Frances Ames
Frances Rix Ames (/ˈfrɑːnsɪz eɪmz/; 20 April 1920 – 11 November 2002) adalah seorang neurologi dan psikiater asal Afrika Selatan yang dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia. Ia memimpin penyelidikan etika medis atas kematian aktivis anti-apartheid Steve Biko, yang meninggal akibat kelalaian medis setelah mengalami penyiksaan medis dalam tahanan polisi. Ketika Dewan Medis dan Kedokteran Gigi Afrika Selatan (SAMDC) menolak untuk mendisiplinkan kepala ahli bedah distrik dan asistennya yang menangani Biko, Ames bersama lima akademisi dan dokter lainnya menggalang dana serta menjalani perjuangan hukum selama delapan tahun melawan institusi medis. Ames menghadapi risiko terhadap keselamatan pribadi dan karier akademiknya dalam usahanya mencari keadilan. Ia membawa kasus ini ke Mahkamah Agung Afrika Selatan, yang akhirnya dimenangkannya pada tahun 1985.[1] Ames lahir di Pretoria dan tumbuh dalam kondisi kemiskinan di Cape Town. Ames menjadi perempuan pertama yang memperoleh gelar Doctor of Medicine dari Universitas Cape Town pada tahun 1964.[1] Ia meneliti efek ganja terhadap otak dan menerbitkan beberapa artikel ilmiah mengenai topik tersebut. Melihat manfaat terapi ganja pada pasien di rumah sakit tempatnya bekerja, Ames menjadi pendukung awal legalisasi ganja untuk penggunaan medis. Ia menjabat sebagai kepala departemen neurologi di Rumah Sakit Groote Schuur hingga pensiun pada tahun 1985, tetapi tetap mengajar di Rumah Sakit Valkenberg dan Alexandra. Setelah apartheid berakhir pada 1994, Ames memberikan kesaksian dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Afrika Selatan) mengenai penyelidikan etika medis terhadap "dokter Biko". Pada 1999, Nelson Mandela menganugerahkan Ames penghargaan Star of South Africa, penghargaan sipil tertinggi di negara itu, atas jasanya dalam memperjuangkan hak asasi manusia.[1] Kehidupan awalAmes lahir di Voortrekkerhoogte, Pretoria, Afrika Selatan, pada 20 April 1920, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam keluarga Frank dan Georgina Ames.[1] Ibunya dibesarkan di kamp konsentrasi Boer oleh nenek Ames, yang bekerja sebagai perawat selama Perang Boer Kedua. Georgina Ames juga bekerja sebagai perawat. Ayahnya meninggalkan keluarga mereka, sehingga Ames tidak pernah mengenalnya.[2] Karena ibunya tidak mampu merawat keluarga, Ames menghabiskan sebagian masa kecilnya di panti asuhan Katolik, di mana ia pernah menderita demam tifoid.[3][4] Ibunya kemudian kembali dan membawa keluarga ke Cape Town, tempat Ames bersekolah di Rustenburg School for Girls.[1] Ia melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran Universitas Cape Town dan meraih gelar MBChB pada 1942.[5] Karir MedisDi Cape Town, Ames menjalani magang di Rumah Sakit Groote Schuur dan bekerja sebagai dokter umum di wilayah Transkei. Ia memperoleh gelar Doktor Kedokteran (MD) pada tahun 1964 dari UCT, menjadikannya wanita pertama yang meraih gelar tersebut.[6] Pada tahun 1976, ia menjadi kepala departemen neurologi di Rumah Sakit Groote Schuur.[7] Ia menjadi profesor madya pada tahun 1978.[8] Ames pensiun pada 1985, tetapi tetap bekerja paruh waktu di Rumah Sakit Valkenberg dan Alexandra sebagai dosen di Departemen Psikiatri dan Kesehatan Mental UCT.[8] Pada tahun 1997, UCT menganugerahinya gelar profesor emeritus dalam bidang neurologi, dan pada 2001 ia menerima gelar doktor kehormatan dalam bidang kedokteran dari UCT.[5] Menurut Pat Sidley dari British Medical Journal, Ames tidak pernah diangkat sebagai profesor penuh, disebabkan karena ia seorang wanita.[3] Kasus BikoAktivis anti-apartheid Afrika Selatan Steve Biko, yang pernah belajar kedokteran di Sekolah Kedokteran Universitas Natal, ditahan selama 20 hari oleh polisi keamanan Port Elizabeth pada 18 Agustus 1977. Antara 6 dan 7 September, Biko dipukuli dan disiksa hingga koma.[6] Menurut tuduhan Ames dan lainnya, dokter bedah Ivor Lang serta dokter bedah distrik utama Benjamin Tucker bekerja sama dengan polisi dan menutupi penyiksaan tersebut, yang menyebabkan Biko meninggal dunia akibat luka-lukanya pada 12 September. Menurut Benatar & Benatar 2012, terdapat pelanggaran etika yang jelas oleh dokter-dokter yang bertanggung jawab atas Biko.[9][10][11][12]
Pat Sidley[3] Ketika Dewan Medis dan Gigi Afrika Selatan (SAMDC) bersama dengan Asosiasi Medis Afrika Selatan (MASA) menolak untuk mendisiplinkan dokter yang bertanggung jawab atas kematian Biko, dua kelompok dokter mengajukan keluhan resmi terhadap SAMDC karena kurangnya profesionalisme dalam penanganan kasus ini. Kedua kasus tersebut akhirnya sampai ke Mahkamah Agung Afrika Selatan untuk memaksa SAMDC mengadakan penyelidikan etika medis terhadap Lang dan Tucker. Salah satu kasus diajukan oleh Ames, bersama dengan Trefor Jenkins dan Phillip Tobias dari Universitas Witwatersrand, sementara kasus lainnya diajukan oleh Dumisani Mzamane, Yosuf Veriava dari Rumah Sakit Rahima Moosa Mother and Child, dan Tim Wilson dari Pusat Kesehatan Alexandra.[13][14] Saat Ames dan sekelompok kecil dokter mengejar penyelidikan terhadap sesama profesional medis, ia dianggap sebagai seorang whistleblower.[13] Posisinya di universitas terancam oleh atasannya, dan rekan-rekannya memintanya untuk menghentikan kasus ini.[15] Dengan melanjutkan kasus terhadap dokter Biko, Ames menerima ancaman pribadi dan mempertaruhkan keselamatannya.[16][8] Baldwin-Ragaven dll. mencatat bahwa asosiasi medis menutup barisan untuk mendukung rekan-rekan yang bekerja sama dengan polisi keamanan dalam penyiksaan dan kematian tahanan. Mereka juga berusaha membungkam serta mendiskreditkan dokter yang membela hak asasi manusia dan menuntut tindakan disipliner terhadap rekan-rekan mereka."[13] Setelah delapan tahun, Ames memenangkan kasus ini pada tahun 1985 ketika Mahkamah Agung Afrika Selatan memutuskan mendukungnya. Dengan bantuan Ames, kasus ini memaksa badan regulasi medis untuk membalikkan keputusannya. Dua dokter yang menangani Biko akhirnya dihukum, dan reformasi medis besar pun terjadi.[4][12] Menurut Benatar & Benatar 2012, kasus ini "berperan penting dalam meningkatkan kesadaran profesi medis terhadap isu etika medis di Afrika Selatan."[9] Penelitian tentang GanjaAmes meneliti efek ganja pada tahun 1958 dan menerbitkan hasil penelitiannya dalam The British Journal of Psychiatry dengan judul A clinical and metabolic study of acute intoxication with Cannabis sativa and its role in the model psychoses. Karyanya sering dikutip dalam literatur ilmiah tentang ganja. Ia menentang Perang Melawan Narkoba dan mendukung manfaat terapeutik ganja medis, terutama bagi penderita multiple sclerosis (MS).[17][1][18] Ames mengamati secara langsung bagaimana ganja dikenal sebagai dagga di Afrika Selatan, yang dapat meredakan kejang pada pasien MS dan membantu penderita paraplegia di bangsal cedera tulang belakang di rumah sakit tempat ia bekerja.[19] Ia melanjutkan penelitiannya tentang efek ganja pada tahun 1990-an dan menerbitkan beberapa artikel mengenai euforia akibat ganja serta dampaknya terhadap otak.[20] Kehidupan PribadiAmes menikah dengan editor penulis David Castle dari Cape Times dan memiliki empat anak laki-laki. Saat ia berusia 47 tahun , suaminya meninggal secara mendadak pada tahun 1967.[8] Setelah kematian suaminya, pengurus rumah tangganya, Rosalina, membantu membesarkan anak-anaknya. Ames menulis tentang pengalaman tersebut dalam memoarnya, Mothering in an Apartheid Society (2002).[6] KematianAmes berjuang melawan leukemia selama beberapa waktu.[11] Sebelum wafat, ia pernah menyatakan dalam sebuah wawancara, "Saya akan terus bekerja hingga saya tak mampu lagi."[21] Ia tetap bekerja sebagai dosen paruh waktu di Rumah Sakit Valkenberg hingga enam minggu sebelum wafat di rumahnya di Rondebosch pada 11 November 2002.[1][8] Greg McCarthy, yang mewakili departemen psikiatri UCT, memberikan pidato perpisahan dalam pemakamannya.[15] Ames dikremasi, dan sesuai dengan wasiatnya, abunya dicampurkan dengan biji rami dan ditebarkan di luar Rumah Sakit Valkenberg, tempat upacara peringatan dirinya diselenggarakan.[11][1] Warisanbedah saraf asal Afrika Selatan, Colin Froman, menggambarkan Ames sebagai pendukung besar dan tidak konvensional dalam advokasi penggunaan medis ganja jauh sebelum ketertarikan saat ini terhadap penggunaannya sebagai obat terapeutik.[19] J. P. van Niekerk dari South African Medical Journal mencatat bahwa Frances Ames memimpin dengan keyakinan dan keteladanan, hingga pada akhirnya sejarah membenarkan tindakannya dalam kasus Biko.[16] Keterlibatan Ames dalam kasus Biko berperan dalam mendorong reformasi besar dalam sistem medis Afrika Selatan, termasuk pembubaran dan restrukturisasi organisasi medis era apartheid yang tidak mampu menegakkan standar profesi kedokteran.[12] Ames memberikan kesaksian dalam sidang medis Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Afrika Selatan) pada tahun 1997. Uskup Desmond Tutu menghormatinya sebagai salah satu dari sedikit dokter yang berani menentang rezim apartheid dan menuntut pertanggungjawaban para dokter yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.[4] Sebagai pengakuan atas perjuangannya dalam membela hak asasi manusia di Afrika Selatan, Nelson Mandela menganugerahkan kepadanya Order of the Star of South Africa pada tahun 1999, yang merupakan penghargaan sipil tertinggi di negara tersebut.[3][11] Publikasi Terpilih
Referensi
Bacaan lanjutan
|