Severity: Notice
Message: Undefined offset: 1
Filename: infosekolah/leftmenudasboard.php
Line Number: 33
Line Number: 34
Datu Sanggul ('memiliki beberapa nama seperti Ahmad Sirajulhuda[1], Abdush Shamad,[1][2] Abdul Jalil[1], Fakhruddin[1], dan Samman[1]) adalah seorang ulama dan tokoh masyarakat, khususnya di wilayah Tatakan, Tapin Selatan, Tapin. Ia hidup sekitar abad ke-18 M, satu zaman dengan Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan. Dia merupakan murid dari Datu Suban, salah satu ulama di daerah tersebut. [1][2]
Datu Sanggul berasal dari Palembang (ada yang menyebutkan dia berasal dari Aceh[3]). Atas restu ibunya, dia berlayar dari Selat Bangka Belitung, lalu tiba Kota Banjarmasin hingga sampai di Kampung Muning (sekarang berada di daerah Tatakan, Kabupaten Tapin), tepatnya di Pantai Munggu Tayuh Tiwadak Gumpa pada 1750. Kemudian, dia berguru dengan Datu Suban, salah satu ulama setempat di daerah tersebut dan menetap di kampung tersebut hingga akhir hayatnya.[4][5]
Ada beberapa versi pemberian gelar Datu Sanggul kepadanya. Versi pertama yaitu karena dia gemar manyanggul (menggulung) rambutnya yang panjang. Versi lain menyebutkan bahwa dia gemar manyanggul (menunggu) binatang buruan. Ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa dia dinilai tekun dalam mentaati perintah gurunya di dalam khalwat khusus, dimana pada saat itu dia manyanggul (menunggu) turunnya ilmu dari Allah SWT. Terakhir, ada versi yang menyatakan bahwa dia manyanggul (menghadang) pasukan Belanda di perbatasan Kampung Muning, sehingga mereka lari karenanya.[4][6] Meski ada beberapa versi, nama Datu Sanggul digunakan sebagai nama rumah sakit pemerintah yang ada di Rantau Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dengan nama "Rumah Sakit Umum Daerah Datu Sanggul".
Datu Sanggul sering diceritakan oleh masyarakat Banjar bahwa dia dapat melaksanakan Salat Jumat di Masjidil Haram di Makkah, meski sebenarnya dia masih berada di daerahnya di Kampung Muning. Hal ini bermula saat itu dia sering tidak tampak menunaikan Salat Jumat di masjid di kampungnya untuk menunaikan Salat Jumat, sehingga dia harus membayar denda kepada kesultanan setiap hari Jumat sampai hanya tertinggal hanya kuantan dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran) sebagai harta yang dimiliki Datu Sanggul, meski akhirnya harta tersebut dikembalikan karena orang-orang telah mengetahui keajaibannya.[6]
Ada suatu cerita bahwa ada seseorang yang mengajak Datu Sanggul untuk melaksanakan Salat Jumat bersama-sama di masjid kampungnya. Meski awalnya Datu Sanggul menolak, dia akhirnya mau ikut Salat Jumat bersama orang tersebut. Namun, ketika mereka berada di masjid, orang tersebut hanya beberapa orang yang salat di masjid tersebut dan selebihnya berbentuk hewan semua. Melihat hal itu, orang tersebut bertanya pada Datu Sanggul dan Datu Sanggul menjawab bahwa mereka pergi ke masjid bukan karena ingin beribadah kepada Allah, tetapi karena karena hanya ikut-ikutan orang banyak.[2]
Cerita lain mengatakan bahwa ketika dia ingin pergi ke masjid kampung, dia melompat ke dalam sungai sehingga orang yang ada di sekitar masjid berteriak dan menjadi gempar. Tiba-tiba, di tengah kegemparan masyarakat itu, Datu Sanggul muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya, lalu langsung memasuki masjid. Lebih mengherankan lagi, pakaian dia tidak basah sama sekali, kecuali anggota wudunya. Masyarakat semakin terkejut karena Datu Sanggul hanya berpantun sementara orang-orang mulai mengangkat takbiratul ihram. Lalu, setelah mengucapkan takbir, tubuhnya mengawang-awang hingga selesai orang mengerjakan salat Jum'at. Melihat kejadian tersebut, orang-orang yang berada di masjid menjadi keheranan. Setelah itu, Datu Sanggul menginjakkan kakiknya kembali di lantai dan mengatakan seperti berikut.
"Aku tadi salat di Makkah. Kebetulan, di sana ada selamatan dan aku meminta sedikit. Mari kita cicipi bersama walau sedikit", kata Datu Sanggul, dimana setelah itu, orang-orang di sana mencicipi nasi yang dibawa Datu Sanggul dari Makkah.[2]
Adapun pantun yang Datu Sanggul ucapkan saat salat Jumat tersebut berbunyi sebagai berikut.[2]
"Riau-riau padang si bundan. Di sana padang si tamu-tamu. Rindu dendam tengadah bulan. Di hadapan Allah kita bertemu"
"Riau-riau padang si bundan.
Di sana padang si tamu-tamu.
Rindu dendam tengadah bulan.
Di hadapan Allah kita bertemu"
Karena Datu Sanggul sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan, maka ada beberapa riwayat mengenai hubungan mereka berdua.
Datu Kalampayan: “Saudara ini orang mana, asal negeri mana dan sudah berapa lama tinggal di Mekkah?” Datu Sanggul: “Saya setiap Jum’at datang ke sini untuk bersembahyang, dan aku berasal dari Banjar. Tempat diamku di Banjar. Jelasnya Tatakan.” Datu Kalampayan: “Jauh juga. Kalau begitu melewati Martapura, Kayu Tangi. Melalui tempat tinggalku. Itu sangat jauh. Jika demikian dengan apa ke mari setiap Jumat?” Datu Sanggul: “Aku tidak memakai apa-apa. Hanya karena hendak ke mari saja, dan kebetulan Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku sampai ke sini.”
“Kalau betul engkau pulang pergi dari Tatakan ke sini, coba tolong hari Jum’at yang akan datang bawakan aku oleh-oleh dari kampung. Aku sudah sangat lama tidak pulang. Mungkin sudah mencapai waktu 30 tahun. Selama ini aku selalu berada di Mekkah tak pernah ke mana-mana. Nah kira-kira musim buah apa di kampung kita? Bawakan ke mari untukku, terutama di Martapura sekarang ini musim apa kiranya.”
“Nah, Datu Kayu Tangi ambil durian dan kuini ini. Ini datang dari Sungkai."
Datu Kalampayan: "Guru, apakah durian yang ada di halaman istana itu sudah berbuah?" Datu Sanggul: "Sudah, dua biji buahnya, nanti aku ambilkan."
"Inilah Kitab Barincong nang sabujurnya." (Inilah Kitab Barencong yang sebenarnya)
Seperti Datu Suban yang merupakan gurunya, Datu Sanggul memiliki pemahaman tasawuf falsafi yang bersandar pada paham Nur Muhammad. Datu Sanggul memiliki kepiawaian dalam membuat pantun. Salah satu pantunnya yang masih populer di kalangan masyarakat Banjar dan Bakumpai adalah pantun Saraba Ampat yang biasa digunakan oleh sebagian ibu-ibu untuk menidurkan anaknya. Dalam kitab Manakib Datu Sanggul yang ditulis oleh Mawardi bin Lasan, pantun tersebut berbunyi sebagai berikut.[1]
"Allah jadikan saraba ampat Syariat Thoriqat Hakikat Ma'rifat Menjadi satu di dalam Khalwat Rasanya nyamannya tiada tersurat""Huruf ALLAH ampat banyaknya Alif 'itibar daripada Zat-Nya Lam Awwal dan Akhir sifat dari Asma Ha isyarat dari af'al-Nya" "Jibril-Mikail Malaikat mulia Isyarat Sifat Jalal dan Jamal Izrail-Israfil rupa pasangannya 'iItibar sifat Qahar dan Kamal" "Jabar-ail asal mulanya Bahasa Suryani asal mulanya Kebesaran Allah itu artinya Jalalullah bahasa Arabnya" "Nur Muhammad bermula nyata Asal jadi alam semesta Saumpama api dengan panasnya Itulah Muhammad dengan TuhanNya" "Api dan banyu, tanah dan hawa Itulah dia alam dunia Menjadi awak berupa-rupa Tulang sumsum daging dan darah" "Manusia lahir ke Alam Insan Di Alam Ajsam ampat bakawan Si Tubaniyah dan Tambuniyah Uriah lawan si Camariyah" "Rasa dan Akal, Daya dan Nafsu Di dalam Raga nyata bersatu Aku meliputi segala liku Matan hujung rambut ka hujung kuku" "Tubuh dan Hati, Nyawa dan Rasa Satu yang Zhohir amat nyatanya Tiga yang batin pasti adanya Alam Shogir itu sabutnya" "Mani-manikam, Madi dan Mazi Titis manitis jadi manjadi Si anak Adam balaksa kati Hanya yang tahu Allahu Rabbi" "Ka-ampat-ampatnya kada tapisah Datang dan bulik kepada Allah Asalnya awak daripada tanah Asalpun tanah sudah disyarah" "Dadalang Simpur barmain wayang Wayang asalnya si kulit kijang Agung dan sarun babun dikancang Kaler bapasang di atas gadang" "Wayang artinya si bayang-bayang Satu yang Zhohir amat nyatanya Sanua majaz harus dipandang Simpur balalakun hanya saorang" "Samar, Bagong si Nalagaring Si Jambulita suara nyaring Ampat isyarat amatlah panting Siapa handak mancari haning"
"Allah jadikan saraba ampat
Syariat Thoriqat Hakikat Ma'rifat
Menjadi satu di dalam Khalwat
Rasanya nyamannya tiada tersurat"
"Huruf ALLAH ampat banyaknya
Alif 'itibar daripada Zat-Nya
Lam Awwal dan Akhir sifat dari Asma
Ha isyarat dari af'al-Nya"
"Jibril-Mikail Malaikat mulia
Isyarat Sifat Jalal dan Jamal
Izrail-Israfil rupa pasangannya
'iItibar sifat Qahar dan Kamal"
"Jabar-ail asal mulanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Allah itu artinya
Jalalullah bahasa Arabnya"
"Nur Muhammad bermula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan TuhanNya"
"Api dan banyu, tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Menjadi awak berupa-rupa
Tulang sumsum daging dan darah"
"Manusia lahir ke Alam Insan
Di Alam Ajsam ampat bakawan
Si Tubaniyah dan Tambuniyah
Uriah lawan si Camariyah"
"Rasa dan Akal, Daya dan Nafsu
Di dalam Raga nyata bersatu
Aku meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka hujung kuku"
"Tubuh dan Hati, Nyawa dan Rasa
Satu yang Zhohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
Alam Shogir itu sabutnya"
"Mani-manikam, Madi dan Mazi
Titis manitis jadi manjadi
Si anak Adam balaksa kati
Hanya yang tahu Allahu Rabbi"
"Ka-ampat-ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kepada Allah
Asalnya awak daripada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah"
"Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya si kulit kijang
Agung dan sarun babun dikancang
Kaler bapasang di atas gadang"
"Wayang artinya si bayang-bayang
Sanua majaz harus dipandang
Simpur balalakun hanya saorang"
"Samar, Bagong si Nalagaring
Si Jambulita suara nyaring
Ampat isyarat amatlah panting
Siapa handak mancari haning"
Yusliani Noor, akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat, mengatakan bahwa jika memang pantun ini merupakan pantun Datu Sanggul, tasawuf yang dikembangkan Datu Sangggul merupakan tasawuf falsafi yang diambil dari pengaruh beberapa tokoh sufi, seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar, dan dari kitab Tuhfah al-Mursalah, serta Syekh Burhanpuri dengan ajaran Martabat Tujuh.[1] Selain pantun Saraba Ampat, Datu Sanggul juga memiliki pantun tentang makrifat dengan bunyi sebagai berikut.
“Jangan susah mencari bilah. Bilah ada di rapun buluh. Jangan susah mencari Allah. Allah ada di batang tubuh”
“Jangan susah mencari bilah.
Bilah ada di rapun buluh.
Jangan susah mencari Allah.
Allah ada di batang tubuh”
Kitab Barencong (atau Barincung) adalah sebuah kitab yang dimiliki oleh Datu Sanggul yang diperoleh dari Datu Suban, dimana kitab ini berisi berbagai ilmu dan amalan. Konon, Datu Sanggul dapat memperoleh beberapa kesaktian seperti salat di Masjidil Haram dan lain-lain berkat mengamalkan ilmu dari kitab ini dan gurunya (Datu Suban).[1][2]
Namun menurut salah satu versi "Cerita Masyarakat Banjar", Kitab Barencong ini merupakan kain dari jubah Datu Sanggul. Menurut versi ini, Datu Kalampayan pernah berkata "Inilah Kitab Barincong nang sabujurnya" (Inilah Kitab Barencong yang sebenarnya) saat membuka tikar purun dan kain kafan Datu Sanggul ketika Datu Sanggul meninggal dunia. Saat itu, Datu Kalampayan menunjuk guntingan potongan kain segitiga yang dibawanya dari Makkah,yang diperoleh saat Datu Kalampayan bertemu Datu Sanggul untuk menguji kebenaran dari kesaktian Datu Sanggul. Menurut versi ini, kitab ini sebenarnya tidak ada, tapi hanya kiasan atau simbol kemuliaan figur Datu Sanggul.[1]
Konon, kitab ini dipotong Datu Sanggul, satunya diberikan kepada masyarakat Hulu Sungai yang isinya tentang ilmu kepahlawanan dan satunya lagi diberikan kepada Datu Kalampayan yang isinya tentang ilmu kealiman yang diberikan bagi masyarakat Martapura. Menurut Yusliani Noor, cerita pembagian ini merupakan simbol bahwa kitab kealiman yang dimaksudkan adalah Datu Kalampayan sendiri yang kemudian menjadi ulama besar di Tanah Banjar dan Asia Tenggara.[1]