Kalakuta![]() Kalakuta (Dewanagari: कालकूटं; IAST: kālakūṭa ; secara harfiah berarti 'zat hitam'[1]) atau Halahala (Dewanagari: हलाहल; IAST: halāhala ) adalah nama racun dalam mitologi Hindu yang muncul saat para dewa dan asura mengaduk lautan susu (peristiwa yang dikenal sebagai Samudramantana). Dalam mitologi dikisahkan bahwa racun tersebut sangat mematikan dan mengancam kehidupan di muka Bumi. Untuk mencegah kehancuran dunia, Dewa Siwa meminum racun tersebut sehingga lehernya berwarna biru, dan sejak saat itu ia memiliki nama lain Nilakanta (Dewanagari: नीलकण्ठ; IAST: Nīlakaṇṭha ; "leher biru").[2] KepustakaanKisah tentang Kalakuta sebagai racun tercatat dalam sejumlah sastra Hindu meliputi Purana (Wisnupurana, Siwapurana, Matsyapurana, Kurmapurana, Brahmandapurana, Bayupurana, Agnipurana) dan Itihasa (Mahabharata, terutama bagian Adiparwa).[3] Sebagian besar pustaka tersebut mengandung kisah "Samudramantana" yang mengawali kisah racun kalakuta atau halahala. Kitab Tantu Pagelaran dari zaman Majapahit (ca abad ke-15) juga mengandung kisah racun kalakuta, tetapi dengan versi yang sedikit berbeda.[4] MitologiDalam pustaka Purana dan Itihasa dikisahkan bahwa pada suatu masa, para dewata dan asura bekerja sama dalam upaya memperoleh tirta amerta, atau minuman keabadian. Atas petunjuk Narayana, mereka mengaduk Ksirasagara atau "Lautan Susu", dengan Gunung Mandara sebagai tongkat pengaduknya. Peristiwa itu dikenal sebagai "Samudramantana" atau "Ksirasagaramantana". Berbagai objek berharga atau ratna (secara harfiah berarti 'permata') diperoleh dalam peristiwa Samudramantana, sebagian besar diklaim oleh para dewa setelah para asura berusaha berbuat curang. Sebelum amerta diperoleh, kalakuta atau halahala muncul terlebih dahulu, yang akhirnya mencelakai kedua belah pihak. Baik para dewa maupun para asura tidak mampu bertahan saat menghirup racun tersebut, sehingga banyak yang bergelimpangan tak berdaya. Beberapa yang masih kuat akhirnya bergegas meminta pertolongan Brahma sang dewa pencipta. Namun Brahma menolak, dan menjelaskan bahwa hanya Siwa yang mampu menolong mereka. Maka kedua belah pihak akhirnya pergi menuju gunung Kailasha dan memohon bantuan kepada Siwa. ![]() Atas kemauannya sendiri, Siwa bersedia menenggak racun kalakuta. Parwati, istri Siwa merasa bahwa keselamatan suaminya terancam, maka ia pun mencengkeram leher Siwa dengan kedua tangannya agar racun tersebut tidak tertelan, sehingga sejak saat itu Siwa disebut Wisakanta (Dewanagari: विषकण्ठ; IAST: Viṣakaṇṭha ; secara harfiah berarti "leher [be]racun"). Akhirnya Siwa diselamatkan oleh mahawidya Tara, salah satu wujud dari Parwati. Racun tersebut mengubah leher Siwa menjadi berwarna biru. Maka dari itu, Siwa juga memiliki julukan Nilakanta yang artinya "leher [berwarna] biru".[2] Berkat pengorbanan Siwa, dunia terselamatkan dari ancaman racun kalakuta. Atas jasanya, para dewa yang dipimpin oleh Wisnu mengutarakan nyanyian pujian kepada Siwa.[5] Kemudian, pengadukan lautan susu dilanjutkan kembali sampai para dewa dan asura berhasil memperoleh tirta amerta. Sejak lehernya mengandung kalakuta atau halahala, Siwa menempatkan Gangga (dewi sungai Gangga) di atas kepalanya, untuk mengurangi intensitas atau dampak parah yang ditimbulkan oleh racun tersebut. Sebab selain Gangga, tidak ada air yang mampu menandingi atau meredakan pengaruh dari halahala.[6] Versi lainMenurut kitab Agnipurana, Halahala merupakan personifikasi dari racun―dipadankan dengan wujud asura―yang menyerang tubuh Siwa. Berkat bantuan dari Wisnu, Halahala berhasil dikalahkan. Perseteruan antara Halahala, Siwa, dan Wisnu merupakan salah satu pertempuran di antara 12 pertempuran penting yang terjadi dalam sejarah dunia menurut kosmologi Hindu sebagaimana tercatat dalam Agnipurana.[7] Kitab Tantu Pagelaran berbahasa Jawa Kuno memiliki versi yang sedikit berbeda dengan Purana pada umumnya. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa para dewa memindahkan Gunung Mahameru dari Jambudwipa (Tanah Hindia) ke Pulau Jawa, sebagai "pasak" atau "penyeimbang" bagi pulau Jawa yang saat itu sedang bergoncang dalam ketidakstabilan. Setelah pemindahan berhasil, suatu sumber air muncul dari Mahameru―air yang disebut Kalakuta―yang segera diminum oleh para dewa. Tanpa diketahui, air tersebut merupakan racun, sehingga menyebabkan kematian banyak dewa. Batara Guru turut mencoba meminum air tersebut, tetapi ia tidak mati, hanya meninggalkan tanda berupa leher yang kebiruan. Oleh Batara Guru, air racun tersebut diubah menjadi tirta amerta, yang kemudian dipakai untuk memerciki para dewa yang mati agar mereka bangkit kembali.[4] Referensi
|