Aji Muhammad Alimuddin, dalam busana pernikahan (foto k. 1886).
Aji Muhammad Alimuddin (Adji Mohamad Alimoedin) adalah Sultan Kutai Kertanegara periode 1900–1910.[1] Ia merupakan putra pertama dari Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan Adji Rubia gelar Adji Ratu Agung. Nama kecilnya adalah Adji Dabo’ alias Adji Misbah.[2]
Keluarga
Ratu Permaisuri
Adji Hasanah Atau Adji Ratu Limah Gelar Adji Ratu Rebaya Agung II Binti Adji Aminuddin Gelar Adji Pangeran Mangkunegara Bin Sultan Adji Muhammad Sulaiman
Ratu Mahadewi
Adji Putri Anum Adiningrat Binti Adji Indra gelar Adji Pangeran Ratu I Bin Sultan Adji Muhammad Salehuddin I
Ratu Leko
Adji Gibek Binti Adji Sampai Bin Adji Soeka Bin Adji Nenut Bin Adji Pangeran Rawan Bin Adji Pangeran Dikota Bin Adji Pangeran Dipati Tua
Ratu Mahtoer
Ratu Kekew gelar Ratu Prabu Ningsih
Selir Sang Nata
Dayang Betje
Dayang Ebek Binti Aw. Kumbeng
Gundik Aji
Dayang Redaj
Dayang Tjekki
Dayang Sangko
Dayang Rekiyah
Dayang Minot
Dayang Rendai Gelar Raden Retno Kencono dari Kota Bangun
Anak
Adji Muhammad Ilyasin / Adji Ipe gelar Adji Pangeran Soemantri I anak laki laki tertua Sultan AM Alimuddin
Adji Addin / Haji Adji gelar Adji Pangeran Tumenggung Pranoto adalah Gubenur Pertama Provinsi Kalimantan Timur
Adji Uddin gelar Adji Pangeran Kartanegara
Adji Pungge
Adji Sunggo gelar Adji Raden Ratna Wati
Adji Lobak Sarbiah gelar Adji Raden Lesminingpuri
Adji Ndoro gelar Adji Raden Siti Sendoro
Adji Dudje gelar Adji Raden Siti Sundari
Adji Mudjenah
Adji Saidah gelar Adji Raden Djuwito Utomo Putro
Adji Mariam
Adji Mesiah gelar Adji Raden Sinto Putro
Adji Beduj Atau Adji Baduyah gelar Adji Raden Anggorosari
Masa pemerintahan
Aji Muhammad Alimuddin melakukan konsolidasi kekuasaan kesultanan pada masa pemerintahannya.[3] Langkahnya diawali sejak tahun 1900, berupa penarikan kembali semua tanah dinas (hak apanase), yang berdasarkan hukum tanah Kutai keseluruhannya adalah milik sultan.[3] Dengan demikian, potensi tambang batu bara dan minyak bumi berada dalam kontrol penguasaan kesultanan.[4]
Kesultanan Kutai Kartanegara berhasil mendapatkan hak kedaulatan pemerintahan sendiri pada masa pemerintahan Adji Muhammad Alimuddin ini, yaitu pada tahun 1902.[5] Ia juga pada tahun 1905 membagi daerah administratif kesultanan menjadi dua distrik; yaitu Ulu Mahakam dengan ibu kotanya di Long Iram, dan Muara Mahakam dengan ibu kotanya di Samarinda.[3][6] Di setiap ibu kota distrik ditetapkan hakim untuk mengurus persoalan pengadilan.[7]
Daerah Ulu Mahakam kemudian disewakan kepada Belanda pada tahun 1908, dan kesultanan mendapatkan kompensasi royalti sebesar 12.990 gulden per tahun.[4] Kehadiran pemerintahan dan pos militer Belanda di Long Iram mengundang datangnya para pedagang dari berbagai tempat untuk berbisnis di daerah pedalaman hulu Sungai Mahakam, antara lain orang-orang Banjar dan Bakumpai dari Kalimantan Selatan, serta orang-orang Kutai, Bugis, dan Tionghoa dari Samarinda.[8]
Di masa pemerintahannya pula, yaitu pada tahun 1907, misiGereja Katolik pertama dengan pusat gerakannya (stasi) di Laham, Kutai Barat, mulai dikembangkan.[4][8] Selanjutnya misi tersebut juga membuka sekolah di sana pada tahun 1911.[8]
Wafat dan penerus
Makam Sultan Aji Muhammad Alimuddin di Tenggarong.
Sultan Adji Muhammad Alimuddin wafat pada Rabu, 23 Maret 1910 Masehi atau 11 Rabi'ul Awal 1328 Hijriah dimakamkan di Kompleks Makam Kerajaan Kelambu Kuning.[9]
Anaknya Aji Muhammad Parikesit (atau Adji Kaget) diangkat menjadi penggantinya, namun karena masih di bawah umur, maka berada dalam Dewan Perwalian yang dipimpin oleh pamannya sebagai ketua, yaitu Adji Pangeran Mangkunegoro.[5][6] Pemerintahan kesultanan selama sepuluh tahun kemudian dipegang oleh Adji Pangeran Mangkunegoro, sehingga Adji Parikesit dinobatkan tahun 1920.[4]
^Umberan, Musni (1995). Sejarah Kebudayaan Kalimantan. Departeman [i.e. Departemen] Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.