Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Pada masa perjuangan, ia pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta). Kemudian pada tahun 1961, koran Pedoman miliknya dibredel penguasa. Pada masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (1968-1974). Tahun 1973, Rosihan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Namun kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya, koran Pedoman miliknya ditutup.
Pada 1950, bersama Usmar Ismail ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, ia mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai akhir hayatnya. Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946, mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat.[3]
Rosihan Anwar meninggal dunia pada hari Kamis, 14 April 2011 pukul 08.15 WIB di Rumah Sakit Metropolitan Medika Center (MMC) Jakarta dalam usia 89 tahun. Ia diduga terkena gangguan jantung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.[4][5]
Keluarga
Rosihan Anwar menikahi Siti Zuraida pada tahun 1947. Zuraida masih terhitung sebagai kerabat Mohammad Husni Thamrin, pahlawan nasional dari Betawi. Pasangan ini dikaruniai tiga anak dan sejumlah cucu.[6]
Rosihan Anwar bersaudara, dikenal sebagai tokoh-tokoh masyarakat. Dua adiknya, Junisaf Anwar dan Yozar Anwar, juga mengikuti jejaknya sebagai wartawan. Junisaf pernah menjadi pemimpin redaksi Antara, sedangkan Yozar terkenal sebagai pimpinan eksponen 1966. Adiknya yang lain Roesman Anwar, meniti karier sebagai profesional dan pernah menduduki jabatan direktur utama Pelni.[7] Kakaknya, Johnny Anwar, adalah mantan kepala polisi Padang pada masa revolusi kemerdekaan yang kemudian menjabat Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) XVIII Sulawesi Selatan-Tenggara pada tahun 1968 dan terakhir sebagai Komandan Operasi Bhakti Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) di Jakarta (1970-1972) sebelum pensiun. Karena kepejuangannya, namanya kemudian diabadikan sebagai salah satu nama jalan di kota tersebut.[8]
School of Journalism, Columbia University New York, AS (1954)
Karier
Reporter Asia Raya, (1943-1945)
Redaktur harian Merdeka, (1945-1946)
Pendiri/Pemred majalah Siasat (1947-1957)
Pendiri/Pemred harian Pedoman, (1948-1961)
Pendiri Perfini (1950)
Pemred Citra Film (1981-1982)
Kolumnis Business News, (1963-2011)
Kolumnis Kompas, KAMI, AB (1966-1968)
Koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong (1967-1971)
Pemred harian Pedoman, (1968-1974)
Editor Indonesia majalah Asia Pacific (Guam, 1980)
Koresponden The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur (1976-1985)
Wartawan Freelance (1974-2011)
Kolumnis Asiaweek, Hong Kong (1976-2011)
Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973)
Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978)
Anggota Dewan Film Nasional (1978–1995)
Wakil Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (1995–1998)[9]