Latria![]() Latria atau latreya adalah istilah teologis (bahasa Latin: Latrīa, dari bahasa Yunani: λατρεία, latreya) yang digunakan di ranah teologi Katolik dan teologi Ortodoks Timur dengan arti penyembahan, yakni penghormatan yang semata-mata ditujukan kepada Tritunggal Mahakudus. Latria mengandung penitikberatan pada bentuk batiniah dari ibadat, alih-alih pada upacara-upacara lahiriah.[1][2] Umat Kristen mengambil kata Yunani λατρεία, yang tercantum di dalam Septuaginta, dan memasukkannya ke dalam amalan peribadatan mereka. Di dalam bahasa Yunani, latreya berarti 'pengabdian' atau 'dalam keadaan mengabdi'. Dengan demikian, para rohaniwan Kristen menunaikan pengabdian kepada Allah. Pengabdian kudus inilah yang merupakan ibadat. EkaristiLatria juga berlaku untuk Ekaristi dan adorasi Ekaristi (Sakramen Mahakudus). Pada abad ke-16, Konsili Trente membuat penegasan-penegasan spesifik mengenai kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi dan dasar teologis untuk adorasi Ekaristi sembari menyatakan:[3]
Mysterium fidei, ensiklik yang dikeluarkan Paus Paulus VI pada tahun 1965,[3] juga menegaskan keyakinan ini dan dalam butir 56 menyatakan: "Gereja Katolik senantiasa menunjukkan dan tetap menunjukkan latria yang seharusnya diberikan kepada Sakramen Ekaristi, baik selama Misa berlangsung maupun di luar Misa."[4] Latria vs. Dulia dan HiperduliaLatria sifatnya pengurbanan, dan hanya dapat dipersembahkan kepada Allah. Umat Kristen Katolik dan Ortodoks mempersembahkan tingkatan penghormatan lainnya kepada Santa Perawan Maria dan orang-orang kudus; jenis-jenis penghormatan yang bukan pengurbanan tersebut berturut-turut disebut hiperdulia dan dulia. Dulia juga disebut venerasi ("penghormatan").[5] Hiperdulia pada dasarnya adalah suatu dulia yang agung atau tinggi, yang hanya diperuntukkan bagi Santa Perawan.[6] Pembedaan ini, yang dituliskan setidaknya sejak St. Agustinus dari Hippo dan St. Hieronimus, diuraikan secara lebih eksplisit oleh St. Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae (1270) karyanya: "Penghormatan mendalam diatribusikan kepada Allah karena Keagungan-Nya, yang dikomunikasikan kepada makhluk-makhluk tertentu tidak dalam ukuran yang sama, tetapi menurut suatu ukuran proporsi; penghormatan mendalam yang kita berikan kepada Allah, dan yang termasuk latria, berbeda dengan penghormatan mendalam yang kita berikan kepada makhluk-makhluk agung tertentu; ini termasuk dulia, dan kita akan membicarakan hal itu lebih lanjut (II-II:103) Diarsipkan 2004-06-03 di Wayback Machine.".[7] Dalam artikel berikutnya St. Thomas Aquinas menulis: "Karenanya dulia, yang memberikan bakti yang pantas kepada seorang tuan manusia, adalah suatu kebajikan yang berbeda dengan latria, yang memberikan bakti yang pantas kepada Ketuhanan Allah. Terlebih lagi hal itu merupakan suatu wujud ketaatan, karena dengan ketaatan kita menghormati semua orang yang unggul dalam martabat. Dulia sebenarnya dapat dikatakan sebagai penghormatan mendalam dari hamba-hamba untuk tuan mereka, [dan] dulia menjadi kata Yunani untuk perhambaan."[8] Perbedaan linguistik dalam bahasa InggrisPada umumnya, kata Inggris adoration (adorasi) diperuntukkan bagi Allah saja dan karenanya secara tepat diartikan latria. Kata Inggris worship (ibadah, penyembahan, pemujaan) berasal dari kata benda dialek Sakson Barat weorðscipe 'kondisi layak, pengakuan layak', yang adalah dari weorð (worthy) + -scipe (-ship).[9] Kata worship digunakan dalam suatu makna yang kuat dalam kaitannya dengan Allah (latria), tetapi juga dalam suatu makna yang lemah dalam kaitannya dengan manusia: misalnya, "His Worship the Mayor", atau "Your Worship" (ketika menyapa seorang hakim di pengadilan), ataupun worship orang-orang kudus (dulia), sebagai hal yang berbeda dengan adoration Allah (latria). Adorasi dipandang menyajikan suatu terjemahan yang jelas serta tegas, dan karenanya lebih baik, mengungkapkan penghormatan mendalam sepenuhnya yang bersifat pengurbanan karena Allah semata.
Umat Kristen Katolik Roma dan Ortodoks Timur khususnya memuja (adore) dengan latria selama ibadah keagamaan mereka, Misa atau Liturgi Ilahi. Umat Katolik memandang diri mereka benar-benar berpartisipasi dalam pengurbanan di kaki Kalvari, bahwa apa yang Kristus persembahkan untuk satu kali "mengambil bagian dalam keabadian ilahi".[11] Lihat pulaReferensi
Pranala luar![]()
|