Abdulkadir Widjojoatmodjo
Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo (18 Desember 1904 – 24 Desember 1992) adalah seorang perwira militer, diplomat, dan pejabat tinggi Hindia Belanda hingga kematiannya pada tanggal 24 Desember 1992.[1] Awal karirAbdulkadir menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mengikuti pelatihan Indologi di Universitas Leiden di bawah bimbingan Christiaan Snouck Hurgronje yang merekomendasikan dia ke Homegrown Council. Di sana dia bekerja sebagai administrator. Pada tahun 1919 ia menjadi sekretaris kedutaan Belanda di Jeddah di Kerajaan Hejaz. Pada tahun 1932 ia menjadi wakil konsul di Makkah, Arab Saudi dan karenanya menjadi wakil tertinggi Belanda. Tepat sebelum pecahnya Perang Dunia II dia adalah pejabat senior di Nugini.[1] Sejak Maret 1944 menjadi konsultan pelayanan publik Wakil Gubernur Jenderal Hubertus van Mook yang coba dipulihkan oleh pemerintah Belanda dari luar Hindia Belanda dengan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA), dari 1946 Cabang Urusan Sipil Administrasi Militer Sekutu (AMACAB) dan setelah kepergian pasukan Departemen Administrasi Sementara Inggris. Ia untuk sementara menjabat sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Brisbane. Abdulkadir ikut serta dalam pemulihan kekuasaan Belanda di Hindia Timur dan diangkat menjadi residen (sebagai kolonel di KNIL) dari Maluku.[2] Revolusi Nasional Indonesia![]() Abdulkadir berperan aktif dalam persiapan perubahan konstitusi tahun 1946 sebagai bagian dari Sekretaris Negara urusan masyarakat. Pada akhir tahun 1947, ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan menjadi utusan delegasi Belanda pada saat PBB memimpin perundingan kemerdekaan Indonesia.[1] Perjanjian RenvilleDalam Perjanjian Renville, Abdulkadir menjadi utusan delegasi Belanda yang berlangsung pada tanggal 8 Desember 1947. Abdulkadir menandatangani perjanjian tersebut mewakili Belanda.[2] Terbentuknya Negara Pasundan![]() Abdulkadir yang menjabat sebagai Recomba (gubernur) Jawa Barat berinisiatif menyelenggarakan konferensi pertama Negara Pasundan pada tanggal 12–19 Oktober 1947. Ia mengundang mantan residen republik di Bogor Hilman Djajadiningrat sebagai peserta konferensi yang kemudian ditunjuk sebagai ketua.[2] Pasca perangAbdulkadir terus tinggal di Indonesia setelah Indonesia merdeka selama 17 tahun. Di sana, ia diperlakukan seperti orang buangan karena bekerja sama dengan Belanda. Setelah kesehatannya menurun, ia pindah ke Belanda.[2] Ia meninggal pada tahun 1992 di Den Haag dan kemudian dimakamkan di makam keluarga di Karanganyar.[2] Referensi
|