Besutan
Besutan adalah kesenian teater rakyat tradisional yang berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Seni tradisional Besutan diperkirakan berkembang pada akhir abad ke-18, dan merupakan pengembangan seni Lerok yang sudah merakyat.[1] Kesenian ini berkembang di tengah masyarakat agraris dan menjadi bagian penting dari ekspresi budaya lokal, terutama sebagai sarana kritik sosial, hiburan, dan edukasi masyarakat. SejarahBesutan berasal dari bahasa Jawa “besut” (dari “mbetô maksud”) yang berarti membawa pesan, karena pertunjukan ini berfungsi sebagai medium komunikasi sosial yang menyampaikan kritik, edukasi, dan hiburan.[2] Besutan memiliki akar dari pertunjukan lerok, yaitu pertunjukan keliling di desa yang menampilkan tokoh monolog tunggal. Dari lerok ini berkembanglah tokoh "Besut", yang kemudian menjadi ikon pertunjukan. Besut dikenal sebagai sosok yang bijak, lucu, dan kritis terhadap keadaan sosial, serta kerap menyampaikan sindiran melalui kidungan dan tarian. Dalam perkembangannya, pertunjukan ini kemudian dikenal sebagai "Besutan" karena menampilkan peran Besut dan sejumlah tokoh pendukung lainnya. Pada awalnya, pertunjukan dilakukan dengan sangat sederhana dan bersifat keliling dari desa ke desa. Namun, seiring waktu, struktur pertunjukan menjadi lebih kompleks, melibatkan beberapa pemeran seperti Besut, Rusmini (pasangan Besut), Sumo Gambar, dan Man Gondo.[butuh rujukan] PelaksanaanBesutan biasanya dimulai dengan ritual dramatik. Seorang pembawa obor mendampingi Besut yang berjalan merayap, bermata tertutup dan mulut disumbat tembakau, melambangkan kondisi rakyat dijajah.[3] Aksi ini menggambarkan penderitaan rakyat yang tertindas. Ketika sampai di titik tertentu, Besut membuka matanya, melepas tembakau, lalu mengambil obor sebagai simbol kebangkitan dan kesadaran. Ia kemudian menari dan menyampaikan kidungan penuh sindiran sosial, diiringi musik tradisional. Busana yang dikenakan oleh Besut memiliki makna simbolik: kain putih melambangkan kesucian, tali lawe di perut melambangkan kesatuan, dan topi merah menyimbolkan keberanian. Tema-tema lakon biasanya berisi kritik sosial, kisah cinta, cerita rakyat, hingga perjuangan melawan penindasan.[4] Nilai dan upaya pelestarianBesutan bukan hanya pertunjukan hiburan, tetapi juga merupakan cermin sosial yang menyuarakan aspirasi rakyat kecil. Ia menjadi media edukasi informal yang menyampaikan pesan moral dan semangat kebangsaan melalui parikan, kidungan, dan simbol-simbol visual. Kekuatan Besutan terletak pada kemampuannya untuk mengkritisi tanpa menggurui, menyentuh tanpa melukai. Sebagai cikal bakal genre pertunjukan Ludruk di Jawa Timur, Besutan telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kemendikbud RI sejak 2020.[5] Namun, tradisi ini masih sangat terbatas eksistensinya. Pemerintah daerah dan pelaku lokal kini terus berupaya melestarikannya lewat pendokumentasian, pendidikan di sekolah, festival kebudayaan, dan promosi inklusif. Meski mengalami penurunan—terutama karena kurangnya regenerasi—upaya revitalisasi tetap berlangsung untuk menjadikan Besutan simbol kebangkitan budaya Jombang dan bagian dari identitas lokal yang patut diwariskan.[6] Referensi
|