Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Adi bin Hatim

Adi bin Hatim atau Adi bin Hatim ath-Tha'i (bahasa Arab: عدي بن حاتم الطائي) adalah seorang pemimpin Arab suku Thayyi', dan salah satu dari sahabat Muhammad. Dia adalah putra dari penyair Hatim al-Tai[1] yang dikenal secara luas karena kesopanan dan kemurahan hati di kalangan orang-orang Arab. Ibunya bernama al-Nawar dan adiknya bernama Safanah.[2] Adi menentang Islam selama sekitar dua puluh tahun sampai ia masuk Islam dari agama Kristen[3] pada tahun 630 (tahun ke-9 Hijriah).[4]

Kehidupan

Adi mewarisi marga dari ayahnya dan dikukuhkan dalam posisi sebagai orang Thayy. Sebagian besar kekuatannya terletak pada fakta bahwa seperempat dari jumlah apapun yang mereka dapatkan sebagai barang rampasan dari perampasan ekspedisi harus diberikan kepadanya.

Adi pernah diutus menghadap Nabi Muhammad dan ketika melihatnya, Nabi berkata, “Hai Adi bin Hatim, kenapa kau menjauh ketika dikatakan tiada Tuhan selain Allah? Adakah Tuhan selain Allah? Dan mengapa kau menjauh dari Allah Mahabesar? Adakah sesuatu yang lebih besar daripada Allah?”[2]

Adi bin Hatim pernah berkata, “Tak ada seorang Arab pun yang sangat membenci Rasulullah melebihi aku. Aku seorang Nasrani yang terpandang dan memiliki kekuasaan atas kaumku, dan menguasai seperempat ternak milik kaumku. Aku pemimpin agama (Kristen) yang dianggap bagaikan raja oleh kaumku. Ketika kudengar tentang Muhammad, aku sangat membencinya sehingga kukatakan kepada budak Arab yang sehari-harinya bertugas menggembala untaku, ‘Hitunglah unta-untaku yang bagus dan gemuk! Masukkan ke kandang yang tak jauh dari tempatku! Jika kaudengar pasukan Muhammad memasuki negeri ini, cepat beritahu aku! Budak itu melakukan apa yang kuperintah. Pada suatu hari, budak itu datang kepadaku dan berkata, ‘Tuan Adi, aku tak bisa melakukannya lagi jika pasukan berkuda Muhammad menyerangmu. Jadi, kusampaikan kepadamu sekarang juga, aku melihat panji-panji berkibar. Ketika kutanyakan, mereka menjawab, itu bendera pasukan Muhammad.’[2]

Kemudian Adi berkata, ‘Cepat, kumpulkan unta-untaku!’ Budak itu segera melakukannya dan aku sibuk membawa keluarga serta anak-anakku. Aku kumpulkan keluarga dan kaumku, kemudian aku berkata, ‘Sebaiknya kita menyingkir ke wilayah Syam membawa seluruh pemeluk Nasrani.’ Kemudian aku dan rombongan pergi melalui jalan yang lebih aman, tetapi salah seorang saudariku, Safanah bint Hatim, tertinggal di kampung.

Kami menetap di Syam (Suriah) selama beberapa saat. Pasukan Muhammad datang terlambat (300 pasukan berkuda dipimpin Ali bin Abi Thalib pada Rabiul Awal 9 H)[5] dan mereka hanya menemui Safanah putri Hatim yang kemudian menyampaikan tujuan pelarianku. Mereka menawan Safanah dan dibawa menghadap Rasulullah yang telah mengetahui kabar pelarianku ke Syam.”

Putri Hatim dan tawanan lain ditahan di dalam masjid. Ketika Rasulullah melewati tempat tawanan, Safanah berdiri.la dikenal sebagai wanita yang fasih bicara, cerdas, dan bijak. Safanah berkata kepada Rasulullah,"Wahai Rasulullah, ayahku telah tiada dan tak seorang pun yang menjadi pelindung serta penjaminku. Karena itu, bebaskanlah aku. Semoga Allah memberimu karunia-Nya.”

Rasulullah bertanya, “Siapakah yang menjadi jaminanmu sebelum ini ?” la menjawab, “Adi ibn Hatim.” Rasulullah berkata heran, “Adi ibn Hatim, orang yang melarikan diri dari Allah dan Rasui-Nya itu?” "Ya." jawab Safanah.

Rasulullah berlalu dan keesokan harinya beliau datang lagi ketika Safanah benar-benar dirundung rasa gelisah danputus asa. Seorang sahabat di belakang Rasulullah memberi isyarat agar Safanah berdiri dan berbicara kepada beliau. Maka, Safanah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, ayahku telah tiada dan tak ada seorang pun yang mau menjamin diriku. Maka, bebaskanlah aku. Semoga Allah memberimu karunia-Nya."

Nabi berkata, "Aku telah mengabulkan permintaanmu, tapi kuminta kau tidak terburu-buru pergi sampai kaudapatkan seseorang dari kaummu yang dapat dipercaya dan dapat membawamu kembali ke negerimu. Jika kau telah mendapatkannya, beritahu aku! ”[2]

Safanah putri Hatim berkata, “Kemudian aku bertanya tentang sahabat Nabi yang memberi isyarat kepadaku, dan seseorang menjawab bahwa lelaki itu adalah Ali bin Abu Thalib. Setelah pertemuan itu aku kembali menetap di tempat tawanan hingga suatu hari datang rombongan dari Syam dan aku berharap bisa mengunjungi saudaraku di sana.”

Safanah mengatakan lebih lanjut, “Aku segera menghadap Rasulullah dan kukatakan kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, sekelompok utusan dari kaumku telah datang (menghadapmu) dan aku menaruh kepercayaan kepada mereka.’

Rasulullah memberiku pakaian dan bekal sehingga aku dapat pergi bersama rombongan menuju Syam.”

Adi menceritakan, “Demi Allah, ketika aku duduk di antara keluargaku, tiba-riba aku melihat kereta kuda untuk wanita bergerak mendekati tempat kami. Kemudian aku mendengar seseorang berseru, ‘Itu Safanah binti Hatim!’ Ternyata benar, itu kereta Safanah. Saat bertemu dan berhadapan denganku, Safanah berkata memakiku, ‘Dasar lalim! Kau pergi membawa keluarga dan anak-anakmu, sementara aku, saudarimu, putri ayahmu, kautinggalkan tanpa perlindungan. Sungguh kau telah merusak kehormatanmu sendiri!’

Adi menjawab, ‘Hai saudariku, jangan katakan apa pun kecuali kebaikan! Demi Allah, aku tidak memiliki alasan apa pun. Aku menerima kesalahanku. Aku telah melakukan apa yang kaukatakan.’ Adi bersegera ke Madinah menemui Nabi dan menyatakan masuk Islam pada 9 H bersama kaumnya.[2] Setelah penaklukkan Mekah, Adi bin Hatim dapat tugas sebagai pengumpul sedekah dan zakat ke Bani Tha'i dan Bani Asad.[5]

Adi bergabung dengan tentara Islam pada masa khalifah Abu Bakar. Dia berperang melawan pemberontakan melawan orang-orang murtad dan juga adalah komandan tentara Islam yang dikirim untuk menyerang Irak di bawah komando Khalid bin al-Walid seperti Pertempuran Qadisiyah, pertempuran al-Jisr dan lainnya hingga ke Syam. Adi juga mengirimkan utusan yang membawa sedekah dari kaumnya kepada Khalifah Abu Bakar.[2]

Pada masa Khalifah Umar, Adi ibn Hatim datang menghadap. Saat ia masuk, Khalifah Umar seakan-akan tidak mengenalinya, maka, Adi berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah Tuan tidak mengenaliku?”

Khalifah Umar menjawab, “Demi Allah, tentu aku mengenalmu. Allah telah memuliakanmu. Demi Allah, aku sangatmengenalmu. Kau masuk Islam saat mereka semua kafir, Kau memenuhi janjimu saat mereka menjauh," Adi langsung berkata,"Cukup, wahai Amirul Mukminin, cukup![2] Adi lalu tinggal di Kufah.

Adi bin Hatim sering memberikan remah-remah roti kepada semut, dan ia pernah berkata, “Mereka (semut-semut) itu juga tetangga (kita) dan mereka juga punya hak.”[2]

Kematian

Ia juga berjuang di pihak Ali bin Abi Thalib, di Pertempuran Unta dan Pertempuran Siffin, ia wafat di Kufah di usia 120 tahun pada 687 M.[2]

Referensi

  1. ^ The Living Prophet by Syed Sulaiman Nadvi. pp. 106
  2. ^ a b c d e f g h i Muhammad Raji Hassan, Kinas (2012). Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi. Jakarta: Penerbit Zaman. ISBN 978-979-024-295-1
  3. ^ Mohammed and the Rise of Islam By David Samuel Margoliouth. pp. 437-438
  4. ^ Muhammad: The Messenger of Islam By Hajjah Amina Adil. pp. 530
  5. ^ a b Syaikh, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri (2012). Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. ISBN 978-602-98968-3-1
Kembali kehalaman sebelumnya