Severity: Notice
Message: Undefined offset: 1
Filename: infosekolah/leftmenudasboard.php
Line Number: 33
Line Number: 34
Portal Katolik
Jacques Maritain (18 November 1882 – 28 April 1973) adalah seorang filsuf Katolik Prancis. Ia dibesarkan sebagai seorang Protestan, dan menjadi seorang agnostik sebelum konversinya ke iman Katolik pada tahun 1906. Maritain menulis lebih dari 60 buku,[1] dan membantu menghidupkan kembali pandangan-pandangan St. Thomas Aquinas untuk zaman modern. Ia juga disebut sebagai tokoh hak asasi manusia,[1] memiliki pengaruh dalam pengembangan dan penyusunan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
Paus Paulus VI menyampaikan sambutannya, "Pesan kepada Para Pemikir dan Ilmuwan", dalam penutupan Konsili Vatikan II kepada Maritain, mentor dan teman lamanya. Paus yang sama mempertimbangkan dengan serius untuk mengangkatnya sebagai seorang kardinal awam, tetapi Maritain menolaknya.[2] Minat dan karya Maritain melingkupi banyak aspek filsafat, termasuk estetika, teori politik, filsafat ilmu, metafisika, hakikat dari pendidikan, liturgi, dan eklesiologi.
Maritain lahir di Paris, putra dari seorang pengacara bernama Paul Maritain dan Geneviève Favre istrinya, putri dari Jules Favre, serta dibesarkan dalam lingkungan Protestan liberal. Ia disekolahkan di Lycée Henri-IV, lalu menempuh pendidikan tinggi di Sorbonne, mempelajari ilmu-ilmu alam: kimia, biologi, dan fisika.
Di Sorbonne, ia bertemu dengan Raïssa Oumançoff, seorang emigran Yahudi Rusia. Mereka kemudian menikah pada tahun 1904. Sang istri dikenal sebagai seorang penyair dan mistikus, berperan sebagai rekan intelektual Jacques dalam upayanya mencari kebenaran. Saudari Raissa, Vera Oumançoff, tinggal bersama Jacques dan Raissa hampir sepanjang kehidupan pernikahan mereka.
Di Sorbonne, Jacques dan Raïssa seketika merasa kecewa dengan saintisme, yang dalam pandangan mereka tidak mampu mengatasi isu-isu eksistensial yang lebih luas akan kehidupan. Pada tahun 1901, akibat kekecewaan tersebut, mereka membuat suatu perjanjian untuk melakukan bunuh diri bersama apabila dalam waktu satu tahun mereka tidak dapat menemukan makna yang lebih dalam dari kehidupan. Mereka terhindar dari tindak lanjut akan rencana itu karena, atas desakan Charles Péguy, mereka menghadiri pengajaran Henri Bergson[1] di Collège de France. Kritik Bergson seputar saintisme membuyarkan keputusasaan intelektual mereka dan menanamkan dalam diri mereka "pemahaman akan yang absolut". Kemudian, melalui pengaruh Léon Bloy, mereka beralih ke iman Katolik pada tahun 1906.[3]
Pada musim gugur tahun 1907, keluarga Maritain pindah ke Heidelberg, tempat Jacques mempelajari biologi di bawah bimbingan Hans Driesch. Teori neo-vitalisme yang dicetuskan Hans Driesch menarik perhatian Jacques karena keterkaitannya dengan Henri Bergson. Raïssa jatuh sakit pada periode ini, dan selama masa pemulihannya, Pastor Humbert Clérissac, seorang frater Dominikan yang menjadi pembimbing rohani mereka, memperkenalkan mereka dengan tulisan-tulisan St. Thomas Aquinas. Raïssa membacanya dengan antusias dan setelah itu mendesak sang suami untuk menelaah tulisan-tulisan orang kudus tesebut. Dalam karya tulis St. Thomas, Jacques menemukan sejumlah wawasan dan gagasan yang telah ia yakini selama hidupnya. Ia mengenang:
"Sejak itu, tanpa adanya tipu daya ataupun pengecilan arti, dalam penegasan kepada diri saya sendiri nilai autentik dari realitas instrumen-instrumen insani pengetahuan kita, saya sudah menjadi seorang Thomis tanpa menyadarinya. ... Ketika beberapa bulan kemudian saya sampai pada Summa Theologiae, saya tidak membangun penghalang bagi luapannya yang berkilauan."
Dari sang Doctor Angelicus (gelar kehormatan St. Thomas Aquinas), ia merasa diarahkan ke "sang Filsuf", sebagaimana St. Thomas menyebut Aristoteles. Namun kemudian, untuk melanjutkan perkembangan intelektualnya, ia membaca karya tulis dari para tokoh neo-skolastik.
Mulai tahun 1912, Maritain mengajar di Collège Stanislas. Ia kemudian pindah ke Institut Catholique de Paris. Selama tahun akademik 1916–1917, ia mengajar di Petit Séminaire de Versailles. Pada tahun 1930, Maritain dan Étienne Gilson rmenerima gelar doktor kehormatan dalam bidang filsafat dari Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas, Angelicum.[4] Pada tahun 1933, ia memberikan pengajaran pertamanya di Amerika Utara, yaitu di Institut Kepausan untuk Studi Abad Pertengahan, Toronto. Ia juga mengajar di Universitas Columbia; di Komite Pemikiran Sosial, Universitas Chicago; di Universitas Notre Dame, dan di Universitas Princeton.
Dari tahun 1945 sampai 1948, Maritain menjadi duta besar Prancis untuk Takhta Suci.
Setelah itu, ia kembali ke Universitas Princeton tempat ia memperoleh "Elysian status" (sebagaimana ia katakan) seorang profesor emeritus pada tahun 1956. Raissa meninggal dunia pada tahun 1960. Setelah wafatnya Raissa, Jacques menerbitkan jurnal sang istri dengan judul "Jurnal Raissa". Selama beberapa tahun, Maritain menjadi seorang ketua kehormatan Kongres Kebebasan Kultural, tampil sebagai seorang pembicara utama dalam konferensinya tahun 1960 di Berlin.[5] Sejak tahun 1961, Maritain tinggal bersama Saudara-Saudara Kecil Yesus di Toulouse, Prancis. Ia memiliki sejumlah pengaruh pada tarekat tersebut sejak pendiriannya pada tahun 1933. Maritain kemudian menjadi seorang Saudara Kecil pada tahun 1970.
Jacques dan Raïssa Maritain dikuburkan dalam pemakaman di Kolbsheim, suatu desa kecil Prancis di Alsace, tempat ia sering melewatkan waktu musim panas di perkebunan teman-temannya, Antoinette dan Alexander Grunelius.[6]
Dikabarkan bahwa kasus beatifikasi pasangan suami istri tersebut sedang dalam tahap perencanaan.[7]
Landasan pemikiran Maritain adalah Aristoteles, St. Thomas, dan para penafsir Thomistik, khususnya Yohanes dari St. Thomas (João Poinsot). Ia bersikap eklektik atau sangat selektif dalam penggunaan sumber-sumber tersebut. Filsafat Maritain berdasar pada bukti yang diperoleh secara akumulatif oleh indra-indra dan dipahami dengan suatu pemahaman akan prinsip-prinsip pertama. Maritain membela argumen yang menyatakan bahwa filsafat adalah suatu sains dan menentang mereka yang merendahkannya, seraya mempromosikan filsafat sebagai "ratu semua sains".
Pada tahun 1910, Jacques Maritain menyelesaikan kontribusinya yang pertama bagi filsafat modern, berupa 28 halaman artikel berjudul "Daya Pikir dan Sains Modern" yang dipublikasikan dalam Revue de Philosophie (edisi Juni). Dalam tulisannya itu, ia memperingatkan bahwa sains sedang dalam proses menjadi suatu keilahian, metodologinya merampas peranan daya pikir (akal) dan filsafat. Sains menggeser kedudukan penting humaniora.[8]
Pada tahun 1917, suatu komite uskup Prancis menugaskan Jacques untuk menulis serangkaian buku teks yang akan digunakan di seminari dan perguruan tinggi Katolik. Ia menulis dan menyelesaikan satu dari antara proyek-proyek itu, yang diberi judul Elements de Philosophie (subjudul: Pengantar Umum Filsafat) pada tahun 1920. Semenjak itu, karya tersebut menjadi satu teks baku di banyak seminari Katolik. Ia menulis dalam bagian introduksi:
"Seandainya filsafat Aristoteles, sebagaimana yang dihidupkan kembali serta diperkaya oleh St. Thomas dan mazhabnya, dapat dengan tepat disebut filsafat Kristen, itu dikarenakan Gereja tidak pernah lelah untuk mengemukakannya sebagai satu-satunya filsafat sejati dan karena filsafatnya sepenuhnya selaras dengan kebenaran iman. Namun demikian, filsafatnya dikemukakan di sini untuk penerimaan pembaca bukan karena filsafatnya adalah Kristen, tetapi karena filsafatnya dapat dibuktikan benar. Kesepakatan ini, antara suatu sistem filosofis bentukan seorang pagan dan dogma-dogma mengenai wahyu, tidak diragukan lagi merupakan suatu pertanda eksternal, suatu jaminan ekstra-filosofis akan kebenarannya; namun filsafat Aristoteles memperoleh kewibawaannya sebagai suatu filsafat dari bukti rasionalnya sendiri."
Pada masa Perang Dunia II, Jacques Maritain memprotes kebijakan pemerintah Vichy saat ia masih mengajar di Insititut Kepausan untuk Studi Abad Pertengahan di Kanada. "Pindah ke New York, Maritain menjadi sangat terlibat dalam kegiatan-kegiatan penyelamatan, berupaya untuk membawa para akademisi yang teraniaya dan terancam ke Amerika, dan banyak di antaranya adalah orang Yahudi. Ia berperan penting dalam pendirian École Libre des Hautes Études, semacam universitas di pengasingan yang pada saat bersamaan merupakan pusat perlawanan Gaullis di Amerika Serikat." Setelah perang berakhir, dalam suatu audiensi kepausan pada tanggal 16 Juli 1946, ia tidak berhasil meyakinkan Paus Pius XII untuk mengecam antisemitisme secara resmi.[9]
Banyak makalahnya selama di Amerika Serikat yang disimpan oleh Universitas Notre Dame, wadah pendirian The Jacques Maritain Center pada tahun 1957. Maritain sendiri pada tahun 1962 mendirikan suatu asosiasi yang disebut Cercle d'Etudes Jacques & Raïssa Maritain di Kolbsheim (dekat Strasbourg, Prancis), yang juga menjadi tempat sang filsuf dan istrinya dimakamkan. Tujuan didirikannya sentra-sentra tersebut adalah untuk mendorong studi dan penelitian seputar pemikiran Maritain serta mengembangkannya. Selain itu berperan juga dalam penerjemahan dan pengeditan karya-karya tulisnya.
Salah satu pandangannya adalah penyangkalan terhadap teori Descartes mengenai Aku berpikir, maka aku ada, dengan menyatakan bahwa Aku paham bahwa segala sesuatu ada. Maritain juga membedakan filsafat alam dari ilmu alam dan menjaga sebuah idealisme dan kemandirian ilmu fenomenologi.[1] Pandangan Maritain yang lain adalah tentang Derajat Ilmu Pengetahuan.[1]
Dia menaruh perhatian terhadap mistisisme dan bersikeras mempertahankan bahwa segala ketertarikan pandangan partikular (bersifat terpisah-pisah) berakhir menuju cita-cita kebahagiaan.[1] Maritain juga menerapkan semuah pandangan personal tentang teori sosial dan etika dari filsafat Thomisme dan menyatakan perbaikan demokrasi daripada teori organis dari sebuah negara.[1] Dia meyakini bahwa manusia sejati adalah berpusat pada Tuhan maka dia mendukung digalakkannya praktik kerohanian.[1]