18 tewas 73 luka 1 tertangkap 2 helikopter hancur 1 tewas 9 luka 3 luka
133 tewas (SNA)[2] 200 tewas 500 luka (termasuk warga sipil) (Palang Merah)[3] 300–500 tewas 2.000 luka (perkiraan lainnya)[4][5]
Pertempuran Mogadishu (bahasa Somali: Maalintii Rangers, har. 'Hari Para Rangers'), juga dikenal sebagai insiden Black Hawk Down, merupakan bagian dari Operasi Gothic Serpent. Peperangan ini berlangsung pada tanggal 3–4 Oktober 1993 di Mogadishu, Somalia, antara pasukan Amerika Serikat—didukung oleh UNOSOM II—melawan pasukan Aliansi Nasional Somalia (Somali National Alliance, SNA) dan warga sipil bersenjata di selatan Mogadishu.
Peperangan ini merupakan bagian dari Perang Saudara Somalia yang telah berlangsung selama dua tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa pada awalnya mengirimkan pasukan untuk meringankan bencana kelaparan di selatan Somalia. Akan tetapi, PBB mulai mencoba untuk menegakkan demokrasi dan memulihkan pemerintah pusat. Pada Juni 1993, pasukan pemelihara perdamaian PBB mengalami hari paling mematikan mereka ketika kontingen Pakistan diserang ketika sedang memeriksa gudang persenjataan SNA. UNOSOM II menyalahkan pemimpin SNA Mohamed Farrah Aidid, dan melancarkan pemburuan. Pada Juli 1993, pasukan AS di Mogadishu melakukan penggerebekan Abdi House (Abdi House raid) dengan tujuan mencari Aidid, dan penggerebekan tersebut menewaskan banyak sesepuh dan anggota terkemuka dari klan Aidid, Habr Gidr.[6][7] Penggerebekan tersebut menyebabkan banyak warga Mogadishu ikut melawan UNOSOM II, dan pada bulan berikutnya, Aidid dan SNA menyerang personel AS untuk pertama kalinya. Hal tersebut membuat Presiden Bill Clinton mengerahkan Satuan Tugas Ranger (Task Force Ranger) untuk menangkap Aidid.[8][9][10]
Pada 3 Oktober 1993, pasukan AS berencana untuk menangkap dua letnan tertinggi Aidid dalam sebuah pertemuan mereka di dalam kota. Penggerebekan tersebut hanya dimaksudkan untuk berlangsung selama satu jam, tetapi berubah menjadi standoff sepanjang malam dan diperpanjang oleh upaya penyelamatan hingga siang hari pada hari berikutnya. Saat tujuan operasi tersebut telah tercapai, hasilnya adalah kemenangan piris dan berujung dengan Peperangan Mogadishu yang mematikan.[11] Selama operasi berlangsung, pasukan Somalia menembak tiga helikopter Sikorsky UH-60 Black Hawk Amerika menggunakan RPG-7,[12] mengakibatkan dua helikopter jatuh di wilayah musuh. Dua helikopter yang jatuh tersebut mempertahankan diri sepanjang malam untuk melindungi para korban selamat dari kecelakaan tersebut. Pada pagi hari, konvoi kendaraan tempur lapis baja UNOSOM II bertempur menuju lokasi pasukan yang terkepung, lalu kembali, memperparah jumlah korban tewas dan luka, tetapi menyelamatkan para korban selamat.[13]
Sejak Perang Vietnam, tidak ada peperangan yang telah menewaskan begitu banyak pasukan AS.[14] Korban antara lain 18 tentara AS tewas dan 73 luka-luka,[15] dengan pasukan Malaysia satu tewas dan sembilan luka-luka, dan pasukan Pakistan tiga luka-luka.[16] Korban Somalia jauh lebih tinggi, termasuk warga sipil, perkiraan antara 315 dan 2.000 tewas.[13]
Setelah peperangan tersebut, tentara AS yang tewas diseret di sepanjang jalanan di Mogadishu oleh warga Somalia yang marah, aksi tersebut disiarkan di televisi Amerika yang menimbulkan kecaman publik. Peperangan tersebut berujung pada penarikan misi PBB setelah 1995. Ketakutan akan berulangnya kejadian tersebut membuat AS enggan untuk meningkatkan keterlibatannya di Somalia dan daerah lain. Beberapa pengamat mengatakan bahwa hal tersebut memengaruhi keputusan Administrasi Clinton untuk tidak campur tangan dalam mencegah genosida Rwanda, dan umumnya telah dirujuk sebagai "Sindrom Somalia" (Somalia Syndrome).[17][18][19][20]
Pertempuran parah pecah di Mogadishu antara Mahdi dan Aidid, lalu menyebar ke seluruh penjuru negeri, menyebabkan lebih dari 20.000 korban pada akhir 1991. Perang saudara tersebut menghancurkan pertanian Somalia, yang menyebabkan bencana kelaparan di sebagian besar selatan Somalia. Masyarakat internasional mulai mengirimkan pasokan makanan, tetapi banyak—perkiraan mulai dari 20 sampai 80 persen[24]—dibajak dan dibawa ke pemimpin klan setempat, yang secara rutin menukarnya dengan negara lain untuk senjata.[25] Antara 1991 dan 1992 diperkirakan 200.000 sampai 300.000 orang meninggal akibat kebuluran, dan 1,5 juta lainnya menderita karenanya. Situasi ini diperburuk oleh pembajakan konvoi bantuan dan pasokan.[23][26]
Operasi Provide Relief dimulai pada Agustus 1992, saat Presiden ASGeorge H. W. Bush mengumumkan bahwa transportasi militer AS akan mendukung upaya batuan multinasional PBB di Somalia. Sepuluh C-130 dan 400 orang dikerahkan ke Mombasa, Kenya, mengirimkan bantuan ke
wilayah terpencil Somalia menggunakan angkutan udara dan mengurangi ketergantungan dengan konvoi truk. C-130 mengantarkan sekitar 48.000 ton makanan dan pasokan medis dalam enam bulan ke organisasi kemanusiaan internasional yang mencoba membantu lebih dari tiga juga warga Somalia yang kelaparan.[23]
Ketika hal tersebut tidak menghentikan kematian dan perpindahan besar-besaran warga Somalia (500.000 meninggal dan 1,5 juta pengungsi atau pindah), AS melancarkan operasi koalisi besar untuk membantu dan melindungi aktivitas kemanusiaan pada Desember 1992. Operasi ini bernama Restore Hope, dengan AS mengambil alih komando terpadu sesuai dengan Resolusi 794. Korps Marinir AS mendaratkan 15th Marine Expeditionary Unit (Special Operations Capable) di Mogadishu dengan elemen dari 2nd Battalion 9th Marines dan 3rd Battalion 11th Marines dan mengamankan fasilitas penting dalam dua pekan, dengan niat memfasilitasi aksi kemanusiaan. Elemen dari 2nd Battalion 9th Marines HMLA-369 (Marine Light Attack Helicopter Squadron 369 of Marine Aircraft Group 39, 3rd Marine Aircraft Wing, Camp Pendleton), 9th Marines, dengan cepat mengamankan rute menuju Baidoa, Balidogle, dan Kismayo, lalu diperkuat oleh 10th Mountain Division Angkatan Darat AS.[23]
Intervensi PBB, didukung oleh Marinir AS, telah dipuji karena membantu mengakhiri kelaparan di Somalia, walaupun kelaparan tersebut sudah membaik di daerah paling terdampak sebelum pasukan datang.[27][28] Pada November 1994, organisasi nonpemerintah Refugee Policy Group yang berbasis di Washington memperkirakan bahwa sekitar 100.000 nyawa terselamatkan dari hasil bantuan internasional, termasuk 10.000 setelah dikerahkannya pasukan AS pada Desember 1992.[26]
Perubahan misi
Pada 3 Maret 1993, Sekretaris Jenderal PBBBoutros Boutros-Ghali menyampaikan rekomendasinya ke Dewan Keamanan PBB untuk mengganti dari UNITAF ke UNOSOM II. Ia mengatakan bahwa semenjak diadopsinya Resolusi 794 pada Desember 1992, UNITAF telah mengerahkan 37.000 personel di atas 40 persen di selatan dan tengah Somalia. Ia mengatakan bahwa keberadaan dan operasi pasukan telah memulihkan kondisi keamanan Somalia dan pengiriman bantuan kemanusiaan. Masih tidak ada pemerintahan, polisi, atau angkatan darat nasional yang efektif, membuat keamanan personel PBB terancam. Untuk mengakhiri hal tersebut, Dewan Keamanan mengizinkan UNOSOM II untuk membuat lingkungan yang aman di seluruh Somalia, agar tercapai rekonsiliasi nasional lalu membentuk negara yang demokratis.[23][29]
Pada Konferensi Untuk Rekonsiliasi Nasional di Somalia yang diselenggarakan pada 15 Maret 1993 di Addis Ababa, Ethiopia, semua 15 pihak dari Somalia setuju dengan ketentuan yang dibuat untuk mengembalikan perdamaian dan demokrasi. Namun, dalam sebulan atau lebih, pada Mei 1993, semakin jelas bahwa, meskipun menandatangani Perjanjian Maret, faksi Mohammed Farrah Aidid tidak bekerja sama dalam implementasi perjanjian tersebut.[23]
Serangan ke tentara Pakistan dan pemburuan Aidid
Pada 5 Juni 1993, milisi Aidid dan warga Somalia di Stasiun Radio Mogadishu menyerang pasukan Pakistan yang sedang memeriksa sebuah gudang persenjataan di dekat stasiun radio tersebut karena takut jika pasukan PBB telah dikirim untuk mematikan insfratruktur penyiaran SNA.
Radio adalah media massa paling populer untuk penyiaran berita di Somalia. Akibatnya, kontrol atas radio dianggap penting baik bagi SNA maupun UNOSOM. Radio Mogadishu adalah stasiun radio yang sangat populer di kalangan masyarakat Mogadishu,[30] dan rumor jika PBB telah berencana untuk merebut atau menghancurkan Radio Mogadishu telah beredar selama berhari-hari sebelum 5 Juni. Pada 31 Mei 1993, lawan politik Aidid bertemu dengan pejabat tinggi UNOSOM dan mencoba meyakinkannya untuk mengambil alih Radio Mogadishu, pertemuan tersebut sangat diketahui oleh Aidid.[31]
Menurut penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1994 pada peristiwa yang menyebabkan peperangan Mogadishu:
"Pendapat berbeda-beda—bahkan sesama pejabat UNOSOM—tentang apakah pemeriksaan senjata pada 5 Juni 1993 benar-benar asli atau hanya cover-up tentang pengintaian dan kemudian merebut Radio Mogadishu."[32]
Serangan tersebut menandai peristiwa yang akan sangat memengaruhi operasi UNOSOM II. Korban pasukan Pakistan adalah 24 tewas dan 57 luka-luka, serta satu tentara Italia dan tiga tentara Amerika luka-luka.[33]
Sebagai tanggapan, pada 6 Juni 1993, Dewan Keamanan PBB yang marah mengesahkan Resolusi 837, sebuah panggilan untuk penangkapan dan peradilan bagi orang yang bertanggung jawab atas kematian dan terlukanya pasukan pemelihara perdamaian. Meskipun Resolusi 837 tidak menyebut nama Aidid, Resolusi tersebut menyatakan Aliansi Nasional Somalia yang bertanggung jawab. Perburuan untuk Aidid menjadi fokus utama intervensi PBB melalui Peperangan Mogadishu.[30][31][34]
Laksamana Jonathan Howe menerbitkan surat perintah $25.000 untuk informasi yang mengarah pada penangkapan Aidid, sementara pasukan UNOSOM mulai menyerang target di seluruh Mogadishu dengan harapan akan menemukannya.[35]
Penggerebekan Bloody Monday
Salah satu aksi tersebut—Penggerebekan Abdi House atau Bloody Monday—berlangsung di pagi hari pada 12 Juli 1993, ketika orang terkemuka Somalia dan sesepuh klan Habr Gidr berpangkat tinggi dan subklan Hawiye lainnya bertemu di "Abdi House", sebuah villa di Mogadishu milik Menteri Dalam Negeri Aidid, Abdi Hasan Awale.
Alasan pertemuan tersebut dan siapa saja yang menghadiri belum jelas. Pejabat AS dan PBB mengatakan bahwa pertemuan tersebut adalah perkumpulan war council SNA yang termasuk garis keras dan penasihat dekat Aidid yang mengarahkan serangan ke pasukan PBB.[27][36] Tetapi, hal ini diperdebatkan oleh SNA, korban selamat, dan saksi mata, yang pendapatnya dikuatkan oleh beberapa bantuan dan organisasi keadilan seperti Human Rights Watch dan Doctors Without Borders, serta jurnalis di Mogadishu, seperti koresponden perang berkebangsaan Amerika Scott Peterson. Kelompok terakhir berpendapat bahwa pertemuan tersebut menarik anggota terkemuka Habr Gidr bersama dengan anggota subklan Hawiye lainnya dan sesepuh klan untuk membahas inisiatif perdamaian untuk mengakhiri konflik empat bulan antara SNA dan UNOSOM.[14][36][37][38]
Pasukan AS di bawah izin PBB diberikan izin untuk menyerang pertemuan tersebut sebagai bagian dari kampanye untuk menangkap atau membunuh Aidid. Misi tersebut diberikan ke 10th Mountain Division Angkatan Darat AS dari QRF (Quick Reaction Force) di Mogadishu.[14]
Pejabat AS dan PBB mengatakan bahwa misi tersebut adalah serangan militer yang berhasil,[27][37] tepat waktu untuk membunuh letnan kepala Aidid dan dilakukan dengan akurat, dengan kerusakan dan korban terbatas di kompleks itu. Para pejabat mendeskripsikan serangan tersebut sebagai ledakan bagi struktur komando SNA,[40] dan kemunduran bagi para garis keras, membuka jalan bagi anggota yang lebih kooperatif untuk mengambil kekuasaan.[41] Menurut pejabat PBB, serangan tersebut menewaskan 13 orang, termasuk beberapa komandan tingkat tinggi Aidid dan mereka yang bertanggung jawab atas serangan 5 Juni ke pasukan Pakistan.[40] Menurut Peterson, pertemuan tersebut telah dipublikasikan di surat kabar sehari sebelum serangan, sebagai pertemuan damai, tetapi menurut Howe, "Pertemuan sesepuh klan yang mencari solusi damai ada di beberapa blok seberang" dari pertemuan Abdi House.[14][39]
Penulis buku Black Hawk Down, Mark Bowden, setelah beberapa wawancara dengan Howe, memperdebatkan tuntutan Howe bahwa sesepuh klan melakukan pertemuan di lokasi yang lain.[42] Departemen Hukum Misi PBB ke Somalia menentang legalitas dan pelaksanaan penggerebekan itu. Pejabat Tinggi Peradilan UNOSOM di Somalia, Ann Wright, mengundur diri setelah berdebat bahwa penggerebekan tersebut "nothing less than murder committed in the name of the United Nations" dalam sebuah memo ke Howe.[43][44][45] Sebuah laporan Human Rights Watch mengatakan bahwa UNOSOM tidak memberikan bukti untuk mendukung klaimnya tentang penggerebekan tersebut.[36]
Menurut Palang Merah, ada 215 korban Somalia, walaupun mereka hanya bisa menyurvei korban tewas dan luka-luka di dua rumah sakit di Mogadishu setelah serangan.[40] Seorang juru bicara Aidid mengatakan, 7 tewas termasuk sesepuh terkemuka klan, tuduhan yang ditolak UNOSOM.[37][40] Bowden mencatat bahwa setiap saksi mata yang ia wawancarai mengatakan jumlah kematian sebanyak 70 atau lebih, dan Mantan Duta Besar dan Utusan Khusus AS ke Somalia, Robert B. Oakley, menerima angka tersebut. Lebih lanjut, ia mencatat bahwa banyak dari mereka yang telah diwawancarai—termasuk pekerja bantuan non-Somalia—akan mengatakan bahwa banyak yang terbunuh di serangan tersebut adalah orang-orang moderat Habr Gidr yang dihormati dan menentang Aidid.[42] Terlepas dari tujuan pertemuan sebenarnya, serangan tersebut biasanya dianggap sebagai yang paling signifikan dari banyak insiden yang terjadi di 1993 yang mengakibatkan banyak warga Somalia melawan UNOSOM II, khususnya kontingen AS.[27][37][46][47]
Beberapa bantuan dan organisasi hak asasi manusia, khususnya Doctors Without Borders mengkritik penggerebekan tersebut. Presiden organisasi tersebut, Rony Brauman, menyatakan bahwa, "Untuk pertama kalinya di Somalia telah terjadi pembunuhan di bawah bendera kemanusiaan". Beberapa personel berpangkat tinggi badan tersebut mengklaim bahwa saat pertemuan 12 Juli berisi perwakilan yang dihormati dari masyarakat umum yang dapat menggantikan Aidid dan lebih lanjut mencatat bahwa administrator dengan pangkat tertinggi untuk Kota Merca tewas dalam pertemuan tersebut.[14][36][38]Human Rights Watch menyatakan bahwa serangan tersebut "terlihat seperti pembunuhan massal" dan reporter Amerika yang hadir di lokasi mengatakan bahwa penggerebekannya jauh lebih mematikan daripada yang diketahui pejabat AS dan PBB.[36][40] Mark Bowden berpendapat bahwa penggerebekan tersebut menandai eskalasi yang serius terkait konflik di Somalia, dan merupakan "a monumental misjudgement" dan "tragic mistake".[27][48] Rekaman yang direkam dalam insiden tersebut oleh seorang juru kamera Somalia dianggap terlalu ngeri hingga CNN menganggapnya terlalu graphic untuk disiarkan ke publik Amerika.[14][28] Beberapa jurnalis asing yang datang ke lokasi penggerebekan diserang oleh massa yang marah. Lima jurnalis tewas, mengakibat ditariknya beberapa organisasi media dari Mogadishu yang berakibat pada kurangnya cakupan informasi pada peperangan 3–4 Oktober.[49]
Menurut pandangan Robert B. Oakley, "Before July 12th, the U.S. would have been attacked only because of association with the UN, but the U.S. was never singled out until after July 12th".[8] Serangannya adalah pertama kalinya pasukan PBB di Somalia secara spesifik menargetkan orang alih-alih gudang persenjataan, menandai titik balik dalam apa yang telah menjadi konflik intensitas ringan.[50] Di dua setengah tahun setelah perang saudara dimulai, Bloody Monday mewakili satu serangan paling mematikan di Mogadishu.[14] Bagi Habr Gidr—termasuk mantan moderat dan bahkan klan lain yang telah melawan mereka selama perang saudara—penggerebekan tersebut menandai dimulainya perang dengan kontingen Amerika, yang memuncak di Peperangan Mogadishu tiga bulan kemudian.[37][50][51] Peristiwa Bloody Monday membuat Aidid untuk memutuskan keputusan secara spesifik menargetkan tentara Amerika untuk pertama kalinya dan mengakibatkan pembunuhan tentara AS yang mendorong Presiden Clinton untuk mengirimkan pasukan tambahan untuk menangkapnya.[52]
Pembunuhan Agustus dan penempatan Satuan Tugas Ranger
Dalam tiga minggu setelah peristiwa Bloody Monday, terjadi jeda besar dalam operasi UNOSOM di Mogadishu, karena kota tersebut menjadi sangat bermusuhan dengan pasukan asing. Lalu pada 8 Agustus, di sebuah wilayah di kota tersebut telah dianggap "relatif aman untuk dikunjungi", SNA meledakkan bom ke Humvee militer AS, menewaskan empat tentara. Total hanya tiga tentara AS tewas dalam intervensi, menandai insiden 8 Agustus sebagai pembunuhan tunggal pasukan AS terbesar di Somalia sejauh ini.[53][54]
Pada 22 Agustus 1993, unit tersebut dikerahkan ke Somalia di bawah komando Mayor Jenderal William F. Garrison, Komandan Komando Operasi Khusus Gabungan (Joint Special Operations Command, JSOC) pada saat itu.[57]
Pasukannya terdiri dari:
B Company, 3rd Battalion, 75th Ranger Regiment di bawah komando Kapten Michael D. Steele
C Squadron, 1st Special Forces Operational Detachment-Delta (1st SFOD-D) di bawah komando Letkol Gary L. Harrell[58]
Paket pengerahan 16 helikopter dan personel dari 1st Battalion, 160th Special Operations Aviation Regiment (160th SOAR), termasuk MH-60 Black Hawks dan AH/MH-6 Little Birds
Navy SEAL dari Naval Special Warfare Development Group (DEVGRU)
Air Force Pararescuemen dan Combat Controllers dari 24th Special Tactics Squadron.[59]
Penembakan Black Hawk sebelumnya
Pada bulan September, milisi Somalia menggunakan RPG untuk menyerang helikopter Black Hawk Angkatan Darat AS, merusak setidaknya satu dan dapat kembali ke pangkalan.
Lalu, pukul 2 AM pada 25 September—satu minggu sebelum Pertempuran Mogadishu—SNA menggunakan RPG untuk menembak jatuh sebuah helikopter Black Hawk (tanda panggilanCourage 53) saat tengah berpatroli.[60][61] Pilotnya mampu menerbangkan helikopter mereka yang terbakar, menjauh dari wilayah Aidid menuju ke Pelabuhan Mogadishu yang lebih bersahabat dengan UNOSOM lalu mendarat darurat. Pilot dan kopilot selamat, tetapi tiga krunya tewas. Baku tembak terjadi karena pasukan pemelihara perdamaian bergerak menuju lokasi pendaratan.[61]
Peristiwa tersebut adalah kemenangan propaganda bagi SNA.[60][62][63][64] Juru bicara Kepala UNOSOM II di Mogadishu, Mayor David Stockwell Angkatan Darat AS, merujuk penembakan tersebut sebagai "tembakan yang sangat beruntung."[64]
Pihak terlibat
AS dan UNOSOM
Unit yang terlibat dalam pertempuran:
Task Force Ranger, termasuk:
C Squadron, 1st Special Forces Operational Detachment-Delta (1st SFOD-D) — alias Delta Force[65]
1st Battalion, 160th Special Operations Aviation Regiment (Airborne) (The Night Stalkers) dengan MH-6J dan AH-6 "Little Birds" dan MH-60 A/L Black Hawks[65]
Combat Controllers dan Pararescuemen dari 24th Special Tactics Squadron[66]
Navy SEAL dari Naval Special Warfare Development Group (DEVGRU)
11th Regiment, Grup Gerak Khas dari Malaysian Army (beberapa operator GGK saat menyelamatkan kru Super 6-1)[70]
7th Battalion, Frontier Force Regiment dari Angkatan Darat Pakistan[71]
Aliansi Nasional Somalia dan pasukan tidak tetap
Aliansi Nasional Somalia (SNA) dibentuk pada Juni 1992, setelah pertahanan yang berhasil oleh banyak faksi melawan serangan dari diktator Somalia Siad Barre, dalam percobaannya untuk merebut kembali Mogadishu. Selama pemburuan Aidid oleh UNOSOM, SNA terdiri dari beberapa organisasi politik seperti, Col. Omar Gess' Somali Patriotic Movement, Somali Democratic Movement, gabungan klan Digil dan Mirifleh, Habr Gidr dari Kongres Serikat Somalia yang diketuai oleh Aidid, dan Gerakan Nasional Somalia Selatan yang baru dibentuk.[28][72]
Ukuran dan struktur organisasi pasukan milisi Somalia yang terlibat dalam peperangan tidak diketahui secara detail. Secara keseluruhan, diperkirakan 1.500–4.000 anggota faksi reguler dipercaya telah berpartisipasi, hampir dari semuanya milik Aliansi Nasional Somalia Aidid. Mereka diambil sebagian dari subklan Habr Gidr, Hawiye, yang mulai melawan pasukan AS setelah 12 Juli 1993.[13][73]
Kolonel Sharif Hassan Giumale, Wakil Komandan Komisi Tinggi Pertahanan SNA, adalah seorang komandan taktikal yang secara langsung memerintah operasi pasukan Aliansi Nasional Somalia selama Peperangan Mogadishu.[74] Giumale, seorang mantan perwira tentara Somalia dan komandan brigade berusia 45 tahun, pernah belajar di Akademi Militer Soviet Di Odessa lalu ke Italia untuk belajar lebih jauh.[75] Ia mendapatkan pengalaman tempur di Angkatan Darat Nasional Somalia selama Perang Ogaden dengan Ethiopia di akhir 1970-an dan pecahnya perang saudara di 1991.[74][76] Banyak dari taktik Aidid, Giumale, dan komandan bawahan SNA lainnya terinspirasi dari buku Tiongkok dan Vietnam tentang perang gerilya dan dari nasihat veteran mujahidin, yang baru saja memenangkan Perang Soviet–Afganistan.[74][77]
Selama peperangan 3–4 Oktober, pasukan SNA bertempur bersama ratusan tentara tidak tetap (irregulars)—Utusan Khusus AS untuk Somalia Robert B. Oakley menyebut mereka sebagai "sukarelawan"—yang kebanyakan merupakan warga sipil tak terlatih, banyak dari mereka adalah wanita dan anak-anak yang mengeluhkan keberadaan pasukan UNOSOM.[9][74]Pelanggaran HAM dan pembunuhan oleh pasukan pemelihara perdamaian, serangan udara militer AS di daerah padat penduduk menyebabkan korban sipil, penggusuran paksa untuk pelebaran kompleks PBB, dan sulitnya mendapatkan jalur hukum atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan pasukan PBB, membuat kebencian terhadap pasukan PBB meningkat di masyarakat Mogadishu.[46][47][78] Pada hari-hari sebelum pertempuran, kemarahan warga Somalia memuncak melawan pasukan UNOSOM ketika kru mortir Amerika melontarkan peluru artileri ke daerah padat penduduk di sekitar pangkalan, menewaskan delapan keluarga dan melukai 34. Hal ini membuat marah warga selatan Mogadishu, menurut jurnalis Amerika Scott Peterson.[79]
Sejumlah besar warga Somalia yang tidak berafiliasi dengan SNA secara spontan bergabung dalam pertempuran bersama SNA selama pertempuran, karena senjata kecil didistribusikan secara luas di masyarakat Mogadishu.[13]Tentara tidak tetap sering kali merumitkan situasi bagi para komandan SNA, karena mereka tidak dapat dikontrol dan sering kali meminta amunisi dan membebani sistem evakuasi medis milisi.[80] Elemen penting dari sukarelawan terdiri dari senior, wanita, dan anak-anak yang menggunakan senjata kecil.[12][74] Banyak dari sukarelawan sebenarnya tidak ambil bagian dalam peperangan, tetapi beroperasi sebagai pengintai atau pengirim pesan untuk pasukan SNA.[74]
Banyak dari sukarelawan selama Peperangan Mogadishu berasal dari klan rival. Anggota dari klan Abgal dan Habr Gidr—yang telah menghancurkan petak-petak di Mogadishu dan saling melawan satu sama lain beberapa bulan sebelumnya—bertempur bersama-sama melawan pasukan UNOSOM.[14]
Perencanaan
Pada pagi hari tanggal 3 Oktober 1993, aset intelijen setempat yang dipekerjakan melaporkan kepada CIA bahwa dua penasihat utama Aidid di SNA, Omar Salad Elmi dan Abdi Hassan Awale, akan bertemu di dekat Hotel Olympic (2°03′04.1″N45°19′28.9″E / 2.051139°N 45.324694°E / 2.051139; 45.324694). Aset tersebut mengatakan bahwa Aidid dan tokoh berpangkat tinggi lainnya berkemungkinan hadir.[81] Hotel Olympic dan Pasar Bakara di sekitarnya dianggap sebagai wilayah Habr Gidr dan sangat tidak bersahabat, karena klan tersebut adalah komposisi penting dari milisi SNA. Pasukan UNOSOM telah menolak untuk memasuki wilayah tersebut selama konflik sebelumnya dengan SNA.[81]
Rencana untuk menangkap targetnya relatif mudah dan tidak rumit. Pertama, aset CIA Somalia akan berangkat menuju lokasi pertemuan dan akan membuka kap mobilnya untuk menandai bangunannya untuk pesawat pengawasan (surveilance aircraft) di atas.[81] Operator Delta lalu akan menyerang dan mengamankan bangunannya menggunakan helikopter MH-6 Little Bird. Empat chalk Ranger di bawah Kapten Michael D. Steele akan terjun menggunakan tali (fast-roping) dari MH-60L Black Hawk. Para Ranger lalu akan membuat perimeter pertahanan bersudut empat di sekitar bangunan target untuk memastikan agar tidak ada musuh yang bisa masuk ataupun keluar. Terjun menggunakan tali dianggap penting untuk penggerebekan tersebut karena tidak ada tempat mendarat bagi Black Hawk untuk mengerahkan pasukan.[81][82]
Pasukan operasi khusus terdiri dari Bravo Company 3rd Battalion, 75th Ranger Regiment, 1st Special Forces Operational Detachment-Delta, dan 160th Aviation Battalion, yang akan menangkap Omar Salad Elmi dan Mohamed Hassan Awale.[83] Sebuah konvoi 12 kendaraan (sembilan Humvee dan tiga truk M939) di bawah komando Letnan Kolonel Danny McKnight akan sampai di bangunannya untuk menjemput tim penyerang dan tawanannya kembali ke pangkalan. Seluruh operasi tersebut diproyeksikan akan memakan waktu tidak lebih dari 30 menit.[84]
Strategi pertahanan SNA
Aliansi Nasional Somalia telah membagi selatan Mogadishu menjadi 18 daerah militer, masing-masing dengan perwira lapangan yang selalu waspada setiap saat dan jaringan radio yang menghubungkan mereka satu sama lain.[74] SNA sangat familiar dengan wilayah di sekitar Hotel Olympic, karena wilayah tersebut adalah wilayah mereka, dan telah membuat sistem mobilisasi yang efektif yang membuat komandan dapat dengan mudah dan cepat mengumpulkan pasukan dalam 30 menit ke wilayah manapun di Mogadishu.[74]
Kolonel Sharif Hassan Giumale telah mengamati enam operasi Task Force Ranger sebelumnya di Mogadishu dan mencoba menerapkan pengalaman dari perang saudara dan bacaannya mengenai pemberontakan gerilya, khususnya FLMN di El Salvador, yang telah mengembangkan taktik anti-aircraft dengan senjata infanteri.[75][85] Setelah pengamatan dekat, ia berhipotesis bahwa penggerebekan Amerika menekankan kecepatan, sehingga SNA harus bereaksi lebih cepat. Telah terlihat jelas keunggulan teknologi terbesar Amerika di Mogadishu, tetapi kelemahannya, helikopternya harus dinetralkan selama satu dari penggerebekan Ranger. Hal ini akan meniadakan elemen kecepatan dan kejutan Amerika, yang akibatnya akan menarik mereka dalam pertempuran yang berlarut-larut dengan pasukannya. Sebuah pasukan penyerang milisi lalu akan mengelilingi target dan mengimbangi angka kekuatan superioritas Amerika. Penyergapan dan barikade akan dilakukan agar menghalangi bantuan UNOSOM.[74][75]
Tahu bahwa pasukan khusus AS menganggap dirinya elite, Giumale percaya bahwa mereka meremehkan kemampuan taktik SNA, yang telah berpengalaman peperangan kota selama berbulan-bulan di jalanan Mogadishu.[75] Menurut reporter The Washington Post Rick Atkinson, banyak komandan AS di Mogadishu telah meremehkan jumlah granat berpeluncur roket yang dimiliki SNA, dan salah menilai ancaman yang mereka terhadap helikopter.[80]
Serangan
Pukul 13.50, analis Task Force Ranger menerima informasi intelijen lokasi Omar Salad dan perintah diberikan untuk memulai operasi. Kode sandi "Irene" disebut di seluruh saluran radio, memberi tahu tentara, konvoi kendaraan, dan helikopter di Bandar Udara Internasional Mogadishu untuk pindah.[86] Dipimpin oleh MH-6 Little Birds, 16 helikopter berangkat dari bandara menuju lokasi target sekitar empat menit penerbangan. Dalam sebuah percobaan untuk mengelabui pasukan Somalia, formasi helikopter terbang melewati target sebelum berbalik arah seluruhnya.[87] Kru Amerika menyadari bahwa segera setelah lepas landas, pasukan Somalia mulai membakar ban di seluruh kota, taktik yang telah digunakan oleh SNA sebelumnya sebagai sinyal serangan dan melancarkan serangan balik.[13]
Pukul 15.42, Litte Birds yang membawa operator Delta mencapai target. Debu yang mengelilingi area sangat buruk sampai-sampai satu helikopter terpaksa mendarat di luar posisi. Segera setelah pendaratan pertama, pilot mulai menyadari tembakan senjata kecil.[87] Lalu, dua Black Hawk membawa tim serbu Delta dipimpin oleh Kapten Delta Austin S. Miller, menempatkan diri dan menurunkan tim mereka selama empat chalk Ranger bersiap untuk terjun menggunakan tali (fast-roping) ke empat sudut bangunan yang mengelilingi bangunan target. Chalk Four, dibawa oleh Black Hawk Super 67 dipiloti oleh CW3 Jeff Niklaus, secara tidak sengaja ditempatkan satu blok lebih jauh ke utara daripada titik aslinya (2°03′05.5″N45°19′27.9″E / 2.051528°N 45.324417°E / 2.051528; 45.324417). Chalk Four menolak tawaran pilot untuk memindahkan mereka, karena akan memakan waktu lama dan membuat helikopter terlalu terekspos. Ketika sudah di darat, Chalk Four bermaksud untuk bergerak ke selatan menuju titik aslinya, tetapi baku tembak menghalangi mereka untuk melakukannya.[butuh rujukan]
Menurut pejabat Aliansi Nasional Somalia, 10 menit kepanikan dan kebingungan muncul setelah kedatangan Black Hawk,[14] tetapi setelah mendapatkan pemahaman dasar mengenai situasi tersebut, Kolonel SNA Sharif Hassan Giumale memberikan perintah lewat petugas radio di seluruh Mogadishu untuk mulai berkumpul di lokasi pertempuran dan mulai mengatur penyergapan di rute yang kemungkinan pertahanan dari pangkalan UNOSOM.[80] Sepuluh menit kemudian, jalanan di sekitar Hotel Olympic dipenuhi dengan milisi dan hampir tertutup.[14] Peleton SNA sampai di bagian lain selatan Mogadishu dan dipecah menjadi pasukan setengah lusin, sekitar senam atau tujuh orang. Setelah panggilan awal untuk bersiap, komandan SNA mematikan transmisi radio, tahu bahwa Amerika dapat mengganggu dan mencegat komunikasi mereka, memilih untuk bergantung pada kiriman pesan tulisan tangan dan kurir.[74][80]
Konvoi ekstraksi darat dimaksudkan untuk sampai ke target tawanan hanya dalam beberapa menit setelah operasi dimulai, tetapi dihalangi oleh warga Somalia dan milisi setempat yang mendirikan barikade di sepanjang jalanan Mogadishu menggunakan batu, reruntuhan, sampah, dan ban terbakar. Sekitar 10 menit kemudian, konvoi sampai di dekat Hotel Olympic (02°03′01.6″N45°19′28.6″E / 2.050444°N 45.324611°E / 2.050444; 45.324611), di ujung jalan dari bangunan target, lalu menunggu Delta dan Ranger menyelesaikan misi mereka.[88]
Selama peristiwa awal operasi, Private First Class Todd Blackburn kehilangan cengkeramannya saat fast-roping dari Super 67 saat sedang terbang, dan jatuh 21 m (70 kaki) ke jalan. Blackburn mendapatkan beberapa luka dan mengharuskan evakuasi oleh konvoi tiga Humvee. Ketika sedang membawa Blackburn kembali ke pangkalan, Sersan Dominick Pilla, ditugaskan di salah satu Humvee, ditembaki dari gedung-gedung sekitarnya, tewas seketika saat peluru mengenai kepalanya, menjadi orang Amerika pertama yang tewas dalam peperangan tersebut.[89] Konvoi Humvee sampai di pangkalan dengan keadaan penuh dengan lubang peluru dan mengeluarkan asap.[90]
Black Hawk pertama jatuh
Sekitar 40 menit setelah serangan dimulai, satu dari beberapa Black Hawk, Super 61, dipiloti oleh CW3 Cliff "Elvis" Wolcott, terkena tembakan RPG-7 yang membuat helikopter berputar-putar tidak terkendali. Helikopter tersebut jatuh di wilayah penduduk, dekat sebuah bangunan di gang sekitar 300 yard sebelah timur bangunan target (02°03′09.4″N45°19′34.8″E / 2.052611°N 45.326333°E / 2.052611; 45.326333).[80] Kedua pilot tewas dalam kecelakaan tersebut dan dua kru (Staff Sgt. Ray Dowdy dan Staff Sgt. Charlie Warren) terluka parah. Dua penembak runduk (sniper), Staff Sergeant Daniel Busch dan Sergeant Jim Smith, selamat dari kecelakaan tersebut dan mulai mempertahankan lokasi kecelakaan.[88]
Tentara SNA mulai memanggil penduduk setempat dengan berteriak di megafon, "Keluarlah dan pertahankan rumah kalian!"[90] Tentara milisi—dalam pasukan yang teratur—dengan cepat mulai menyebar masuk dan keluar dari gedung, gang, dan pepohonan di sekitar, agar helikopter-helikopter Litte Birds tidak dapat melindungi lokasi kecelakaan Super 61.[74] Helikopter MH-6 Little Bird terdekat, Star 41, dengan cepat terbang menuju ke lokasi kecelakaan Black Hawk. Sang pilot, CW3 Karl Maier, memegang kontrol helikopter dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya menembakkan senapan mesin. Sementara itu, kopilotnya, CW4 Keith Jones, berlari ke gang dan membantu dua sniper Delta, salah satu dari mereka terluka parah ke belakang helikopter mereka.[80]
Tim pencarian dan penyelamatan tempur (combat search and rescue, CSAR) dikirimkan lewat Black Hawk Super 68. Dipimpin oleh Kapten Delta Bill J. Coultrup, 15 orang tim CSAR (termasuk Sersan USAF Timothy A. Wilkinson, dan Staff Sergeant USAF Jeffrey W. Bray) terjun menggunakan tali ke lokasi kecelakaan Super 61.[80] Ketika dua orang terakhir sedang rappelling, sebuah RPG SNA mengenai Black Hawk, hampir merusak baling-baling utamanya.[80]Super 68, dipiloti oleh CW3 Dan Jollota dan Mayor Herb Rodriquez, kembali ke pangkalan.[80]
Tim CSAR menemukan kedua pilot tewas dan dua terluka di dalam helikopter yang jatuh. Di bawah serangan, tim tersebut memindahkan tentara yang terluka ke titik kumpul terdekat, di tempat mereka telah membuat tempat berlindung sementara menggunakan pelat baja kevlar yang diambil dari bangkai Super 61.[91] Komunikasi membingungkan antara konvoi darat dan tim serbu. Tim serbu dan konvoi darat menunggu 20 menit untuk mendapatkan perintah untuk pergi. Kedua unit tersebut sama-sama salah anggapan bahwa mereka akan dihubungi dahulu oleh salah satu dari mereka.[92]
Paul R. Howe (Delta Force) adalah pemimpin tim serbu yang datang untuk menyelamatkan Ranger AD dan anggota Delta Force.[93] Howe yang pertama sampai di lokasi jatuhnya Black Hawk. Ia lalu menjadi sumber buku Mark Bowden tahun 1999 berjudul Black Hawk Down: A History of Modern War.[94]
Black Hawk kedua jatuh
Sekitar pukul 16.40, sebuah Black Hawk dengan kode panggilan Super 64 dan dipiloti oleh Michael Durant berputar hampir di atas bangkai Super 61. Hal tersebut terpantau oleh Yusuf Dahir Mo'alim, komandan tim RPG SNA berorang tujuh yang perlahan bergerak menuju lokasi kecelakaan pertama. Salah satu anggota pasukan Mo'alim berlutut di jalan, membidik ke baling-baling ekor Super 64 lalu menembak. RPGnya mengenai baling-baling ekornya, tetapi helikopternya terlihat baik-baik saja. Beberapa saat kemudian, baling-balingnya hancur dan helikopter mulai condong ke depan dan berputar dengan kasar. Lalu, dengan cepat jatuh 100 kaki (30,4 m), hampir menabrak bangunan besar di daerah tersebut, lalu menghantam beberapa gubuk seng dalam posisi tegak (02°02′49.7″N45°19′35.1″E / 2.047139°N 45.326417°E / 2.047139; 45.326417).[12][80][95] Kecelakaan tersebut menghancurkan beberapa rumah dan menyebabkan puing-puing terbang sehingga menewaskan beberapa warga Somalia, tetapi menimbulkan sorakan dari banyak warga Somalia yang berkumpul di dekatnya.[12][74] Penduduk setempat yang marah melihat kecelakaan itu berkumpul di tengah kerumunan dan menuju ke Super 64.[74]
Dalam setengah jam setelah jatuhnya Super 64, komandan AS yang putus asa tidak berhasil membebaskan pasukan yang terkepung. Sebuah konvoi Ranger kecil untuk membebaskan pasukan tersebut dikirim dari lapangan terbang, lalu kehilangan dua Humvee dan tiga tentara setelah bergerak satu kilometer dari pangkalan. Komandan SNA telah mengantisipasi tanggapan Amerika dan telah melakukan beberapa penyergapan terkoordinasi.[77] Beberapa menit kemudian, Charlie Company dari 10th Mountain Division Quick Reaction Force juga mencoba untuk pergi, tetapi disergap di Jalan Via Lenin oleh milisi SNA. Dalam upaya pelarian, sekitar 100 tentara AS menembakkan hampir 60.000 butir amunisi dan menggunakan ratusan granat dalam 30 menit sebelum terpaksa mundur ke lapangan terbang.[14] Karena penyergapan terus-menerus dan perlawanan Somalia yang tak henti-hentinya, butuh sembilan jam lagi bagi QRF untuk mencapai ke pasukan yang terkepung.[80]
Di lokasi kecelakaan kedua, dua sniper Delta, Master Sergeant Gary Gordon dan Sergeant First Class Randy Shughart, diturunkan oleh Black Hawk Super 62. Permintaan pertama dan kedua mereka ditolak, tetapi permintaan ketiga diterima setelah pasukan QRF disergap. Setelah 10 menit Super 62 memberikan serangan bantuan terhadap sniper Delta tersebut, sebuah RPG menghantam kokpit, merobek mesin dan membuat kopilot tidak sadarkan diri. Walaupun dengan kerusakan seperti itu, Super 62 yang dipiloti oleh CWO Mike Goffena dan Kapten James Yacone, berhasil mengosongkan area lalu melakukan pendaratan darurat dalam jarak aman dari peperangan.[80]
Kurangnya serangan bantuan, para sniper tersebut diserbu dan Gordon terluka parah. Shughart mengambil CAR-15 milik Gordon dan memberikannya ke Durant. Shughart kembali ke dekat hidung helikopter dan menahan orang banyak selama sekitar lebih dari 10 menit sebelum terbunuh.[95] Lokasi kecelakaan kemudian diserbu dan semua kru terbunuh kecuali Durant. Ia hampir saja dipukuli sampai mati, lalu ditangkap oleh Yusuf Dahir Mo'alim.[74][95]
Kembali ke lokasi kecelakaan pertama, sekitar 90 Ranger dan operator Delta Force mendapati mereka sedang di bawah serangan Somalia.[88] Meskipun mendapat dukungan udara, tim serbu tersebut terjebak pada malam itu. Ranger dan Delta telah menyebar ke area dua blok dan terlibat dalam pertempuran jarak dekat melawan pejuang SNA yang terkadang hanya berjarak satu pintu.[74] Mencari tempat perlindungan dari kill zone dan tempat untuk menjaga mereka yang terluka, tentara Amerika telah menempati empat rumah di Jalan Freedom, menahan sekitar 20 warga Somalia yang tinggal di sana. Beberapa anak dikunci sendirian di kamar mandi hingga tentara memperbolehkan mereka bertemu ibunya, yang lalu mengatakan bahwa mereka telah diborgol tentara Amerika.[80]
Pukul 6.40 PM, Kolonel Sharif Hassan Giumale, bertanggung jawab untuk mengatur mayoritas pasukan Somalia di lokasi, menerima instruksi tertulis dari Aidid untuk mengusir penguatan apa pun dan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah tentara Amerika melarikan diri.[74] Sekitar 360 tentara milisi mengepung helikopter yang pertama, bersama dengan ratusan sukarelawan bersenjata Somalia lainnya dan tentara tidak tetap (irregulars) yang tidak berhubungan dengan SNA.[80]
Mengetahui bahwa tentara Amerika membuat pertahanan di posisi defensif dengan mengambil empat rumah di Jalan Freedom, Kolonel Giumale memerintahkan enam mortir 60 mm ditempatkan di antara Jalan 21 Oktober dan Jalan Angkatan Bersenjata untuk melenyapkan rumah tersebut. Sebelum serangan dilaksanakan, seorang perwira SNA datang ke Kolonel Giumale dengan anggota keluarga Somalia yang di tahan di rumah tersebut bahwa ada wanita dan anak-anak di dalam rumah tersebut. Setelah mendapat kabar bahwa ada warga sipil, Giumale mengirimkan pesan ke komandan SNA lainnya, Kolonel Hashi Ali, bahwa serangan mortirnya akan ditunda kecuali untuk mempermalukan pertahanan UNOSOM. Aidid lalu mengirimkan pesan bahwa ia setuju dengan keputusan Giumale untuk menunda serangan mortir, karena ia tidak ingin warga sipil berubah menjadi melawan SNA.[74] Perwira Amerika yang kemudian mengetahui keputusan Giumale mengakui bahwa keberadaan warga sipil mencegah adanya serangan, tetapi membantah anggapan bahwa serangan mortir tersebut cukup kuat untuk melenyapkan Task Force Ranger. Mereka berpendapat bahwa radar anti-mortir dan helikopter Little Bird akan sangat mungkin untuk menghancurkan posisi mortir SNA setelah meluncurkan satu atau dua mortir.[80] SNA menduga bahwa Amerika telah menggunakan warga sipil Somalia sebagai tameng manusia untuk melindungi diri mereka sendiri, sebuah tuduhan yang ditolak keras oleh pejabat Amerika dan mengatakan bahwa warga sipil tersebut bukan sandera.[14]
Selama pasukan AS menunggu penjemputan, mereka menahan posisi mereka di rumah-rumah tersebut, dan beberapa AH-6 Little Bird, bekerja berdampingan dan terbang sepanjang malam, terus menerus memberondong dan mendorong mundur pasukan milisi yang merayap, dan telah dipuji karena melindungi tentara Amerika yang terkepung hingga fajar.[13][74][76] Saat malam tiba, banyak sukarelawan dan tentara tidak tetap meninggalkan medan perang, meninggalkan pasukan SNA yang berpengalaman sendirian, tentara Amerika menyadari bahwa baku tembak menjadi semakin sedikit tetapi lebih jauh akurat.[12] Seorang tentara AS yang ikut bertempur di sana kemudian menambahkan, "Mereka menggunakan persembunyian dengan sangat baik. Biasanya yang Anda lihat dari seorang penembak hanyalah laras senjata dan kepalanya".[13]
Tibanya konvoi bantuan
Sekitar pukul 02.00, 70 kendaraan konvoi bantuan Malaysia dan Pakistan, didampingi pasukan AS, tiba di lokasi kecelakaan pertama. Tidak ada perencanaan darurat atau koordinasi dengan pasukan PBB yang telah diatur sebelum operasi. Akibatnya, penjemputan pasukan Amerika yang terkepung menjadi sangat rumit dan tertunda. Misi tersebut telah lama dijaga rahasia bahkan oleh komandan tinggi PBB, karena takut akan memberi tahu informan Somalia.[96] Ketika konvoi tersebut akhirnya masuk ke kota, konvoi tersebut terdiri lebih dari 100 kendaraan PBB termasuk Condor APC buatan Jerman milik pasukan Malaysia, empat tank Pakistan (M48), HMMWV Amerika, dan beberapa truk flatbed M939 seberat lima ton. Konvoi sepanjang dua mil ini didukung oleh beberapa Black Hawk tambahan dan helikopter serang Cobra yang disiagakan oleh 10th Mountain Division. Sementara itu, "Little Bird" Task Force Ranger meneruskan pertahanan mereka untuk melindungi kru dan penyelamat Super 61 yang jatuh. Pasukan bantuan ini mengalami korban berat, termasuk beberapa tewas, dan seorang tentara Malaysia tewas ketika sebuah RPG mengenai kendaraan Condornya.[70][71]
Mogadishu Mile dan kesimpulan
Meskipun Mohamed Farah Aidid beberapa jam sebelumnya telah memberikan perintah kepada Kolonel Sharif Hassan Giumale untuk mencegah kaburnya tentara Amerika, ia mulai semakin khawatir dengan menggunungnya angka kematian Somalia dan kemungkinan pembalasan tanpa akhir jika tentara AS yang tersisa terbunuh oleh milisinya.[14][74] Dengan Durant saat ini menjadi sanderanya, Aidid kemudian diklaim dalam sebuah wawancara dengan jurnalis bahwa telah memerintahkan sebuah koridor dibuka untuk tentara Amerika saat fajar menyingsing. Walaupun sudah diperintahkan Aidid, pasukan PBB masih menghadapi penembakan sengit sampai mereka mundur.[13][14] Sejarawan Stephen Biddle mencatat, "itulah PBB, bukan SNA, yang melepaskan diri untuk mengakhiri pertempuran. Konvoi bantuan lah yang akhirnya menurunkan TF Ranger dan harus bertarung sepanjang jalannya menuju dan keluar dari Pasar Bakara. Pejuang SNA melawan dengan sengit sampai pasukan PBB keluar dari wilayah kendali Aidid dan mundur ke pangkalan mereka."[13]
Ketika meninggalkan lokasi kecelakaan, sekelompok Ranger dan operator Delta dipimpin oleh SSG John R. Dycus menyadari bahwa tidak ada ruang tersisa di dalam kendaraan mereka, jadi mereka menggunakan kendaraan tersebut sebagai tameng. Terpaksa harus pergi dari kota berjalan kaki, mereka melanjutkan ke titik pertemuan di perempatan Jalan Hawlwadig dan Jalan Nasional. Hal ini umumnya dirujuk sebagai "Mogadishu Mile".[39] Dalam beberapa menit terakhir pertempuran yang membuat panik, dengan konvoi panjang yang sedikit-sedikit berhenti dan jalan, beberapa kendaraan akhirnya mengebut ke stadion, meninggalkan beberapa tentara dan memaksa mereka untuk berjalan kaki sendirian. Saat konvoi kembali ke pangkalan, AH-1 Cobra dan Little Bird memberikan serangan dukungan di atas, sementara tank Pakistan menembaki setiap bangunan di kota tempat mereka menerima tembakan musuh.[74]
Sepuluh menit kemudian, konvoi sampai di pangkalan Pakistan dan rumah sakit lapangan didirikan. Peperangan telah selesai pukul 06.30 pada hari Senin, 4 Oktober. Pasukan AS telah dievakuasi ke pangkalan PBB melalui konvoi kendaraan lapis baja. Pukul 7 AM, semua korban selamat telah aman di sebuah pos bantuan di stadion Jalan 21 Oktober.[74][80]
Pasca peperangan
Setelah peperangan, beberapa jenazah tentara Amerika dari korban konflik (anggota kru dan penjaga Super 64, tentara Delta Dorce MSG Gordon and SFC Shughart) diseret di sepanjang jalanan Mogadishu oleh kerumunan besar warga Somalia.[97] Setelah dimintai keterangan atas kejadian tersebut dalam sebuah wawancara dengan televisi Amerika, Kapten Haad dari Aliansi Nasional Somalia mengklaim bahwa jenazah tentara AS yang diseret di jalanan dilakukan oleh warga yang marah atau tentara tidak tetap (irregulars) yang telah kehilangan banyak teman dan keluarganya, dan tentara SNA yang sebenarnya tidak berpartisipasi dalam insiden tersebut.[98] Ia selanjutnya menunjuk pada penggerebekan Abdi House 12 Juli1993 yang membuat SNA mulai menargetkan tentara AS, dan mengatakan, "Tidakkah Anda akan sangat menyesal tentang 73 sesepuh kami, pemuka agama kami, orang-orang terkemuka kami, yang tubuhnya dimutilasi—kami mengumpulkan bagian-bagian tubuh mereka dari gedung tempat mereka diserang—jika Anda adalah anak dari salah satu orang yang terbunuh pada hari itu, bagaimana keadaan Anda, bagaimana perasaan Anda?"[98]
Pada 6 Oktober 1993, Presiden ASBill Clinton secara pribadi memerintahkan Jenderal Joseph P. Hoar untuk membatalkan semua operasi tempur melawan Aliansi Nasional Somalia, kecuali sebagai pertahanan diri. Jenderal Hoar lalu menyampaikan perintah tersebut ke Jenderal William F. Garrison dari Task Force Ranger dan Jenderal Thomas M. Montgomery dari Quick Reaction Force. Hari berikutnya pada 7 Oktober, Bill Clinton secara publik mengumumkan perubahan besar dalam tujuan misi.[99] Pasukan penting AS hanya akan dikirim ke Somalia sebagai pertahanan singkat, tetapi semua pasukan Amerika akan ditarik dari Somalia pada akhir Maret 1994.[100] Ia dengan tegas membela kebijakan Amerika di Somalia tetapi mengakui bahwa merupakan kesalahan bagi pasukan Amerika untuk ditarik ke dalam keputusan "untuk memersonalisasikan konflik" terhadap Aidid. Ia kemudian akan menugaskan kembali Mantan Duta Besar dan Utusan Khusus AS Robert B. Oakley untuk memberi isyarat kepada pemerintah untuk kembali fokus pada rekonsiliasi politik.[99] Clinton mengungkapkan keterkejutannya bahwa pertempuran ini telah terjadi[101] dan kemudian mengklaim bahwa ia telah memutuskan solusi diplomatik sebelum insiden tersebut. Terlepas dari keberatannya yang jelas, sebelumnya tidak ada perintah langsung yang diberikan kepada Task Force Ranger untuk menghentikan operasi melawan SNA. Perintah mundur yang diberikan kepada pasukan AS di Somalia membuat kontingen UNOSOM II lainnya untuk menghindari konfrontasi apa pun dengan SNA. Hal ini membuat mayoritas patroli UNOSOM di Mogadishu diberhentikan dan beberapa pos pemeriksaan di wilayah kontrol SNA ditinggalkan.[99]
Pada 9 Oktober 1993, Utusan Khusus AS Robert B. Oakley tiba di Mogadishu untuk membebaskan pasukan yang tertangkap dan mengonsolidasikan gencatan senjata dengan SNA.[99][102] Oakley dan Jenderal Anthony Zinni akan berdiskusi secara langsung dengan perwakilan dari SNA. Telah diperjelas bahwa pemburuan telah berakhir, tetapi tidak ada persyaratan yang diajukan oleh SNA yang akan diterima untuk membebaskan tahanan perang. Pada 14 Oktober, Aidid mengumumkan dalam penampilan singkat di CNN terkait pembebasan pilot Black Hawk, Michael Durant.[99] Tiga bulan kemudian, semua tahanan SNA yang ditahan oleh PBB dibebaskan, termasuk dua letnan Aidid, Omar Salad Elmi dan Mohamed Hassan Awale, yang sebelumnya merupakan target pada penggerebekan 3 Oktober.[80]
Hasil peperangan
Enam bulan setelah Peperangan Mogadishu, semua pasukan AS ditarik dari Somalia, meninggalkan 20.000 tentara UNOSOM yang juga akan ditarik pada tahun 1995.[103][100]
Dua pekan setelah pertempuran, Jenderal Garrison, dalam sebuah surat tertulis ke Presiden Clinton mengatakan, ia mengambil tanggung jawab penuh atas hasil peperangan tersebut. Ia lalu berpendapat bahwa Task Force Ranger telah mencapai tujuannya, yaitu menangkap target utama.[104] Jenderal Garrison telah mencatat sebelum Peperangan Mogadishu bahwa, jika terjadi peperangan serius dengan SNA, "...kita akan menang tembak-menembaknya, tetapi kita mungkin kalah perangnya."[105]
Pimpinan SNA telah mengungkapkan tujuan mereka untuk mengusir pasukan AS dari Somalia setelah penggerebekan Abdi House, dan tahu bahwa Amerika tidak akan bisa membiarkan korban dari pihak mereka, terutama dalam konflik yang tidak mereka pertaruhkan. Mereka percaya bahwa menimbulkan korban yang signifikan pada pasukan Amerika akan menyebabkan Kongres Amerika Serikat dan publik menolak partisipasi AS dalam UNOSOM II dan menarik diri dari Somalia.[73][74][105] Sasaran SNA bukanlah mencapai kemenangan taktik militer melawan Amerika dan UNOSOM, tetapi untuk melemahkan keinginan mereka untuk melanjutkan pertempuran dan memaksa pelepasan total Somalia.[74] Dalam Losing Mogadishu: Testing US Policy in Somalia, Jonathan Stevenson berpendapat Amerika tidak menyadari bahwa, seperti gerilyawanVietnam Utara, Aliansi Nasional Somalia menerapkan military philosophy of attrition untuk mencapai kemenangan meskipun angka kematian tinggi, karena mengetahui bahwa mereka dapat menoleransi lebih banyak kerugian daripada yang dapat ditoleransi oleh Amerika.[105]
Korban dan kerugian yang diketahui
Somalia
Korban dari pihak Somalia merupakan campuran dari tentara milisi, tentara tidak tetap/sukarelawan (irregulars), dan warga setempat, dan jumlah kematian pastinya tidak diketahui. Perkiraan sangat beragam, mulai dari beberapa ratus hingga beberapa ribu tentara milisi dan warga setempat tewas,[106][107] dengan luka-luka sekitar 1.000–4.000.[108] Jumlah korban Somalia dilaporkan pada The Washington Post sebanyak 312 tewas dan 814 luka-luka.[109] Buku Mark Bowden, Black Hawk Down, memperkirakan lebih dari 700 tentara milisi Somalia tewas dan lebih dari 1.000 luka-luka. SNA mengklaim jumlah korban lebih sedikit, mengatakan hanya ada 133 tentara tewas dalam peperangan tersebut.[110][111] Aidid sendiri mengklaim hanya ada 315—warga sipil dan milisi—yang tewas dan 812 luka-luka.[5]
Warga Somalia mengalami kerugian berat karena padatnya penduduk di bagian kota di tempat peperangan terjadi. Menurut Kapten Haad dari SNA, angka kematian warga sipil adalah "...hampir tak terhitung, karena tempat terjadinya peperangan adalah salah satu daerah tersibuk di Mogadishu...setiap peluru yang ditembakkan ke satu arah mungkin telah menewaskan empat atau lima atau enam, karena wilayahnya sangat padat."[98]Komite Internasional Palang Merah memperkirakan 200 warga Somalia tewas dan beberapa ratus terluka dalam peperangan.[112] Menurut koresponden perang berkebangsaan Amerika Scott Peterson, sekitar sepertiga dari korban Somalia adalah wanita dan anak-anak.[14]
Sukarelawan non-SNA, mayoritas merupakan warga sipil tidak terlatih yang melawan pasukan UNOSOM. Mereka adalah masalah penting bagi komandan Aliansi Nasional Somalia, karena mereka merumitkan situasi di lapangan dan sering kali terbunuh karena kurangnya pengalaman.[80] Tentara berpengalaman terlihat memohon warga yang marah agar tidak mendekat ke lokasi kecelakaan karena tentara Amerika menembaki massa yang mendekat.[12][13] Satu pejabat tinggi SNA mengeluh setelah peperangan dengan mengatakan, "...semuanya mencoba untuk menyerang, mereka datang lewat sini, mereka pergi lewat sana. Jika saja orang-orang hanya menyerahkan ini ke milisi dan perwira, semuanya tidak akan ada masalah."[14]
Duta Besar Robert B. Oakley, Utusan Khusus AS untuk Somalia, dikutip mengatakan: "Perkiraan pribadi saya adalah pasti ada 1.500 sampai 2.000 warga Somalia tewas dan terluka hari itu, karena peperangan itu benar-benar serius...Gunship helikopter digunakan, juga dengan berbagai jenis senjata otomatis di darat oleh AS dan PBB. Pasukan Somalia, kebanyakan, menggunakan senapan otomatis dan peluncur granat, dan itu adalah perang yang sangat buruk, separah hampir seperti perang apa pun yang akan kamu temukan."[113]
Kebanyakan angka kematian Somalia disebabkan oleh berbagai gunship helikopter yang menembaki gang-gang sempit di Mogadishu oleh MH-6 Little Birds untuk mendukung pasukan darat AS.[114]
Amerika Serikat
Pada saat itu, peperangan tersebut adalah pertempuran paling mematikan yang melibatkan pasukan AS sejak Perang Vietnam.[14] Dua hari kemudian, tentara ke-19, operator Delta SFC Matt Rierson, tewas karena serangan mortir. Pada hari yang sama, sebuah tim untuk misi khusus Super 64, dua orang terluka.[115]
Meskipun Pentagon pada awalnya melaporkan ada lima tentara Amerika tewas, pada akhirnya, 19 tentara AS tewas dalam peperangan, dan 73 lainnya terluka.[116][117]
Anggota "Lost Platoon". Terluka oleh serpihan dari RPG saat menyelamatkan seorang tentara Malaysia yang terluka parah di konvoi penyelamatan.[129] Juga tertembak di kaki dan dada.[130] Tewas di Landstuhl Army Regional Medical Center karena luka.[131]
Bronze Star dengan Valor Device, de Fleury Medal, Purple Heart[132]
PFC James Henry Martin, Jr.
Anggota 2nd Squad, 2nd Platoon, Company A.[133] Tewas pada konvoi penyelamat karena tertembak peluru di kepala.[130]
Satu tentara Pakistan tewas dan 10 hilang saat percobaan penyelamatan dan serangan. Tank-tank dari 7 Lancer Regiment dan 19th Lancers digunakan untuk penyelamatan. Jenderal Italia Bruno Loi mengatakan, tentara Italia telah menjemput 30 tentara Pakistan yang terluka. Dua rumah sakit utama di Mogadishu melaporkan ada 23 warga Somalia tewas dan lebih dari 100 luka-luka.[135]
Penarikan militer
Dalam sesi tinjauan kebijakan keamanan nasional yang diadakan di Gedung Putih pada 6 Oktober 1993, Presiden ASBill Clinton mengarahkan Plt. Ketua Gabungan Kepala-Kepala Staf, Laksamana David E. Jeremiah, untuk menghentikan semua tindakan pasukan AS melawan Aidid kecuali diperlukan untuk pertahanan diri. Ia menugaskan kembali Duta Besar Robert B. Oakley sebagai utusan khusus ke Somalia sebagai perantara penyelesaian damai lalu mengumumkan bahwa semua pasukan AS akan ditarik dari Somalia paling lambat tanggal 31 Maret 1994. Pada 15 Desember 1993, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Les Aspin mengundurkan diri, karena disalahkan atas keputusannya untuk menolak permintaan tank dan kendaraan lapis baja untuk mendukung misi tersebut.[136][137] Namun, Garrison kemudian menulis, bahwa Aspin tidak bersalah atas kejadian di Mogadishu. Juga dicatat bahwa peralatan yang diminta mungkin tidak dapat sampai tepat waktu.[138] Beberapa ratus Marinir AS tetap disiagakan di pesisir untuk membantu misi evakuasi yang mungkin terjadi terkait 1.000 lebih warga sipil dan penasihat militer AS yang tersisa sebagai bagian dari misi penghubung AS. Ready Battalion dari 24th Infantry Division, 1–64 Armor, terdiri dari 1.300 tentara Task Force Rogue, termasuk sejumlah besar pasukan 1-64 Armor and Infantry dari batalion 3-15 Infantry. Ini merupakan pertama kalinya tank M1 Abrams diantarkan melalui udara, menggunakan C-5 Galaxies, yang mengantarkan 18 tank M1 dan 44 kendaraan infanteri Bradley.[139]
Pada 4 Februari 1994, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Resolusi 897, yang menetapkan proses penyelesaian misi UNOSOM II pada Maret 1995, dengan penarikan pasukan PBB dari Somalia saat itu. Pada Agustus 1994, PBB meminta agar AS memimpin koalisi untuk membantu penarikan terakhir pasukan UNOSOM II dari Somalia. Pada 16 Desmeber 1994, Operasi United Shield disetujui oleh Presiden Clinton dan diluncurkan pada 14 Januari 1995. Pada 7 Februari 1995, armada multi-nasional Operasi United Shield tiba dan mulai menarik pasukan UNOSOM II. Pada 6 Mei 1995, semua pasukan PBB yang tersisa ditarik, mengakhiri UNOSOM II.[140]
^"Anatomy of a Disaster". Time. 18 Oktober 1993. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Januari 2008. Diakses tanggal 19 Januari 2008.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Bowden, Mark (16 November 1997). "Black Hawk Down: A defining battle". The Philadelphia Inquirer. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Juli 2007. Diakses tanggal 31 Mei 2023.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Dos Santos, Sgt. Maj Clayton; Perdue, James (14 Februari 2022). "Battle of Mogadishu: The Mission Command Perspective". Army University Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 Februari 2022. Diakses tanggal 5 Mei 2022.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Security Council, Resolution 837, United Nations Doc. Nr. S/RES/837 (1993)
^Brune, Lester H. (1999) The United States and Post-Cold War Interventions: Bush and Clinton in Somalia, Haiti and Bosnia, 1992–1998, Regina Books, ISBN0941690903, hlm. 28
^Bowden, Mark (1 Juni 2000). "African Atrocities and the Rest of the World". Policy Review No. 101. Hoover Institute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Desember 2008. Diakses tanggal 5 Oktober 2008.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Brune, Lester H. (1999) The United States and Post-Cold War Interventions: Bush and Clinton in Somalia, Haiti and Bosnia, 1992–1998, Regina Books, ISBN0941690903, hlm. 31
^ abcdefghWillbanks, James H. (2011). America's Heroes: Medal of Honor Recipients from the Civil War to Afghanistan. ABC-CLIO. hlm. 308. ISBN978-1-59884-393-4.
^Carney, John T.; Benjamin F. Schemmer. No Room for Error: The Story Behind the USAF Special Tactics Unit. Random. hlm. 250.
^Baumann, Robert (2003). "My Clan Against the World": U.S. and Coalition Forces in Somalia 1992–1994. DIANE Publishing. hlm. 173. ISBN978-1-4379-2308-7.
^"Blackhawk Down". The Philadelphia Inquirer. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 Mei 2018. Diakses tanggal 25 Agustus 2013.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abBowden, Mark (10 Desember 1997). "Confusion as rescue convoy rolls out". inquirer.philly.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Desember 2016. Diakses tanggal 30 Juli 2018.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Platoon under fire"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 21 Februari 2015. Diakses tanggal 24 Februari 2017.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Just Security, "We Shouldn't Forget the Lessons of Black Hawk Down: Part I", Luke Hartig, 29 Agustus 2017
^Leland, John W.; Wilcoxson, Kathryn A. (May 2003). Office of History Air Mobility Command, ed. The chronological history of the C-5 Galaxy(PDF) (dalam bahasa Inggris). hlm. 73.
Allard, Colonel Kenneth, Somalia Operations: Lessons Learned, National Defense University Press (1995).
Boykin, William (Maj. Gen.), Never Surrender, Faith Words, New York, NY, (2008).
Chun, Clayton K.S., Gothic Serpent: Black Hawk Down, Mogadishu 1993. Osprey Raid Series #31. Osprey Publishing (2012). ISBN9781849085847
Clarke, Walter, and Herbst, Jeffrey, editors, Learning from Somalia: The Lessons of Armed Humanitarian Intervention, Westview Press (1997).
Dauber, Cori Elizabeth. "The shot seen 'round the world': The impact of the images of Mogadishu on American military operations." Rhetoric & Public Affairs 4.4 (2001): 653-687 online.
Durant, Michael (CWO4), In the Company of Heroes, (2003 hb, 2006 pb).
Gardner, Judith and el Bushra, Judy, editors, Somalia – The Untold Story: The War Through the Eyes of Somali Women, Pluto Press (2004).
O'Connell, James Patrick (SGT.), Survivor Gun Battle Mogadishu, U.S. Army SOC Attached. (New York City) (1993).
Prestowitz, Clyde, Rogue Nation: American Unilateralism and the Failure of Good Intentions, Basic Books (2003).
Sangvic, Roger, Battle of Mogadishu: Anatomy of a Failure, School of Advanced Military Studies, U.S. Army Command and General Staff College (1998).
Stevenson, Jonathan, Losing Mogadishu: Testing U.S. Policy in Somalia, Naval Institute Press (1995).
Stewart, Richard W., The United States Army in Somalia, 1992–1994, United States Army Center of Military History (2003).
Somalia: Good Intentions, Deadly Results, VHS, produced by KR Video and The Philadelphia Inquirer (1998).