Kecanduan internet
Gangguan kecanduan internet (Internet addiction disorder, IAD), atau yang umum dikenal sebagai kecanduan interet, penggunaan internet problematik, atau penggunaan internet patologis, adalah penggunaan internet secara kompulsif yang prolematik, terkhususnya pada sosial media, yang mempengaruhi kebiasaan seseorang dalam jangka waktu lama. Kaum muda terkhususnya terancam mengembangkan gangguan ini,[1] dimana studi kasus telah menunjukkan bahwa performa akademik siswa menurut seiring mereka menghabiskan lebih banyak waktu daring.[2] Beberapa mengalami akibat kesehatan dari gangguan ini, dari kekurangan tidur,[3] seiring mereka begadang hingga larut malam berselancar, mengobrol dan bermain permainan video.[4] ![]() Penggunaan internet secara berlebihan tidak diakui sebagai sebuah gangguan oleh DSM-5 Asosiasi Psikiatris Amerika dan ICD-11 Organisasi Kesehatan Dunia.[5] Namun, kecanduan permainan video hadir pada ICD-11.[6] Kontroversi mengenai diagnosis mencakup apakah gangguan ini adalah sebuah entitas klinisnya sendiri (jenis gangguannya sendiri), atau merupakan sebuah manifestasi dari gangguan-gangguan psikiater yang telah ada. Definisi dari gangguan kecanduan internet tidak terstandardisasi maupun disetujui, mempersulit lebih lanjut proses perkembangan rekomendasi yang didasari oleh bukti. Banyak model teoritis berbeda telah dikembangkan dan diterapkan selama beberapa tahun untuk menjelaskan lebih baik faktor-faktor yang mendorong gangguan ini. Model-model seperti model perilaku-kognitif Internet patologis telah digunakan untuk menjelaskan IAD selama lebih dari 20 tahun. Model-model yang lebih baru, seperti model Person-Affect-Cognition-Execution, telah dikembangkan belakangan-belakangan ini dan mulai lebih banyak digunakan dalam studi klinis.[7] Pada 2011, istilah "gangguan kecanduan Facebook", FAD, muncul.[8] FAD dicirikan dengan penggunaan Facebook secara kompulsif. Sebuah studi tahun 2017 menelaah hubungan antara penggunaan secara berlebihan dengan narsisisme, melaporkan bahwa "FAD sangat berhubungan secara signifikan dan positif dengan sifat narsisisme dan variabel-variabel kesehatan mental negatif (gejala depresi, kegelisahan dan stres)".[9][10] Pada 2020, dokumenter The Social Dilemma melaporkan kekhawatiran ahli kesehatan mental dan mantan-mantan karyawan perusahaan-perusahaan sosial media mengenai dorongan penggunaan adiktif dari sosial media. Sebagai contoh, saat sebuah pengguna belum membuka Facebook selama beberapa waktu, Facebook akan meragamkan notifikasinya, mencoba untuk memancing pengguna tersebut untuk kembali. Dokumenter ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai hubungan antara penggunaan sosial media dan bunuh diri pada remaja dan anak-anak.[11] Selain itu, pada 2020, studi-studi telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kelaziman IAD sejak pandemi COVID-19.[12] Studi-studi yang menitikberatkan pada kemungkinan hubungan antara COVID-10 dan IAD telah melihat bagaimana isolasi secara paksa (karena social distancing) dan stres karenanya dapat barangkali menyebabkan tingkat penggunaan Internet yang lebih tinggi.[12] Mematikan notifikasi sosial media dapat membantu mengurangi penggunaan sosial media.[13] Bagi beberapa pengguna, perubahan dalam penelusuran daring dapat berguna dalam mengkompensasi masalah-masalah mengatur diri sendiri. Sebagai contoh, sebuah studi yang melibatkan 157 pelajar daring pada kursus-kursus daring terbuka besar-besaran menelaah dampak intervensi semacam itu. Studi tersebut melaporkan bahwa memberi dukungan dalam regulasi diri dihubungkan dengan berkurangnya waktu yang dihabiskan daring, terkhususnya pada hiburan.[14] Referensi
|