Mohammad Djamil
Dr. Mohammad Djamil, DPH gelar Datuk Rangkayo Tuo (23 November 1898 – 20 Juni 1962)[1] adalah seorang perintis kesehatan masyarakat dan dokter asal Indonesia. Ia juga pernah menjabat sebagai residen Sumatera Barat.[2][3] Kehidupan awal![]() Mohammad Djamil dilahirkan di Kayu Tanam, 2x11 Kayu Tanam, Padang Pariaman pada 23 November 1898. Ayahnya seorang petani bergelar Angku Kali yang dipercaya menjadi qadi nikah dan ibunya bernama Aminah. Beberapa saudara Aminah dikenal sebagai ulama di daerahnya, dan salah satu saudaranya adalah kepala Stasiun Kayu Tanam.[4] Djamil kecil menerima pendidikan agama dari pamannya bernama Haji Mahmud Tuanku Hitam. Pamannya yang menjabat kepala Stasiun Kayu Tanam, Mohammad Ali Sutan Sinaro mendaftarkan dan membiayai pendidikan Djamil di Europeesche Lagere School Padang Panjang. Djamil berhasil menamatkan pendidikan satu tahun lebih cepat dari waktu normal 7 tahun. Pada 1912, Djamil lulus ujian masuk STOVIA di Batavia. Selama berkuliah ia aktif dalam pergerakan pemuda Jong Sumatranen Bond. Ia meraih gelar dokter Melayu (Indische Arts) pada 29 April 1921.[4] KarierSetamat STOVIA, Djamil diangkat menjadi asisten dosen Dr. De Langen untuk mengajar dan riset kedokteran. Pada 1924, Djamil dikirim oleh Pemerintah Hindia Belanda bekerja di rumah sakit dan poliklinik dari Bukittinggi, Baso, Matur, Lubuk Basung, hingga Tiku. Sambil berpraktik kedokteran, dengan biaya sendiri Djamil melakukan riset penyakit tuberkolosis dan dianugerahi hadiah dari Pemerintah Hindia Belanda.[4] Pada tahun 1925-1927, M. Djamil melakukan riset di Koto Gadang dan Sianok mengenai penyakit TBC dan malaria. Dari hasil riset tersebut, Ia memperoleh penghargaan dari Ratu Wilhelmina. Dua tahun kemudian, Ia pindah ke poliklinik Natal, Sumatera Utara. Di sini ia kembali melakukan penelitian mengenai penyakit malaria. Melalui hasil risetnya itu, anggaran pemerintah yang telah ditetapkan untuk pemberantasan malaria bisa ditekan. Pada 1926, Djamil dimutasi pemerintah ke Tapanuli Selatan untuk melayani wilayah Panyabungan, Natal, dan sekitarnya. Ketika itu tengah terjadi wabah demam malaria dan Djamil berhasil menghasilkan riset yang memberantas malaria. Ia kembali memperoleh penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda dan juga diberikan kesempatan kuliah doktor di Belanda.[4] Di bidang kedokteran, M. Djamil merupakan orang Indonesia pertama yang memperoleh dua gelar doktor. Gelar doktornya yang pertama dengan titel Doctor Medicinae Interne Ziekten diperolehnya di Universitas Utrecht, Belanda pada 31 Mei 1932.[4][5] Yayasan Rockefeller memberikan beasiswa kepada Djamil[4][6] untuk meraih titel doktornya yang kedua: Doctor of Public Health (DPH) dalam bidang bakteriologi, diperolehnya dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat pada 12 Juni 1934 dengan judul disertasi "A Study of Mixed Subcutaneous Infections in Guinea Pigs".[7] Sebelumnya ia meraih Certificates in Public Health dari Universitas Johns Hopkins pada 13 Juni 1933.[8] Pada tahun 1938-1939, ia ditugaskan pada Kantor Pusat Penyakit Malaria di Jakarta. Dalam risetnya M. Djamil menemukan cara baru untuk memberantas jentik-jentik nyamuk malaria dengan dedak. Serta peran selaput protozoon di atas air terhadap penjangkitan malaria. Karena keberhasilannya dalam riset tersebut, dr. Overbeek Kepala Bestrijding di Indonesia, memberikannya titel malarialoog (ahli malaria). Selain di bidang kedokteran, M. Djamil juga aktif berpolitik. Ia yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia,[9] sempat menjadi Ketua Komite Nasional Sumatera Barat,[10] Residen Sumatera Barat, Gubernur Muda Sumatra Tengah, sekaligus Gubernur Militer Sumatra Tengah. Ia juga berperan besar dalam pendirian Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas di Bukittinggi. PenghargaanUntuk mengabadikan jasa-jasanya, maka sejak tahun 1978, RSUP Jati di Padang berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil berdasarkan Surat Keputusan Menkes RI No. 134 Tahun 1978.[11] Pemerintah juga menetapkan M. Djamil sebagai pejuang kemerdekaan di Sumatera Barat. Referensi
Bacaan lanjutan
|