Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Datu Djoengkir bin Sampit

Datu Djoengkir bin Datu Sampit (lahir 7 Desember 1880) adalah seorang tokoh spiritual yang berasal dari wilayah Kalimantan Tengah, Indonesia. Ia dikenal sebagai salah satu figur penting dalam penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Kalimantan.

Kehidupan Awal

Datu Djoengkir lahir pada 7 Desember 1880 di daerah sekitar aliran Sungai Mentaya, Kalimantan Tengah. Ia merupakan putra dari pasangan Sampit dan Jaleha. Nama "Djoengkir" atau "Jungkir" diberikan karena ia lahir dalam posisi sungsang. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, kelahiran sungsang sering dihubungkan dengan takdir yang istimewa. Ayahnya, Sampit, dikenal sebagai pemimpin masyarakat yang bijaksana, sementara ibunya, Jaleha, seorang yang tekun beribadah.

Peran dalam Tarekat Naqsyabandiyah

Datu Djoengkir dihormati dalam lingkungan tarekat Naqsyabandiyah. Namanya disebutkan dalam kitab Amalan Thariqah Naqsyabandiyah yang disusun oleh Guru H. M. S. M. A., di bagian "Tawasul Para Wali", setelah nama Syekh Abdul Qadir Jailani dan Syekh Muhammad Samman al-Madani. Ungkapan "Al-Fatihah Khususan Syekh Jungkir" menjadi bentuk penghormatan kepadanya.

Meskipun makamnya tidak selalu ramai diziarahi, nama Datu Djoengkir sering disebut dalam dzikir Naqsyabandiyah di langgar-langgar tua Kalimantan. Murid-muridnya kemudian ada yang menjadi guru agama di daerah masing-masing, berwirausaha, atau meneruskan praktik spiritual secara pribadi.

Pengaruh Lintas Wilayah

Pengaruh Datu Djoengkir juga dilaporkan meluas hingga ke luar Kalimantan. Pada tahun 2020, seorang santri dari pesantren tertua di Jawa Tengah disebutkan bertawasul kepada Datu Djoengkir bin Datu Sampit dalam ajaran tarekat pesantren tersebut. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2023, ketika rombongan peziarah dari Jawa Timur datang ke makam Datu Djoengkir atas pesan dari kyai mereka. Setelah itu, mereka melanjutkan ziarah ke makam ayahnya, Datu Sampit, di Basirih Hulu, yang dianggap sebagai tokoh "babat alas" pertama di Kotawaringin Timur.

Fenomena komunikasi spiritual lintas wilayah ini, yang terjadi pada masa di mana sarana transportasi dan komunikasi modern belum tersedia, menjadi topik pembicaraan di kalangan pengikutnya.

Warisan

Datu Djoengkir tidak meninggalkan warisan materi, tetapi warisan spiritual berupa ajaran tarekat, cinta, dan pencerahan yang terus diamalkan oleh para salik (penempuh jalan spiritual) hingga saat ini.

Referensi

  • Guru H.M.S.M.A.
Kembali kehalaman sebelumnya