HaraeHarae atau harai (祓 or 祓い) adalah istilah bahasa Jepang yang umum digunakan untuk ritual penyucian di dalam agama Shinto. Harae adalah satu dari empat bagian dasar yang ada dalam upacara agama Shinto. Tujuan dari upacara penyucian ini adalah untuk menyucikan dosa (tsumi) and najis (kegare). Konsep-konsep ini (dosa dan najis) termasuk juga nasib buruk dan penyakit dan juga rasa bersalah dalam bahasa Indonesia. Harae sering dideskripsikan sebagai ritual penyucian, tetapi sering juga dikenal sebagai ritual pengusiran setan sebelum melakukan pemujaan.[1] Harae sering kali melibatkan pembasuhan secara simbolis menggunakan air, atau pengayunan tongkat besar dengan kertas yang disebut ōnusa atau haraegushi oleh pendeta Shinto pada objek yang akan disucikan. Manusia, tempat, dan benda-benda, semuanya bisa menjadi objek harae. Sejarah![]() Ritual Harae berawal dari mitos mengenai Susano-o, yang merupakan saudara lelaki dewi Matahari, Amaterasu. Menurut mitos tersebut, ketika Amaterasu sedang mengawasi proses penenunan pakaian para dewa di aula tenun murni, Susano-o menerobos atap dan menjatuhkan seekor kuda surgawi yang telah dikuliti. Hal ini membuat salah seorang pelayan Amaterasu terkejut. Pelayan tersebut dalam kegelisahannya, secara tidak sengaja membunuh dirinya sendiri dengan puntalan penenun. Setelah itu Amaterasu mengasingkan diri ke gua surgawi Amano-Iwato. Susano-o kemudian diusir dari surga dan kepemimpinan Amaterasu dilanjutkan. Ritual penyucian Shinto tradisional Harae direpresentasikan ketika Susano-o diusir dari surga.[2] PelaksanaanAda berbagai cara dalam pelaksanaan ritual harae. Di Kuil Besar Ise, "kuil yang paling suci dari semua kuil Shinto",[3] jimat kayu bernama o-harai, nama lain untuk harae atau harai, digantung di seluruh penjuru kuil.[4] Dalam semua upacara-upacara keagamaan Shinto, harae dilakukan pada awal rangkaian ritual untuk menyucikan segala kejahatan atau dosa sebelum orang-orang memberikan persembahan kepada kami. Sering kali, air dan garam digunakan dalam upacara-upacara untuk membilas tangan dan wajah, serta disebarkan di kuil sebelum kuil tersebut menyediakan persembahan berupa barang-barang dan makanan-makanan.[5] Kemudian pendeta Shinto, bersama dengan seluruh peserta ritual melantunkan liturgi sebelum asisten pendeta menyucikan persembahan-persembahan menggunakan tongkat yang disebut haraigushi .[6] Metode lain yang digunakan untuk melakukan harae adalah misogi, ritual di mana pesertanya berdiri di bawah air terjun yang dingin sambil melantunkan liturgi. Misogi ( 禊 ) dilaksanakan pada hari ke-11 di suatu bulan, termasuk bulan-bulan musim dingin yang dilaksanakan di Kuil Besar Tsubaki .[6] Karena ritual Harae dan Misogi terkait, keduanya secara kolektif disebut sebagai Misogiharae (禊祓 ) .[7] Ōharae adalah sebuah metode lain yang dilakukan sebagai ritual penyucian untuk menyucikan sekelompok besar orang. Ritual ini sebagian besar dilaksanakan pada bulan Juni dan Desember. Ritual ini dilaksanakan untuk menyucikan negeri, khususnya setelah sebuah bencana terjadi. Ōharae juga dilakukan di festival akhir tahun dan juga sebelum pelaksanaan festival-festival besar nasional.[8] Shubatsu (修 祓), sebuah ritual penyucian yang dilakukan dengan menaburkan garam, adalah ritual penyucian lain dari agama Shinto. Garam digunakan sebagai media penyucian dengan menempatkan setumpuk kecil di depan restoran, yang dikenal sebagai morijio (盛り塩 , tumpukan garam) atau shiobana (塩花 , bunga garam), yang dimanfaatkan untuk tujuan ganda, yaitu menangkal kejahatan dan menarik pelanggan.[9] Selain itu, menaburkan garam pada seseorang setelah menghadiri pemakaman juga dilakukan secara umum dalam agama Shinto. Contoh lain dari ritual Shubatsu ini adalah memercikkan air di gerbang rumah, baik di pagi maupun sore hari.[8] Wujud signifikan dan yang sering dilihat dari ritual ini adalah ketika pegulat sumo menaburkan garam di sekitar arena pertarungan gulat sebelum pertandingan dimulai untuk memurnikan area tersebut.[10] Lihat juga
Referensi
|