Hutan Hujan Halmahera
Hutan Halmahera memiliki kekayaan keanekaragaman hayati karena termasuk ke dalam wilayah Wallacea. Ekosistem hutan di pulau ini menjadi habitat penting bagi banyak spesies, salah satunya spesies endemik, Cendrawasih Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii). Spesies ini hanya bisa ditemukan di Pulau Halmahera dan Pulau Bacan, Maluku Utara. Selain itu Hutan Halmahera juga memiliki peranan penting dalam penyerapan emisi karbon, dan berkontribusi dalam melawan perubahan iklim.[1]
Komoditas hutan[1]
Pertambangan nikel yang menyebabkan 5.300 hektare wilayah hutan hilang serta hilangnya sekitar 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut. Pertambangan nikel dan kegiatan peleburan nikel mengancam hak-hak warga lokal atas air bersih, ketika kegiatan industri dan deforestasi mencemari sungai-sungai tempat warga menggantungkan hidup mereka. Warga juga khawatir atas meningkatnya bencana banjir yang diakibatkan oleh penggundulan hutan oleh perusahaan tambang nikel. Serta perkebunan sawit yang sudah menanam di lahan seluas 5.447 hektare. Suku asli[4]Komunitas Adat O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) subetnis Tobelo. Orang luar menyebut Suku Togutil, yaitu masyarakat adat yang hidup di belatara Halmahera bagian utara, tengah, hingga timur. Kata “Togutil” sebenarnya adalah sebutan yang dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, untuk Suku Tobelo yang hidup di belantara Halmahera. Platenkamp sendiri memang dikenal sebagai salah satu orang asing yang tertarik meneliti komunitas Togutil. Referensi
|