Dai (pendakwah)

Dai adalah sebutan bagi orang yang melakukan dakwah. Peringkat dai tertinggi diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, diikuti oleh para ulama dan cendekiawan.

Motif seorang dai meliputi motif alasan (kelangkaan dai, senioritas, tuntutan agama) dan motif tujuan (ekonomi, popularitas, kemampuan diri). Persyaratan untuk menjadi dai adalah memiliki kesehatan jiwa yang sehat, memahami perilaku manusia, dan mampu mengikuti perubahan sosial. Seorang dai juga harus ikhlas dalam menyampaikan dakwah.

Dai dapat berdakwah menggunakan metode konvensional dan komunitas. Dakwah konvensional memandang masyarakat sebagai objek yang butuh bimbingan, sedangkan dakwah komunitas memanfaatkan karakteristik spesifik komunitas untuk strategi dakwahnya.

Peran dai dalam dakwah adalah sebagai pemersatu umat muslim di dalam suatu masyarakat.  

Penamaan

Dai adalah sebutan umum untuk orang yang melakukan dakwah. Kata dai digunakan pula secara khusus untuk orang yang berdakwah dengan jenis kelamin laki-laki. Sedangkan bagi jenis kelamin perempuan, namanya adalah daiah.[1]

Jenis

Dai merupakan orang yang menyeru kepada Allah. Para dai dapat dikategorikan menjadi beberapa peringkat. Dai dengan peringkat pertama dan utama adalah Nabi Muhammad. Ini berdasarkan Surah Al-Ahzab ayat 46 yang menjelaskan tentang pemberian gelar penyeru kepada Allah bagi Nabi Muhammad. Istilah ini juga diberikan kepada para ulama dan cendekiawan yang mengamalkan secara tulus ilmunya untuk membimbing masyarakat. Peringkat dai bagi para ulama ditentukan oleh jangkauan bimbingan keilmuannya. Semakin luas jangkauannya maka semakin tinggi peringkatnya dan semakin sempit jangkauannya maka semakin rendah peringkatnya. Para ulama juga menyebutkan bahwa muazin juga termasuk kelompok dai.[2]

Para dai juga dapat dibedakan berdasarkan popularitasnya menjadi dai senior, dai masyarakat, dan dai pemula. Dai senior adalah dai yang telah menjadi tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam pandangan publik. Dai masyarakat adalah para dai yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sedangkan, dai pemula adalah dai yang belum dikenal oleh masyarakat.[3]

Motif

Motif dai dalam berdakwah dibedakan menjadi motif alasan dan motif tujuan. Motif alasan dari dai untuk berdakwah meliputi kelangkaan dai yang dapat menjadi komunikator, adanya senioritas, dan tuntutan agama. Sedangkan, motif tujuan dari dai untuk berdakwah meliputi ekonomi, popularitas, dan kemampuan diri.[4]

Persyaratan

Kesehatan jiwa

Setiap dai harus memiliki kondisi kesehatan jiwa yang sehat. Ini karena kegiatan mereka berkaitan dengan dakwah, termasuk kepada orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dimaksud adalah orang yang kehilangan tujuan hidup, pedoman hidup, dan teladan hidup. Kesehatan jiwa dari dai lebih utama dibandingkan dengan kesehatan jasmani dirinya.[5]

Pemahaman perilaku manusia

Dai harus memiliki kemampuan dalam memahami perilaku manusia di dalam masyarakat. Dai juga harus memahami tentang budaya, sejarah, dan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat yang didakwahi. Teknik dakwah yang tepat untuk digunakan akan diketahui setelah memahami hal-hal tersebut. Tanpa pemahaman ini, dakwah yang dilakukan para dai tidak akan mampu menjangkau khalayak yang dituju.[6]

Kemampuan dalam perubahan sosial

Dai wajib memiliki kemampuan memberikan interpretasi dakwah sebagai sebuah gerakan moral dan kebudayaan. Kemampuan ini berguna pada objek dakwah yang sedang mengalami masa perubahan sosial. Prosesnya harus mencontoh dari Nabi Muhammad.[7]

Ikhlas dalam berdakwah

Dai yang melakukan dakwah secara ikhlas tanpa meminta imbalan akan memperoleh pengikut yang ikhlas pula. Allah telah menegaskan hal ini dalam Surah Yasin ayat 21.[8]

Sasaran

Para ahli kitab

Alquran memberitahukan bahwa para ahli kitab juga harus memperoleh dakwah. Para ahli kitab ini adalah orang-orang Nasrani dan Yahudi. Caranya dengan meyakinkan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah rasul terakhir dan Al-Qur'an merupakan petunjuk universal bagi manusia. Ini dapat dipahami melalui penjelasan Surah Asy-Syura ayat 15.[9]

Metode

Dakwah konvensional

Dakwah konvensional dipraktikkan dengan asumsi bahwa masyarakat adalah objek yang harus memperoleh perubahan dan tuntunan. Ini karena sikap mereka masih lemah dan mudah melakukan tindakan bodoh. Dari asumsi ini, para dai bertugas mempertahankan perilaku masyarakat agar tetap berada dalam perilaku yang benar sesuai dengan petunjuk dari Allah. Masyarakat dianggap sebagai objek yang tidak mengetahui ilmu sehingga perlu diberitahu. Pada dakwah konvensional, dai memiliki peran yang aktif dibandingkan dengan masyarakatnya. Sifat dari masyarakat pada dakwah konvensional adalah defensif dan hanya menunggu.[10]  

Dakwah komunitas

Dakwah komunitas diterapkan oleh dai ketika suatu komunitas yang menjadi sasaran dakwah bersifat variatif. Komunitas ini memiliki karakteristik khusus tertentu. Dai dalam hal ini menggunakan karakteristik tersebut sebagai strategi dakwahnya.[11]

Peran

Pemersatu umat muslim

Umat muslim memerlukan kehadiran dai sebagai pemersatu umat muslim. Keberadaan dai mampu mengendalikan kondisi kognisi, emosi, dan perilaku masyarakat. Pengendalian ini membuat perilaku menyimpang terhindarkan untuk terjadi.[12] Dai dapat memperoleh keberhasilan dalam berdakwah ketika pesan dakwah yang disampaikan sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan ini bersifat keniscayaan sehingga hanya dapat diterima dengan antusias.[13]

Sertifikasi

Di beberapa negara, seperti di Malaysia, para dai wajib mengikuti sertifikasi sebelum diizinkan terjun ke masyarakat untuk naik mimbar. Mereka digaji bulanan oleh pemerintah setelah lulus sertifikasi tersebut. Sertifikasi dai juga diadakan di Indonesia oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementrian Agama, dan Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia untuk menstandarisasi kemampuan dan pengetahuan dai dalam bidang agama dan wawasan moderat.[14]

Sertifikasi dai bersertifikat adalah pilihan, bukan keharusan. Namun, sertifikasi ini penting untuk menangkal penyebaran radikalisme di Indonesia. Dai yang mengikuti program dai bersertifikat otomatis punya sertifikat dai yang menunjukkan bahwa mereka berkompeten, profesional, berintegritas, dan paham kebangsaan serta keagamaannya. Sertifikasi dai juga diibaratkan sebagai "Surat Izin Mengemudi" (SIM) bagi para dai, yang menunjukkan bahwa mereka telah memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan.[15]

Pentingnya seorang dai mengikuti pelatihan sertifikasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, sertifikasi dai penting untuk meningkatkan mutu dan uji kompetensi dalam berdakwah, sehingga para dai dapat menyampaikan ajaran Islam yang santun, moderat, dan menyejukkan.[16][17]

Selain itu, sertifikasi dai juga dianggap sebagai salah satu syarat untuk memperoleh izin melakukan aktivitas dakwah di instansi pemerintahan dan lembaga siaran.[18] Dengan demikian, mengikuti pelatihan sertifikasi dai dapat membantu para dai dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk menyampaikan ajaran agama secara profesional dan sesuai dengan tuntutan zaman.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Syarifudin, A., dan Hamandia, M. R. (2021). Strategi Prodi dan Alumni KPI dalam Meningkatkan Peran Da’i/ah di Sumatera Selatan (PDF). Palembang: Rafah Press. hlm. 60. ISBN 978-623-250-300-7. 
  2. ^ Hasanah, Umdatul (2016). Masduki, ed. Ilmu dan Filsafat Dakwah (PDF). Serang: Penerbit fseipress. hlm. 25. ISBN 978-602-7787-14-8. 
  3. ^ Hasanah, U., dan Asia T., N. (2021). Hasanah, Umdatul, ed. Politik Dakwah Dan Pergulatan Otoritas: Kontroversi Standardisasi dan Sertifikasi Pendakwah di Indonesia (PDF). Serang: Penerbit & Percetakan Media Madani. hlm. 73. ISBN 978-623-5553-86-3. 
  4. ^ Sulaeman, dan Toisuta, H. (2019). Impression Management Da’i Berdakwah (PDF). Ambon: LP2M IAIN Ambon. hlm. 6. ISBN 978-602-61524-5-9. 
  5. ^ Yusro, Ngadri (2017). "Urgensitas Kepribadian Da`i Dalam Berdakwah" (PDF). Jurnal Dakwah dan Komunikasi1. 1 (1): 75. 
  6. ^ Rahman, Mohammad Taufiq (2021). Febriyani, Rina, ed. Sosiologi Islam (PDF). Bandung: Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 7. ISBN 978-623-953-438-7. 
  7. ^ Alhidayatillah, Nur (2017). Dakwah dan Perubahan Sosial (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 20. ISBN 978-602-425-394-3. 
  8. ^ Jaya, P. H. I., dkk. (2021). Alviana C., ed. Diorama: Kumpulan Naskah Ceramah dan Khutbah (PDF). Bantul: Penerbit Samudra Biru. hlm. 140. ISBN 978-623-261-367-6. 
  9. ^ Abdullah, Muhammad Qadaruddin (2019). Qiara Media, ed. Pengantar Ilmu Dakwah (PDF). CV. Penerbit Qiara Media. hlm. 18. 
  10. ^ Safei, Agus Ahmad (2020). Seniman Dakwah: Potret Da’i Berwawasan Sosio-Antropologi (PDF). Sleman: Deepublish. hlm. 29. ISBN 978-623-02-1683-1. 
  11. ^ Trisundani, A., dkk. (2018). Tohirin, ed. Panduan dan Strategi Dakwah Khusus (PDF). Jakarta Selatan: Uhamka Press. hlm. 3. ISBN 978-602-1078-76-1. 
  12. ^ Tajiri, Hajir (2020). Belajar Kepada Sosok Da'i Kharismatik: Bagaimana menjadi Pendakwah yang Baik dalam Kepribadian, Keahlian Berkomunikasi dan Konteks Situasi (PDF). Bandung: Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 7. ISBN 978-623-93860-8-5. 
  13. ^ Mahmuddin (2018). Tim WADE Publish, ed. Manajemen Dakwah (PDF). Ponorogo: Wade Group. hlm. 103. ISBN 978-623-7007-28-9. 
  14. ^ Gunawan, Deden. "Ketua MUI Sebut di Malaysia Cuma Dai Bersertifikat Boleh Ceramah". detiknews. Diakses tanggal 2023-12-22. 
  15. ^ BPKH, Humas (2020-9-9). "Beda Sertifikasi Dai dan Dai Bersertifikat". HUMAS BPKH. Diakses tanggal 2023-12-23. 
  16. ^ "Sertifikasi Dai Dinilai Perlu Dai harus mampu menyampaikan ajaran Islam yang santun, moderat, dan menyejukkan". Republika Online. 2015-03-24. Diakses tanggal 2023-12-22. 
  17. ^ Rosa, Mila (2020-9-15). "Pentingnya Sertifikasi Dai dalam Berdakwah". rdk fidkom uinjkt. Diakses tanggal 2023-12-23. 
  18. ^ "Sertifikasi Dai Menjadi Alat Kapitalisasi Dai dan Daiyah". Suara Mubalighah. 2022-09-01. Diakses tanggal 2023-12-22.