Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Owasa

Owasa atau faulu adalah pesta skala besar yang diadakan oleh suku Nias untuk meningkatkan status sosial dari penyelenggaranya dengan ditandai penempatan situs megalitik. Tradisi ini bertahan hingga tahun 1950 Masehi dalam masa kemerdekaan Indonesia.[1] Selama owasa, ribuan orang diundang dan ratusan babi ternak disembelih selama berhari-hari. Mengadakan owasa merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kasta ke tingkatan tertinggi di kalangan suku Nias, yaitu kasta Balugu.[2] Jumlah tahapan dalam owasa berbeda-beda pada kelompok etnis suku Nias dengan pandangan kosmologi yang berbeda.[3] Salah satu tradisi suku Nias yang berkaitan dengan owasa ialah tradisi mangani binu (mencari tumbal) yang dimulai pada abad ke-9 Masehi. Tradisi mangani binu meliputi perburuan kepala manusia oleh pemuda untuk memperoleh istri yang disediakan oleh orang tua mereka. Mangani binu mulai ditinggalkan setelah ajaran Kekristenan menyebar di Pulau Nias.[4]

Perbedaan penyebutan dan jumlah tahapan

Dalam kalangan suku Nias, upacara untuk meningkatkan status sosial dikenal dengan nama owasa atau faulu. Penyebutan owasa digunakan oleh penduduk Pulau Nias bagian selatan. Sementara penduduk Pulau Nias di bagian utara menyebutnya dengan nama faulu. Tahapan pelaksanaan owasa di Pulau Nias bagian selatan terdiri dari sembilan tahap, Namun untuk masyarakat dari Pulau Nias bagian selatan yang tinggal di Pulau Nias bagian utara, maka tahapan owasanya hanya tujuh tahap.[3] Suku Nias di bagian utara Pulau Nias juga hanya memiliki tujuh tahap pelaksanaan owasa.[5] Sementara itu, masyarakat di Pulau Nias yang meyakini bahwa leluhur mereka berasal dari wilayah yang mereka huni, maka tahapan owasanya hanya tiga tahap saja.[3]

Perbedaan jumlah tahapan membuat jumlah dan ukuran dari patung megalitik yang harus disediakan menjadi berbeda-beda antarkelompok etnis. Perbedaan tersebut semakin jelas pada kondisi perbedaan penyediaan patung pada tahap-tahap tertentu oleh masing-masing kelompok etnis dalam suku Nias. Perbedaan tersebut terjadi akibat perbedaan pandangan mengenai tingkatan kosmologi.[3]

Penyelenggaraan

Owasa dilakukan untuk penyematan gelar bangsawan yang dianggap sebagai peningkatan status sosial terhadap penyelenggaranya. Selain itu, owasa diselenggarakan untuk pengukuhan diri dari penyelenggaranya sebagai tokoh adat ataupun bangsawan.[6] Tujuan akhir dari pelaksanaan owasa bagi penyelenggaranya ialah menjadi anggota dalam kasta tertinggi suku Nias, yaitu kasta Balugu.[2]

Dalam pelaksanaan owasa, para tamunya terdiri dari bangsawan lokal. Para raja dari berbagai negeri umumnya juga dijadikan tamu undangan dalam owasa. Selama acara, penyelenggara dan para tamunya membahas persoalan politik, adat, kebudayaan, pernikahan, sampai kesenangan dan hobi masing-masing. Selain itu, selama owasa juga ada nyanyian bersama yang disebut maena. Penyelenggara dan para tamunya menari bersama-sama sambil meminum arak dan memakan hidangan berupa daging babi.[7] Penyelenggaraan owasa dapat berlangsung selama beberapa hari.[2]

Penyelenggaraan owasa masih ditemui hingga tahun 1950 Masehi dalam masa kemerdekaan Indonesia. Setelah tahun tersebut, masyarakat di Pulau Nias mulai meninggalkan situs-situs megalitik. Karena itu, sebagian besar situs-situs yang pernah didirikan mulai rusak dan terabaikan.[1]

Tradisi terkait

Pada abad ke-9 Masehi, owasa pernah menjadi upacara yang menimbulkan permusuhan di antara marga-marga suku Nias.[8] Owasa menjadi awal dirintisnya tradisi mangani binu (mencari tumbal). Pengusulnya ialah seorang awuwukha yang bertanggung jawab dalam penyembelihan ratusan ekor babi selama owasa. Pada masa lalu, tradisi mangani binu kemudian menjadi simbol identitas dan kebanggaan suku Nias pada abad ke-9 Masehi.[9]

Para pemakan daging manusia di Pulau Nias menjadi pemburu kepala manusia khususnya kepala wanita yang cantik hanya untuk diakui sebagai seorang kesatria. Dalam catatan Johannes Hämmerle, disebutkan keterangan dari para penjelajah dunia bahwa perburuan kepala manusia umum terjadi di Pulau Nias pada abad ke-9 Masehi. Pemuda dari suku Nias berburu kepala manusia yang merupakan musuh keluarganya untuk memenuhi persyaratan penyediaan calon istri dari orang tuanya. Satu kepala dimaknai sebagai pemberian satu istri bagi seorang anak yang diediakan oleh ayah atau ibunya. Tradisi berburu kepala manusia baru mulai ditinggalkan secara perlahan sejak penyebaran ajaran Kekristenan di Pulau Nias.[4]

Referensi

Catatan kak

  1. ^ a b Lembaga Media Kreatif Bangsa Jakarta 2024, hlm. 3.
  2. ^ a b c Lembaga Media Kreatif Bangsa Jakarta 2024, hlm. 7.
  3. ^ a b c d Wiradnyana 2015, hlm. 92.
  4. ^ a b Basha 2018, hlm. 27.
  5. ^ Wiradnyana 2015, hlm. 93.
  6. ^ Basha 2018, hlm. 60.
  7. ^ Basha 2018, hlm. 71-72.
  8. ^ Basha 2018, hlm. 26.
  9. ^ Basha 2018, hlm. 26-27.

Daftar pustaka

  • Basha, Raedu (September 2018). Ya'ahowu: Catatan Etnografis tentang Nias (PDF). Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. ISBN 978-602-437-548-5. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link) Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  • Lembaga Media Kreatif Bangsa Jakarta (Juni 2024). "Pendokumentasian Situs Megalitik dan Objek Pemajuan Kebudayaan Rawan Punah sebagai Warisan Budaya di Kabupaten Nias Barat - Sumatera Utara" (PDF). Jurnal Lembaga Media Kreatif Bangsa Jakarta. 1 (1). Lembaga Media Kreatif Bangsa Jakarta: 1–51. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
  • Wiradnyana, Ketut (November 2015). "Paradigma Perubahan Evolusi pada Budaya Megalitik di Wilayah Budaya Nias" (PDF). Kapata Arkeologi. 11 (2): 87–96. Pemeliharaan CS1: Ref menduplikasi bawaan (link)
Kembali kehalaman sebelumnya