di Libya dan Irak.[24] Rusia juga menentang tindakan Barat di Libya dan Irak.[25]

Amerika dan sekutunya serta Rusia-Tiongkok juga berebut pengaruh di lima negara Asia Tengah bekas Soviet dalam ajang "Permainan Besar Baru".[26][27][28] Namun demikian, baik Rusia maupun Barat mendukung upaya-upaya membendung militan Islam di Asia Tengah.[29] Rusia juga berusaha memproyeksikan pengaruh militer dan ekonominya di Amerika Latin, kawasan yang memiliki hubungan ekonomi dan politik erat dengan Amerika Serikat.[30][31] Rusia dan anggota NATO juga sama-sama mengklaim wilayah di Arktik.[32] Norwegia memberitahu NATO untuk bersiap-siap menghadapi ketegangan di kawasan tersebut.[33] Pesawat tempur NORAD telah dikerahkan untuk menanggapi keberadaan pesawat Rusia di dekat ruang udara Kanada di Arktik.[34]

Anna Diamnatopoulou, politisi Yunani, menyatakan "Barat telah kehilangan kekuatan normatifnya", dalam pertemuannya dengan para politisi Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah ia menyatakan bahwa Amerika Serikat, NATO, dan Uni Eropa berisiko mengalami "Perang Dingin Baru" kecuali mereka mampu membeikan keuntungan yang lebih besar dari pada Rusia dan Cina.

kerjasama militer antar negara

Setelah ketegangan rusia - ukraina negara negara di dunia mulai banyak menaruh perhatian serius di masalah ini negara negara nato khawatir akan eskalasi yang meningkat karena meningkatnya hubungan dan kerjasama militer antara negara seperti China,rusia, Korea utara, Pakistan, iran, yaman, Palestina

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "The crisis in Crimea could lead the world into a second cold war | Dmitri Trenin". the Guardian (dalam bahasa Inggris). 2014-03-02. Diakses tanggal 2021-12-25.
  2. ^ a b Ryan, Mackenzie. "Rubio: U.S. 'barreling toward a second Cold War'". USA TODAY (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2021-12-25.
  3. ^ Trenin, Dmitri. "Welcome to Cold War II". Foreign Policy (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2021-12-25.
  4. ^ "As Cold War II Looms, Washington Courts Nationalist, Rightwing, Catholic, Xenophobic Poland". HuffPost (dalam bahasa Inggris). 2015-10-15. Diakses tanggal 2021-12-25.
  5. ^ "The new cold war: are we going back to the bad old days?". the Guardian (dalam bahasa Inggris). 2014-11-19. Diakses tanggal 2021-12-25.
  6. ^ "Social media and the new Cold War". web.archive.org. 2017-10-19. Diarsipkan dari asli tanggal 2017-10-19. Diakses tanggal 2021-12-25.
  7. ^ Conant, Eve (12 September 2014). "Is the Cold War Back?". National Geographic. Diakses tanggal 19 December 2014.
  8. ^ Kendall, Bridget (12 November 2014). "Rhetoric hardens as fears mount of new Cold War". BBC News. Diakses tanggal 20 December 2014.
  9. ^ Bremmer, Ian (29 May 2014). "This Isn't A Cold War. And That's Not Necessarily Good". Time. Diakses tanggal 19 December 2014.
  10. ^ Stewart, James (7 March 2014). "Why Russia Can't Afford Another Cold War". New York Times. Diakses tanggal 3 January 2015.
  11. ^ "Putin's 'Last and Best Weapon' Against Europe: Gas". 2014-09-24. Diakses tanggal 2015-01-03.
  12. ^ Czuczka, Tony; Parkin, Brian (21 November 2014). "Merkel Bids to Stall Putin Influence at EU's Balkan Edge". Bloomberg L.P. Diakses tanggal 21 December 2014.
  13. ^ "Putin's Reach: Merkel Concerned about Russian Influence in the Balkans". Spiegel. 17 November 2014. Diakses tanggal 6 January 2015.
  14. ^ George Friedman. A More Assertive German Foreign Policy
  15. ^ Orenstein, Mitchell (9 March 2014). "Get Ready for a Russo-German Europe". Foreign Affairs. Diakses tanggal 8 January 2014.
  16. ^ Jed Babbin; Edward Timperlake (2006). "Bab Satu: Perang Berikutnya". Showdown: Mengapa Tiongkok Ingin Perang Dengan Amerika Serikat. Regency Publishing. ISBN 978-1596980051.
  17. ^ Gelernter, David (3 April 2009). "Selamat Datang Di Dingin Perang II". Forbes. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 13 Agustus 2017. Diakses tanggal 25 Agustus 2017.
  18. ^ Jagannathan, Raghavan (24 Agustus 2011). "Apakah Perang Dingin benar-benar berakhir? Nah, Perang Dingin II ada di sini". Firstpost. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 12 April 2017. Diakses tanggal 7 Maret 2016.
  19. ^ Kapila, Subhash (25 Februari 2016). "Amerika Serikat Tidak Dapat Mencapai Dua Perang Dingin Bersamaan – Analisis". Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 26 Februari 2016. Diakses tanggal 7 Maret 2016. (Klik di sini untuk publikasi asli Diarsipkan 7 Maret 2016 di Wayback Machine.)
  20. ^ Crabtree, Justina (30 April 2018). "Ada 'Perang Dingin baru yang belum diumumkan' antara AS dan Tiongkok – dan itu di bidang teknologi, mantan pemimpin Australia mengatakan". CNBC. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 2 Mei 2018. Diakses tanggal 2 Mei 2018.
  21. ^ Ryan, Henry Butterfield. "Perang Dingin Lainnya? Tiongkok Saat Ini?". Asal Muasal: Peristiwa Saat Ini dalam Perspektif Sejarah. Departemen Sejarah di Universitas Negeri Ohio dan Universitas Miami. Diakses tanggal 10 November 2017.
  22. ^ Pilling, David. "US v Tiongkok: apakah ini perang dingin baru?". Financial Times. Diakses tanggal 16 April 2016. ; ; Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  23. ^ Kor Kian Beng (22 Agustus 2016). "Pemanasan Tiongkok menuju Perang Dingin baru?". The Straits Times. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 28 Oktober 2016. Diakses tanggal 28 Oktober 2016.
  24. ^ Tisdall, Simon (19 November 2014). "The new cold war: are we going back to the bad old days?". The Guardian. Diakses tanggal 22 December 2014.
  25. ^ Levgold, Robert (July–August 2014). "Managing the New Cold War". Foreign Affairs. Diakses tanggal 21 December 2014.
  26. ^ Rashid, Ahmed (15 August 2013). "Why, and What, You Should Know About Central Asia". The New York Review of Books. Diakses tanggal 23 December 2014.
  27. ^ "Going, going…". The Economist. 7 December 2013. Diakses tanggal 21 December 2014.
  28. ^ "Nations without a cause". The Economist. 24 September 2009. Diakses tanggal 23 December 2014.
  29. ^ Dyomkin, Dennis (10 December 2014). "Uzbek president asks Putin to help fight radical Islam in Central Asia". Reuters. Diarsipkan dari asli tanggal 2015-06-19. Diakses tanggal 23 December 2014.
  30. ^ Wong, Kristina (21 March 2014). "Putin's quiet Latin America play". The Hill. Diakses tanggal 25 December 2014.
  31. ^ Trenin, Dmitri (15 July 2014). "Putin's Latin America trip aims to show Russia is more than just regional power". The Guardian. Diakses tanggal 25 December 2014.
  32. ^ Koren, Marina (27 March 2014). "Is Vladimir Putin Coming for the North Pole Next?". National Journal. Diakses tanggal 21 January 2015.
  33. ^ Rosen, Armin (25 June 2014). "Norway Wants NATO To Prepare For An Arctic Showdown". Business Insider. Diakses tanggal 21 January 2015.
  34. ^ "Canadian jets intercepted Russian planes over Arctic". The Star. 19 September 2014. Diakses tanggal 21 January 2015.
Kembali kehalaman sebelumnya