Desa pekramanDesa Adat atau Desa Pakraman, sebagai lembaga pemerintahan tingkat IV di Bali, memiliki peran unik dalam tatanan masyarakat adat. Meskipun tidak sepenuhnya menjalankan fungsi pemerintahan dinas seperti desa dinas, Desa Adat memiliki otoritas penting dalam menentukan peraturan dan awig-awig (peraturan adat) yang berlaku di wilayahnya, sering kali terkait dengan kahyangan tiga (tiga pura utama) atau wilayah lainnya. Keberadaan lembaga ini telah tercatat dalam berbagai prasasti Bali Kuno, yang memberikan gambaran tentang peranannya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan pengelolaan lingkungan.[1] EtimologiIstilah Desa Pakraman dan Desa Adat, yang digunakan untuk menyebut lembaga pemerintahan tingkat IV di Bali, memiliki akar kata yang menarik dan kaya makna. Kata "desa" dalam kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu desha atau deça, yang berarti tanah atau daerah.[2] Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa Kuno menjadi "desa" dengan arti yang sama. Sementara itu, kata "adat" diambil dari bahasa Arab, yaitu 'awda (ع و د) yang berarti kembali. Kata ini kemudian mengalami perubahan menjadi 'ada (عود). Bentuk jamak dan penulisannya diadopsi dari bahasa Persia dan Arab, menjadi 'adat (عادت), yang berarti "aturan-aturan" atau "kebiasaan-kebiasaan yang telah lazim." Dalam konteks masyarakat Bali, "adat" merujuk pada seperangkat norma dan tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat. Kata "pakraman" berasal dari bahasa Bali Kuno, yaitu "krama." Dalam bahasa Indonesia, "krama" tidak hanya berarti masyarakat, tetapi juga mencakup perilaku (tata krama). Kata "krama" kemudian mendapatkan awalan pa- dan akhiran -an, membentuk kata "pakraman" yang berarti "orang-orang dalam jumlah banyak" atau "masyarakat." Dengan demikian, Desa Pakraman atau Desa Adat dapat diartikan sebagai "wilayah atau daerah yang memiliki aturan-aturan dan kebiasaan yang lazim bagi masyarakatnya." Istilah ini mencerminkan keterkaitan erat antara wilayah, masyarakat, dan adat istiadat yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat Bali. Sejarah IstilahIstilah "pakraman" telah ditemukan dalam beberapa prasasti kuno di desa-desa purwa di Bali, seperti di Trunyan (Bhatara Datonta), Tenganan (Bhatara Trenganan), dan lainnya. Dalam prasasti-prasasti tersebut, kata "kraman" sering digunakan untuk merujuk pada batas-batas wilayah, pengumpulan pajak, atau perintah untuk melaksanakan upacara di wilayah mereka.[3] Istilah "adat" sendiri baru dikenal setelah kedatangan pedagang Arab di Bali. Penggunaan istilah ini semakin meluas ketika saat pemerintahan Belanda menguasai Bali. Pada saat itu, Belanda menerapkan sistem pemerintahan baru (Gouvernementsdesa) untuk mengatur administrasi di Bali. Sistem ini mengharuskan setiap desa memiliki kepala keluarga yang jumlahnya telah ditentukan oleh pemerintah Belanda. Akibatnya, sistem yang lebih lama tidak dapat lagi digunakan sepenuhnya, dan banyak tradisi kuno yang kemudian bercampur dengan adat istiadat yang ada di masing-masing desa. Pada masa Belanda, istilah "Desa Adat" mulai diperkenalkan untuk membedakan antara pemerintahan yang bertanggung jawab atas urusan administrasi (Desa Dinas) dan pemerintahan desa yang fokus pada urusan adat dan tradisi (Desa Adat). Beberapa desa yang sudah ada namun belum memiliki cukup banyak warga juga mengalami penggabungan atau pemekaran untuk membentuk desa baru yang disebut Desa Dinas. Unsur yang membentukDalam konteks Desa Pakraman di Bali, "parerem" merujuk pada bagian-bagian atau unsur-unsur yang membentuk Desa Pakraman. Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menyebutkan bahwa Desa Pakraman terdiri dari beberapa unsur penting yang saling berkaitan. Unsur-unsur ini meliputi wilayah, masyarakat, awig-awig (peraturan adat), dan kelembagaan adat.
Keempat unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam membentuk Desa Pakraman. Interaksi dan keterkaitan antara unsur-unsur ini menciptakan sistem sosial dan budaya yang unik di Bali.
Referensi
|