Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Ashim bin Tsabit al-Anshari

ʿAshim bin Tsābit (Arab: عاصم بن ثابت) adalah salah seorang Anshar dari suku Aus, seseorang yang termasuk dalam salah satu generasi pertama Muslim Sahabat Nabi dan yang membantu Muhammad setelah ia hijrah ke Madinah.[1] Ia termasuk generasi awal Madinah yang masuk Islam.[2]

Ashim berpartisipasi dalam Pertempuran Badar. Dia juga berpartisipasi dalam ekspedisi Hamra al-Asad paska Pertempuran Uhud, Setelah tinggal di Hamra al-Asad selama tiga hari, Muhammad kembali ke Madinah. Dia menangkap Abu Azzah al-Jumahi sebagai tawanan. Abu Azzah sebelumnya adalah salah satu tawanan Badar. Abu Azzah Amr bin Abd Allah al-Jumahi telah diperlakukan dengan baik oleh Muhammad setelah Perang Badar, karena ia adalah seorang pria miskin dengan anak perempuan, ia tidak memiliki sarana untuk membayar tebusan, ia dibebaskan setelah Perang Badar, dengan syarat bahwa ia tidak akan mengangkat senjata melawan Muslim lagi. Namun, ia telah mengingkari janjinya dan berpartisipasi dalam Perang Uhud. Ia memohon belas kasihan lagi, tetapi Muhammad memerintahkannya untuk dibunuh. Az-Zubair mengeksekusinya, dan dalam versi lain, Asim bin Tsabit.[2]

Saat Perang Uhud, ia berhasil membunuh Musafi dan Kilab—dua bersaudara putra Thalhah bin Abu Thalhah, keduanya terkapar oleh anak panahnya.[1]

Suatu hari Nabi mengajukan pertanyaan kepada para sahabatnya tentang cara berperang, Ashim bin Tsabit mengambil tombak dan perisainya, lalu menjawab, “Ketika musuh sudah dekat, kira-kira 200 hasta, senjata yang harus digunakan adalah panah. Jika jarak mereka kira-kira sepenombak, gunakanlah tombak untuk bertempur sampai tombak kita patah. Jika tombak sudah patah, singkirkan tombak, gunakanlah pedang untuk pertarungan jarak dekat.”

Nabi berkata, “Begitulah perang dijalankan, barangsiapa yang berperang hendaklah ia berperang seperti Ashim berperang.”[1]

Kematian

Ashim bin Tsabit terbunuh selama Ekspedisi Al Raji. Pada tahun 625, dimana awalnya beberapa orang Hudzail meminta Nabi Muhammad untuk mengirim pendakwah untuk mengajari mereka Islam, tetapi orang-orang itu bekerja sama dengan dua suku Khuzaymah yang ingin membalas dendam atas pembunuhan Khalid bin Sufyan oleh pengikut Muhammad dan mereka membunuh rombongan Ashim di daerah mata air al-Raji, milik suku Hudzail, sebelah utara kota Mekah.[2]

Ketika mereka orang Hudzail mendekari jasad Ashim, tiba-tiba gerombolan lebah menutupi tubuh Ashim bagaikan awan hitam. Mereka tak dapat mendekati apalagi menyentuh jasad Ashim untuk memenggal kepalanya. Lebah itu ibarat tentara Allah yang melindungi jasad Ashim.[1]

Menyaksikan kejadian tersebut, mereka berkata satu sama lain, “Lebih baik kita tunggu sampai malam hingga lebah-lebah itu pergi. Baru kemudian kita ambil kembali jasadnya.” Saat mereka menunggu, tiba-tiba muncul air bah dari atas bukit menghanyutkan jenazah Ashim. Hanya Allah yang tahu ke mana jenazah itu hanyut.[2]

Ketika mendengar kabar tentang Ashim, Umar bin al-Khattab berkata, “Sungguh ajaib cara Allah menjaga hamba-Nya yang beriman. Ashim pernah bersumpah tidak akan disentuh dan menyentuh seorang musyrik pun selama hidupnya. Maka, Allah menjaganya setelah ia wafat sebagaimana Dia menjaganya semasa hidup.”[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e Muhammad Raji Hassan, Kinas (2012). Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi. Jakarta: Penerbit Zaman. ISBN 978-979-024-295-1
  2. ^ a b c d Syaikh, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri (2012). Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. ISBN 978-602-98968-3-1
Kembali kehalaman sebelumnya