Oei Hui-lan
Oei Hui-lan (Hanzi: 黃蕙蘭; Pe̍h-ōe-jī: Ûiⁿ Hūi-lân; 21 Desember 1889 – 1992), juga dikenal sebagai Madame Wellington Koo, adalah seorang sosialita internasional dan ikon gaya berdarah Tionghoa-Indonesia. Ia pernah menjadi Ibu Negara dari Republik Tiongkok dari tahun 1926 hingga 1927.[1][2] Ia menikah dengan agen konsuler asal Britania Raya, Beauchamp Caulfield-Stoker dan kemudian dengan negarawan Tiongkok pada masa pra-komunis, Wellington Koo. Oei Hui-lan merupakan anak perempuan sekaligus pewaris dari seorang pengusaha Indonesia pada masa kolonial, Oei Tiong Ham.[3] Kedua orang tua Oei Hui-lan berasal dari keluarga terpandang: ayahnya berasal dari salah satu keluarga terkaya di Jawa, sedangkan ibunya berasal dari golongan priyayi 'Cabang Atas' sebagai keturunan seorang Luitenant der Chinezen dalam birokrasi Belanda abad ke-18 di Semarang. Setelah pernikahan yang gagal dengan Caulfield-Stoker, ia bertemu Wellington Koo saat berada di Paris pada tahun 1920. Mereka menikah di Brussels tahun berikutnya dan awalnya menetap di Jenewa sehubungan dengan pendirian Liga Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1923, ia pindah bersama suaminya ke Beijing tempat suaminya menjabat sebagai Pelaksana Jabatan Perdana Menteri di negara Tiongkok republik yang masih berevolusi. Pada masa jabatan keduanya (Oktober 1926 – Juni 1927), Wellington Koo juga menjabat sebagai Presiden Republik Tiongkok untuk jangka waktu yang singkat dan menjadikan Oei Hui-lan sebagai Ibu Negara Tiongkok. Pasangan tersebut kemudian menghabiskan waktu di Shanghai, Paris, dan London, tempat Oei Hui-lan menjadi seorang nyonya rumah yang terpandang. Pada tahun 1941, ia pindah ke New York dan meninggal di sana pada tahun 1992. Oei Hui-lan, atau Madame Koo sebagaimana ia lebih dikenal, juga diingat karena menulis dua autobiografi dan atas kontribusinya dalam dunia busana, terutama karya-karyanya yang mengadaptasi busana Tionghoa tradisional. BiografiKehidupan awal![]() Oei Hui-lan lahir pada tanggal 21 Desember 1889 dalam sebuah keluarga Tionghoa Peranakan di Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).[3] Ayahnya, Majoor-titulair Oei Tiong Ham merupakan seorang pengusaha yang memimpin Kian Gwan, sebuah perusahaan dagang yang didirikan oleh kakeknya, Oei Tjie Sien pada tahun 1863. Perusahaan ini kemudian menjadi konglomerasi terbesar di Asia Tenggara pada permulaan abad ke-20.[3] Ibunya, Goei Bing Nio, adalah istri tua ayahnya.[4] Tidak seperti keluarga Oei yang tergolong orang kaya baru, ibunya berasal dari Cabang Atas, golongan priyayi Tionghoa di Indonesia pada masa kolonial.[5][6][7] Melalui ibunya, Hui-lan merupakan keturunan dari seorang pedagang-mandarin, Goei Poen Kong,[8] yang menjabat sebagai Boedelmeester,[9] kemudian sebagai Luitenant der Chinezen di Semarang pada akhir abad ke-18.[10][11] Jabatan-jabatan Tionghoa yang meliputi pangkat-pangkat Majoor, Kapitein dan Luitenant der Chinezen, adalah jabatan pemerintahan sipil dalam birokrasi kolonial Belanda di Indonesia.[12] Asal-usul dan pengaruh keluarga Goei dari pihak ibu Oei dapat ditelusuri di Semarang sejak tahun 1770-an. Keluarga Goei Bing-nio semula tidak menyukai peningkatan status sosial dan ekonomi Oei Tiong Ham.[5] Hui-lan, yang menggunakan nama Angèle pada masa mudanya, memiliki seorang kakak perempuan, Oei Tjong-lan, alias Gwendoline, dari ibu yang sama.[11] Selain itu, ayahnya memiliki 18 istri muda dan gundik yang diakui serta sekitar 42 anak yang diakui, termasuk saudara tirinya, Oei Tjong Hauw.[3] Dua bersaudari Oei—sebagai putri dari istri utama Oei—tinggal bersama ayah mereka dan dididik di rumah oleh sejumlah pengajar Eropa di Semarang. Mereka menerima pendidikan yang sepenuhnya modern berdasarkan standar masa itu.[13] Hal ini mencerminkan westernisasi Cabang Atas di Indonesia pada masa kolonial sejak akhir abad ke-19.[14] Selain bahasa ibunya, yaitu bahasa Melayu (Indonesia), Hui-lan berbicara lancar dalam bahasa Inggris dan Prancis, serta cukup fasih dalam bahasa Hokkien, Mandarin, dan Belanda.[3][15][16] Pada 1905, Hui-lan dan saudarinya tampil dalam sebuah resital di Singapura yang menjadi tempat mereka belajar musik. Penampilan mereka disorot dalam surat kabar lokal, sebagaimana juga resital yang ia lakukan di Semarang:[13]
Pandangan progresif dan pencapaian Oei bersaudari menuai kekaguman dari R.A. Kartini, seorang ningrat Jawa dan pionir pegiat hak perempuan.[13][17] Meskipun memiliki latar belakang yang kosmopolitan, hubungan Oei bersaudari dengan budaya Jawa tampaknya terbatas pada interaksi dengan pelayan mereka dan hanya saat mereka dibawa oleh ibu mereka mengikuti kunjungan kehormatan dan pementasan gamelan di berbagai istana kesultanan di Jawa.[1][2] Pernikahan dengan Beauchamp Caulfield-Stoker (1909–1920)Pada tahun 1909, di Semarang, Hindia Belanda,[18] Hui-lan (memakai marga Oeitiongham) menikahi Beauchamp Forde Gordon Caulfield-Stoker (1877–1949), seorang berdarah Inggris-Irlandia yang menjadi agen konsuler Britania Raya di Semarang dan pada akhirnya mewakili kepentingan perusahaan gula mertuanya di London.[3][15] Pada tahun berikutnya, pasangan ini pindah ke Inggris.[19] Awalnya, mereka tinggal di 33 Lytton Grove, lalu pindah ke Graylands, Augustus Road, Wimbledon Common, yang dibelikan ayah Hui-lan untuk mereka pada tahun 1915.[20] Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Lionel Montgomery Caulfield-Stoker (1912–1954), sebelum akhirnya mereka bercerai di London pada tanggal 19 April 1920. Setelah perceraiannya, Hui-lan tinggal bersama ibu dan saudarinya di rumah bandar keluarga mereka di Mayfair, London.[21] Pada masa ini, ia dikenal di masyarakat sebagai Countess Hoeyr[22][23][24] (kemungkinan karena ayahnya dipanggil sebagai count oleh beberapa orang) dan ia lebih memilih untuk dipanggil Lady Stoker, —ia menghilangkan panggilan ini dari memoar-memoarnya.[25] ![]() Pernikahan mereka tidak berjalan lancar. Beberapa laporan yang terbit mengindikasikan bahwa kepribadian, pretensi, dan ambisi sosial Hui-lan telah mengganggu suaminya. Lalu pada Perang Dunia 1, mereka mulai tidak serasi.[20] The Sketch melaporkan bahwa "Countess Hoey Stoker adalah salah satu tokoh yang paling terkemuka dalam kalangan elite sosial London. Ia adalah putri dari...'Rockfeller Tiongkok."[catatan 3][26] Majalah kalangan elite Tatler menggambarkannya memiliki "kecintaan terhadap dunia penerbangan dan merupakan salah satu wanita pertama yang menaiki penerbangan sipil",[catatan 4] sementara The Times menyatakan bahwa "tidak ada dansa atau kegiatan lainnya yang lengkap tanpa[nya]...seorang cantik terkenal yang mengendarai mobilnya sendiri di sekitar London...sebuah Rolls Royce abu-abu kecil berkapasitas dua tempat duduk yang sering terlihat melaju cepat di tengah-tengah lalu lintas."[catatan 5][16] Margaret Macdonald mengamati Hui-lan, yang berbusana seperti seorang Tionghoa ("karena ia memang demikian"), dalam sebuah pesta kostum di The Ritz, yang juga dihadiri oleh Lady Diana Manners, Adipati Wanita Sutherland dan Margot Asquith.[27] Hui-lan menikmati kesempatan berdansa dan berbusana yang disediakan oleh kalangan elite London.[15][16][28] Ia juga menyukai gaya busana avant-garde:[28][29] "Aku diizinkan mengenakan busana makan malam favoritku, sebuah kreasi menakjubkan dengan celana Turki lengkap yang terbuat dari sifon hijau, baju pinggang lamé emas, dan jaket kuning pendek. Aku menyelipkan bunga-bunga emas dan hijau di rambutku dan mengenakan untaian mutiara tiga lapis.".[catatan 6][30] Tentang masa itu, ia kemudian berkomentar, "[Itu adalah] masa menjelang era flapper dan aku cocok dengan sempurna. Aku memiliki bentuk tubuh yang cocok untuk itu, mungil dan berdada kecil serta vitalitas yang dibutuhkan. Jika kau dapat membayangkan seorang flapper Tionghoa, akulah orangnya".[catatan 7][30] Pada tahun 1915, Stoker menerima penugasan dalam Korps Layanan Angkatan Darat Kerajaan dan mulai menjaga jarak dengan Hui-lan. Ia memutuskan pisah ranjang saat di rumah dan menolak keinginan Hui-lan untuk ikut dengannya ke Devonport. Di sana Stoker menulis: "Sungguh konyol bagimu untuk datang ke bawah sini karena kamu tidak akan betah lebih dari dua atau tiga hari. Bahkan, jika kamu datang, aku harus mengambil cuti karena aku tidak mungkin berhenti di sini".[catatan 8][20] "Kehidupan dan pemikiran kami sangat jauh berseberangan sehingga membuatku tidak mungkin [kembali ke rumah]",[catatan 9] tulis Stoker. Hui-lan menggugat cerai Stoker pada tahun 1919. Ia mengeklaim bahwa suaminya menolak untuk memperkenalkannya kepada keluarganya[20] dan gugatan cerai tersebut diajukan atas dasar kekejaman dan perilaku yang buruk.[20][19] Birmingham Daily Gazette mengamati bahwa perjalanan rumah tangga pasangan tersebut mirip dengan alur novel terkenal Java Head karya Joseph Hergesheimer, salah satu buku terlaris tahun 1918. Surat kabar tersebut menyebutkan, "tema [dari novel tersebut] adalah mengenai seorang Amerika yang membawa pulang istri Tionghoa dari keluarga bangsawan dan mereka mulai berpisah secara perlahan karena kurangnya hubungan di antara keduanya".[catatan 10][31] Pernikahan dengan Wellington Koo (1920–1958)![]() Ibu Hui-lan mendorong putrinya, yang sekarang bercerai, untuk berkenalan dengan politikus dan diplomat Tiongkok lulusan Universitas Columbia yang bernama V. K. Wellington Koo. Koo sendiri pernah bercerai dan ia memiliki dua anak kecil dari istri keduanya yang baru saja meninggal.[32][33][3][34] Melalui perencanaan ibu Hui-lan, saudarinya dan orang-orang lainnya—termasuk orang tua almarhumah istri Koo, May Tang—Hui-lan dan Koo bertemu di Paris dalam sebuah pesta makan malam pada bulan Agustus 1920.[35] Mereka mengumumkan pertunangan mereka pada tanggal 10 Oktober, pada sebuah acara peringatan hari jadi Republik Tiongkok dan menikah di Legasi Tiongkok di Brussels, Belgia pada tanggal 9 November.[1][36] Hui-lan mengenakan cadar antik dan gaun gading buatan Callot Soeurs.[16][28] Pada akhir tahun, untuk sebuah pesta negara di Istana Buckingham, Madame Wellington Koo mengenakan busana buatan Charles Frederick Worth dan sebuah tiara berlian Cartier.[16][28] Pasangan tersebut memulai kehidupan rumah tangga mereka di Jenewa. Di sana, Koo terlibat dalam pembentukan Liga Bangsa-Bangsa.[32][33][34] Pada tahun 1923, Hui-lan ikut suaminya pindah ke Beijing, tempat ia mendukungnya dalam perannya sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan Republik Tiongkok.[32][33][3][29] Pada tahun yang sama, ayahnya, Majoor Oei Tiong Ham, membelikan pasutri Koo sebuah istana dari era Dinasti Ming atas nama putrinya. Istana tersebut dibangun pada abad ke-17 untuk Chen Yuanyuan, seorang wanita penghibur yang menjadi gundik dari Jenderal Wu Sangui.[29][37][38] Pada tahun 1924, Madame Koo kembali ke kota asalnya, Semarang, untuk menghadiri pemakaman ayahnya yang baru saja meninggal di Singapura. Ia mengambil peran sebagai pelayat utama, mewakili ibunya sebagai istri utama yang tidak hadir.[1][2] Pada tahun 1925, pasutri Koo menjamu negarawan senior Tiongkok, Sun Yat-sen dan istrinya, Soong Ching-ling, untuk singgah dalam waktu yang cukup lama di kediaman mereka di Beijing. Sun meninggal di kediaman tersebut.[29][38] Selama Hui-lan berada di Tiongkok, negara tersebut mengalami salah satu masa paling bergejolak dalam sejarah politiknya—yang dikenal sebagai Era Panglima Perang. Pada masa itu, berbagai faksi militer dan politik berebut kekuasaan di Republik Tiongkok yang baru berdiri.[39] Wellington Koo dua kali menjabat sebagai Pelaksana Jabatan Perdana Menteri, kali pertama pada tahun 1924, kemudian menjabat kembali dari tanggal 1 Oktober 1926 sampai 16 Juni 1927.[32][33][34] Pada masa jabatan keduanya, Koo juga menjabat sebagai Presiden Republik Tiongkok. Hal ini menjadikan Hui-lan sebagai Ibu Negara Republik Tiongkok, meskipun hanya untuk periode yang sangat singkat.[32][33][34] Setelah Koo mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1927, keduanya menetap di Shanghai yang pada saat itu merupakan kota pelabuhan terbesar keempat di dunia.[15] Lingkaran sosial Hui-lan di Shanghai meliputi pengusaha Sir Victor Sassoon dan Wallis Warfield Simpson, yang kemudian akan menjadi Adipati Wanita Windsor.[15][40] Hui-lan mengingat dalam memoarnya bahwa satu-satunya frasa yang dikatakan Wallis dalam bahasa Mandarin adalah "anak muda, beri aku sampanye".[2][15] Meski demikian, Hui-lan tidak puas dengan Shanghai tahun 1920-an,[29] dan memandangnya sebagai "dipenuhi dengan...orang-orang pelayaran dari Inggris...bukan siapa-siapa di negara mereka...[yang] bersikap seolah-olah mereka orang kelas atas di Tiongkok...mereka begitu picik, begitu kelas menengah...dan memandang rendah segala sesuatu yang benar-benar indah dan asli dari...budaya [Tionghoa]: giok, porselen, barang antik. Dan orang-orang Tiongkok Shanghai yang malang dan bodoh begitu terkesan dengan para pendatang baru ini sehingga mereka meniru perilaku mereka dan mengisi rumah-rumah mereka dengan perabotan 'Barat' (perabotan Shanghai yang disebut canggih itu semuanya berasal dari Grand Rapids dan barangnya berat serta jelek)."[catatan 11][21] Sebaliknya, ia sangat terkesima dengan Beijing sebelum era komunis, yang tatanan klasiknya dan kecantikan kunonya ia anggap hanya dapat disandingkan dengan Paris.[29] Beberapa waktu setelahnya, ia menyatakan: "Peking adalah kotaku, tempat yang dulu aku pernah menjadi bagian dari masyarakatnya dan tempat yang aku harap suatu hari nanti, jika keadaan berubah pada masa hidupku, bisa kembali."[catatan 12][21] Istri Duta Besar dan Perang Dunia IIPasutri Koo kemudian pindah ke Paris pada tahun 1932, tempat Wellington Koo ditunjuk sebagai Duta Besar Tiongkok untuk Prancis, sebuah jabatan yang ia emban hingga tahun 1940.[32][33][34] Setelah jatuhnya Prancis ke tangan Jerman dalam Perang Dunia II, Koo menjabat sebagai Duta Besar Tiongkok untuk Britania Raya di London sampai tahun 1946.[32][33][34] Koo mewakili Republik Tiongkok pada tahun 1945 sebagai salah satu anggota pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa.[32][33][34] Selama periode ini, Madame Wellington Koo menjadi nyonya rumah yang terpandang bagi kalangan elite baik di Paris maupun di London.[15][16] Warisan besar dari ayah Hui-lan membuat pasutri tersebut dapat menghibur para beau monde (kalangan penikmat busana) Paris dan London dalam skala yang melampaui kemampuan sebagian besar diplomat.[15] Pada musim panas tahun 1939, ia menghadiri sebuah pesta di Villa Trianon, Versailles, yang diselenggarakan oleh Elsie de Wolfe untuk Maharani Kapurthala. Acara itu dihadiri sejumlah tokoh ternama, termasuk Coco Chanel dan Elsa Schiaparelli. Beberapa orang menganggap pesta tersebut sebagai lagu perpisahan terakhir Eropa sebelum Perang Dunia Kedua.[16] Ia juga mengawasi pendidikan kedua putranya hasil dari pernikahannya dengan Koo, Yu-chang Wellington Koo Jr. (1922–1975) dan Fu-chang Freeman Koo (1923–1977). Ia menyekolahkan mereka di Sekolah MacJannet di Paris. Di sana, mereka seangkatan dengan Pangeran Philip dari Yunani dan Denmark, yang kemudian menjadi suami Ratu Elizabeth II.[41] Masa tuaPada tahun 1941, Hui-lan pindah ke Kota New York, tempat putra-putranya, Wellington Koo Jr. dan Freeman Koo, menempuh pendidikan tinggi di almamater ayahnya, Universitas Columbia.[3][42] Ia bertujuan untuk menggunakan koneksi internasionalnya untuk meyakinkan Amerika Serikat agar bergabung dalam perang di pihak Sekutu guna membantu upaya perang Tiongkok di Asia.[15] Meskipun pasutri Koo kemudian bersatu kembali di New York, tahun-tahun perang dan perpisahan telah merenggangkan hubungan mereka. Mereka bercerai pada tahun 1958.[3][15] Madame Wellington Koo menghabiskan sisa hidupnya di Kota New York.[3][15] Ia menulis dua autobiografi dalam kolaborasi, pertama pada tahun 1943 dengan kolumnis sosialita The Washington Post Mary Van Rensselaer Thayer, kemudian pada tahun 1975 dengan jurnalis Isabella Taves.[3][15][16][38] Pada tahun 1980-an, ia terlibat dalam serangkaian usaha bisnis yang gagal di negara asalnya Indonesia, yang mencakup bidang perkapalan, tembakau, dan sepeda.[38] Ketika ia meninggal pada tahun 1992, mantan suaminya dan kedua putranya telah lama meninggal.[3] Putra dari pernikahan pertamanya telah meninggal pada tahun 1954.[43] Dominasi bisnis yang dibangun oleh kakek dan ayahnya dibubarkan oleh Soekarno menyusul Revolusi Indonesia. Republik Tiongkok, tempat selama beberapa dasawarsa ia dan suaminya mengabdi, kehilangan Tiongkok daratan yang jatuh ke tangan Partai Komunis.[33][3] Gaya, seni, dan warisanMadame Koo sangat dikagumi karena kemampuannya mengadaptasi busana Tionghoa tradisional, yang ia pakai dengan celana renda dan kalung giok.[15][29][44] Ia diakui secara luas karena berhasil menciptakan kembali cheongsam Tionghoa dengan cara yang mampu menonjolkan dan memperindah siluet tubuh wanita.[29][44] Busana cheongsam pada masa itu dipotong hanya beberapa inci di sisi-sisinya untuk menimbulkan kesan sopan, tetapi Hui-lan memotong hingga bagian lutut dari busana tersebut—pada tahun 1920-an—"dengan pantalet berenda hanya terlihat hingga pergelangan kaki".[15][44] Dengan demikian, ia turut memodernisasi, mempermewah, dan membuat populer apa yang kemudian menjadi busana nasional perempuan Tiongkok.[15][44] Tak seperti sosialita Asia lainnya, Madame Wellington Koo bersikeras untuk memakai sutra dan bahan-bahan lokal, yang menurutnya memiliki kualitas yang lebih tinggi.[15] Ia muncul beberapa kali dalam Majalah Vogue pada daftar wanita berbusana terbaik pada 1920-an, 1930-an, dan 1940-an.[15][44][45] Vogue memuji Madame Koo pada tahun 1942 sebagai "seorang warga negara dunia berdarah Tionghoa, sebuah kecantikan internasional", atas pendekatannya yang bijaksana untuk memajukan hubungan baik antara Timur dan Barat.[46] Sebagai penikmat seni yang handal dan avant-garde, potret Madame Wellington Koo dilukis oleh Federico Beltrán Masses, Edmund Dulac, Leon Underwood, Olive Snell, Olive Pell, dan Charles Tharp. Foto-fotonya diambil oleh para fotografer sosialita dan busana Henry Walter Barnett, E. O. Hoppé, Horst P. Horst, Bassano, dan George Hoyningen-Huene.[15][16][45][46][47][48] Lukisan potret, foto, dan busananya sekarang menjadi bagian dari koleksi Galeri Potret Nasional di London, Museum Seni Metropolitan di New York, dan Museum Peranakan di Singapura.[46][49] Dalam budaya kontemporerWarisan Madame Koo dalam dunia busana masih menarik perhatian di dunia internasional. Ia tampil sebagai "wanita bergaya" di China: Through the Looking Glass, sebuah pameran seni rupa yang dikurasi oleh Andrew Bolton dan Harold Koda, dan diselenggarakan dengan sambutan yang luar biasa pada tahun 2015 di Museum Seni Metropolitan.[50] Pada tahun 2018, perancang asal Indonesia, Toton Januar, membuat sebuah kampanye video untuk koleksi Fall Winter-nya, yang didasarkan pada pencitraan ulang salah satu lukisan potret Madame Koo.[51] Di tanah kelahirannya Indonesia, Madame Koo menjadi subjek beberapa publikasi populer. Dengan nama pena Agnes Davonar, para penulis populer Agnes Li dan Teddy Li menulis sebuah biografi sentimental dan sensasionalis dari Madame Koo, Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Terkaya di Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh AD Publisher.[52] Biografi populer lainnya, Oei Hui Lan: Anak Orang Terkaya dari Semarang, diterbitkan oleh Eidelweis Mahameru pada tahun 2011.[53] Pada tahun yang sama, Mahameru menerbitkan sebuah biografi populer dari ayah Madame Koo, Oei Tiong Ham: Raja Gula, Orang Terkaya dari Semarang.[54] SilsilahBerikut adalah silsilah keluarga Oei Hui-lan, yang mencakup garis keturunan dari pihak ayah (keluarga Oei) dan pihak ibu (keluarga Goei).[11]
Daftar karya
Lihat pula
Catatan
Referensi
Pranala luar![]() Wikimedia Commons memiliki media mengenai Oei Hui-lan. |