Mongolisme adalah istilah medis yang sudah usang yang berarti jenis disabilitas mental tertentu. Saat ini, term mongolisme sudah tidak digunakan dan diganti dengan sindrom Down.
Pada abad 21, istilah mongolisme dan yang senada tidak digunakan sebagai istilah medis karena istilah tersebut menyinggung dan rasis, selain itu ia juga menyesatkan pemahaman terkait penyandang sindrom Down.[1] Penggantian istilah ini diusulkan oleh para ilmuan dan ahli medis, dan masyarakat Asia terutama orang-orang yang berasal dari Mongolia.[2]
Istilah " idiot ", secara tersendiri, juga memiliki perubahan makna dan konotasi yang serupa sebagaimana istilah mongolisme.[3]
Sejarah
John Langdon Down, seorang dokter di Inggris, pertama kali mengkarakterisasi apa yang sekarang dikenal luas sebagai sindrom Down sebagai bagian dari bentuk disabilitas mental pada 1862. Ia mempublikasikan laporan tentang karakterisasi tersebut pada 1866. [4][5][6] Didasarkan pada kemiripan wajah dan tampakan visual dari penyandang sindrom Down, Down menggunakan istilah "mongoloid" untuk menyebut anak-anak dan orang dengan sindrom Down saat-saat itu.[7]
Meski demikian, istilah mongolisme masih ada yang menggunakannya hingga abad 20. Pada 1908, W. Bertram Hill menulis sebuah laporan berjudu Mongolism and its Pathology.[8] Selain Hill, seorang psikiater dan ahli genetika Inggris Lionel Penrose juga masih menggunakannya hingga 1961.
FG Crookshank juga menerbitkan naskah pseudosains pada 1924 dengan judul The Mongol in our Midst. Secara tidak benar dan rasis, ia mengatakan bahwa sindrom Down bersifat genetik yang diwariskan ras Mongoloid.
Pada 1977, grup rock Devo merilis lagu "Mongoloid". Di lagu tersebut mereka menggambarkan seorang pria dengan sindrom Down.
Penyusutan istilah
Pada 1961, belasan ahli genetika bersurat bersama kepada The Lancet. Salah satu kutipan isi surat tersebut berbunyi:
It has long been recognised that the terms Mongolian Idiocy, Mongolism, Mongoloid, etc. as applied to a specific type of mental deficiency have misleading connotations. The importance of this anomaly among Europeans and their descendants is not related to the segregation of genes derived from Asians; its appearance among members of Asian populations suggests such ambiguous designations as 'Mongol Mongoloid'; increasing participation of Chinese and Japanese in investigation of the condition imposes on them the use of an embarrassing term. We urge, therefore, that the expressions which imply a racial aspect of the condition be no longer used. Some of the undersigned are inclined to replace the term Mongolism by such designations as 'Langdon Down Anomaly', or 'Down's Syndrome or Anomaly', or 'Congenital Acromicria'. Several of us believe that this is an appropriate time to introduce the term 'Trisomy 21 Anomaly', which would include cases of simple Trisomy as well as translocations. It is hoped that agreement on a specific phrase will soon crystallise once the term 'Mongolism' has been abandoned.[9][10][2][1]
Pada 1965, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengungumkan dan mengimbau untuk tidak menggunakan istilah mongolisme. Imbauan ini didasarkan pada permintaan Republik Rakyat Mongolia.[2] Lambat laun, meskipun bertahun-tahun tidak ada tindakan tegas untuk mengubah istilah mongolisme atau adanya penentangan untuk meninggalkan istilah tersebut, istilah mongolisme mulai pudar darri penggunaan dan digantikan dengan sindrom Down, yang merujud pada nama belakang penemunya, dan gangguan trisomi 21.