Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Comite voor het Javaansche Nationalisme

Comite voor het Javaansche Nationalisme (CJN) atau Komite Nasional Jawa merupakan gerakan yang berorientasi pada gerakan kebudayaan dan bertujuan untuk mendirikan sebuah negara dengan ideologi Jawa[1] CJN sendiri merupakan salah satu gerakan yang mengkritik keberadaan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad. Gerakan ini didukung oleh para priyayi dan beberapa teosof Belanda. Mereka ingin mewujudkan cita-cita kultural yakni terbentuknya Jawa Raya (Groot Java). Comite Javaansche Nationalisme (CJN) melakukan perlawanan dengan mengirimkan surat resmi ke surat kabar Neratja pada 23 Februari 1918 nomor 37, yang isinya menyayangkan TKNM yang melakukan reaksi berlebihan sehingga dapat membahayakan nasionalisme Jawa. CJN menuduh bahwa TKNM bisa membahayakan nasionalisme Jawa karena mereka bermaksud menghalang-halangi orang Jawa dalam mengamalkan kepercayaannya. TKNM dianggap sebagai organisasi yang ditunggangi oleh kepentingan asing yakni kepentingan bangsa Arab. CJN juga menyerukan kepada masyarakat bumiputera agar tidak ikut serta dalam gerakan TKNM karena dinilai dapat menimbulkan pertentangan antar agama.[2]

Pertentangan antara TKNM dengan CJN merupakan perpanjangan dari konflik ideologi Nasionalisme Islam dengan Nasionalisme Sekuler. Kalangan nasionalis Islam menghendaki agar Islam-lah yang meletakkan dasar ideologi perjuangan menghadapi kolonial, sedangkan kelompok nasionalis sekuler menghendaki dasar Nasionalisme yang lepas dari Islam. Mereka yang menyebut kelompoknya sebagai golongan “Kebangsaan” nasionalis sekuler, menuntut agar nasionalisme yang lepas dari paham agama manapun, yang harus dijadikan dasar ideologi perjuangan. Mereka sebagaimana kalangan pragmatis pada umumnya menganggap agama pada dasarnya merupakan “urusan pribadi dan individual”[2]

Gerakan Teosofi dan Pengaruhnya Terhadap Kaum Priyayi Nasionalis Jawa 1912-1926

Organisasi Teosofi di Indonesia (pada masa Hindia Belanda) pertama kali didirikan pada tahun 1901, tepatnya ketika dibuka sebuah loge di Semarang yang diresmikan oleh presiden Masyarakat Teosofi internasional, Henry Steel Olcott, pada tanggal 7 September 1901. Sebelum pendirian loge tersebut, meskipun belum ada pengakuan resmi, tampaknya sudah terdapat berbagai aktivitas yang terkait dengan Teosofi di Jawa, salah satunya dengan dibukanya sebuah loge (atau loji) di Pekalongan pada tahun 1881. Loge ini dipimpin oleh Baron Van Tengnagel, yang membawa pengaruh pemikiran Teosofi ke wilayah tersebut meskipun masih terbatas dan dalam skala kecil. Perkembangan Teosofi di Hindia Belanda semakin menunjukkan dinamika yang signifikan ketika pada bulan April 1912, gerakan Teosofi di Hindia Belanda mencatatkan tonggak sejarah yang sangat penting, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Teosofi yang diadakan di Loge Betawi Gambir Wetan, Batavia. Kongres ini merupakan acara besar yang melibatkan banyak tokoh penting dari gerakan Teosofi, dan dalam pertemuan tersebut, para peserta menyepakati untuk mendirikan cabang (afdeling) Hindia Belanda yang akan berdiri sendiri dan terpisah dari cabang yang ada di Nederland (Negeri Belanda). Keputusan penting ini kemudian disahkan oleh presiden Masyarakat Teosofi internasional pada waktu itu, yaitu Annie Besant, yang memberikan dukungan penuh terhadap langkah tersebut. Secara resmi, dengan persetujuan tersebut, berdirilah Nederlandsche-Indische Theosofische Vereeniging (NITV), yang dipimpin oleh ketua pertama, Dirk van Hinloopen Labberton, yang menjadi pemimpin dan penggerak utama organisasi Teosofi di Hindia Belanda untuk periode-periode selanjutnya.[3]

Perkembangan Teosofi di Hindia Belanda dapat dikatakan dipengaruhi oleh dua faktor utama yang saling terkait: pertama, aktivitas esoterisme Barat yang berkembang pesat dalam kalangan masyarakat kolonial, dan kedua, kajian-kajian oriental yang dilakukan oleh para ahli etnografi serta para sarjana agama yang datang ke wilayah kolonial untuk mempelajari kebudayaan dan tradisi lokal. Kedua faktor ini saling beriringan dan memberikan landasan yang kuat bagi penyebaran paham-paham esoteris di kawasan Hindia Belanda. Salah satu bentuk aktivitas esoteris yang paling menonjol pada masa itu adalah organisasi Freemasonry beserta berbagai loji Masonik yang tersebar di kota-kota besar Indonesia, yang menjadi tempat pertemuan bagi mereka yang tertarik dengan ajaran-ajaran mistik dan filsafat esoterik. Pada akhir abad ke-19, perkumpulan-perkumpulan esoteris ini tidak hanya berfungsi sebagai wadah untuk memperkenalkan ajaran-ajaran mistik, tetapi juga menjadi sarana untuk aktivitas filantropis yang lebih luas, terutama dalam mendukung pendidikan dan peningkatan kesejahteraan bagi kaum peranakan Eropa (Indo). Kaum peranakan ini, yang secara sosial dan ekonomi berada di posisi yang semakin terdesak oleh meningkatnya jumlah pendatang Eropa totok dari Negeri Belanda, merasa terdorong untuk memperjuangkan hak-hak mereka di tengah perubahan kebijakan kolonial yang lebih liberal yang diberlakukan sejak tahun 1870. Gagasan tentang persaudaraan universal manusia yang menjadi tema utama dalam ajaran esoterisme Barat, turut memberikan pengaruh dalam pembentukan cara pandang tentang hubungan kolonial antara para pemukim Eropa dan penduduk asli. Gagasan ini membuka jalan bagi diperkenalkannya politik Etika oleh pemerintah kolonial, yang bertujuan untuk mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan asosiasi yang lebih harmonis antara kaum penjajah dan yang terjajah. Implikasi lebih jauh dari gagasan tersebut adalah penerapan kebijakan yang mendorong proses modernisasi negara kolonial secara keseluruhan, yang mencakup perubahan dalam bidang pendidikan, sistem sosial, dan ekonomi, serta penguatan struktur kolonial itu sendiri demi memastikan keberlangsungan dominasi Eropa di wilayah tersebut.[3]

Politik Etis, yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19, tidak hanya melibatkan kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, tetapi juga mencakup peran signifikan dari kelompok-kelompok orang Belanda lainnya yang dikenal sebagai kaum orientalis. Kaum orientalis ini terdiri dari individu-individu yang dianggap memiliki wawasan luas mengenai dunia Timur, serta kapasitas dan keahlian untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kultural yang dianggap paling tepat untuk emansipasi kaum pribumi Indonesia, dengan tujuan untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan mengurangi potensi ketegangan sosial. Mereka berpendapat bahwa untuk mencapai modernisasi yang berkelanjutan di Indonesia, pendekatan yang sangat hati-hati terhadap budaya dan agama setempat perlu diterapkan. Salah satu tokoh orientalis yang paling penting dan berpengaruh dalam konteks ini adalah Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang pakar studi Islam yang sangat terkemuka pada akhir abad ke-19. Sebagai seorang orientalis yang telah melakukan penelitian mendalam terhadap komunitas-komunitas Islam di Indonesia, Snouck Hurgronje berpendapat bahwa sangat penting bagi orang Eropa untuk membedakan dengan jelas antara Islam sebagai agama yang bersifat religius dan Islam sebagai kekuatan politik yang berpotensi mengancam stabilitas pemerintahan kolonial. Berdasarkan pengamatannya, ia menyimpulkan bahwa Islam di Indonesia, sebagai doktrin religius, terbagi dalam sejumlah varian yang merupakan hasil dari asimilasi dengan kebudayaan lokal, dan karenanya, tidak bisa dipandang sebagai kekuatan yang homogen. Namun, sebagai ideologi, Islam, atau dalam bentuk lebih luasnya, Pan-Islamisme, memiliki potensi besar untuk memobilisasi masyarakat pribumi melawan pemerintahan non-Muslim. Ini menjadi alasan mengapa pemerintah kolonial merasa perlu terlibat secara aktif dalam mendukung penguatan identitas lokal, yang menurut Snouck Hurgronje, dapat mengurangi kemungkinan penyebaran gagasan Pan-Islam yang dapat mengguncang fondasi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Dalam pemikiran kaum orientalis, orang-orang Jawa, khususnya kaum priyayi, yang merupakan golongan terpelajar dan terkemuka dalam masyarakat Jawa, memiliki kedudukan penting dan menjadi sasaran utama dalam upaya kolonial untuk membentuk mereka menjadi warga Hindia yang termodernisasi atau terbaratkan. Kaum priyayi dianggap sebagai kelompok yang paling mungkin untuk diarahkan dan dibina menjadi individu yang bisa memegang peran dalam struktur kolonial yang lebih luas, sehingga mereka akan menjadi sekutu yang dapat membantu dalam mewujudkan tujuan-tujuan modernisasi yang diinginkan oleh pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial, melalui kebijakan ini, berusaha untuk menciptakan kelas terpelajar yang dapat berfungsi sebagai perantara antara pemerintah dan rakyat pribumi, serta menjamin kelangsungan kekuasaan kolonial melalui proses westernisasi yang terencana.[3]

Gagasan asosiasi yang mengedepankan kerjasama dan penguatan hubungan antara berbagai kelompok dalam masyarakat, terutama di Hindia Belanda, didukung secara penuh oleh gerakan Teosofi yang dipelopori oleh tokoh pentingnya, Dirk van Hinloopen Labberton (1876-1961). Labberton, seorang Teosof Belanda yang memiliki latar belakang kuat sebagai seorang orientalis, merupakan figur yang sangat berperan dalam mengembangkan gerakan ini di Indonesia. Ia tidak hanya memiliki pengetahuan yang mendalam tentang tradisi esoterik, tetapi juga memiliki kedekatan yang erat dengan dunia Jawa, yang menjadi titik fokus perhatiannya dalam berbagai penelitian dan aktivitasnya. Labberton pertama kali tiba di Hindia Belanda pada tahun 1894, dan mengawali karirnya dengan bekerja di sebuah pabrik gula yang terletak di Pasuruan, Jawa Timur. Selama di Jawa, ia mulai mempelajari dengan tekun bahasa Jawa serta kebudayaan lokal yang sangat kaya, yang memberikan pemahaman lebih dalam mengenai kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Jawa pada masa itu. Sekitar tahun 1910, Labberton memutuskan untuk memperdalam pengetahuannya tentang Teosofi dengan mengunjungi pusat gerakan Teosofi di Adyar, India, di mana ia tinggal selama delapan bulan untuk mempelajari bahasa Sanskrit dan ajaran-ajaran esoteris yang menjadi dasar dari filsafat Teosofi. Selama masa tersebut, Labberton berada di bawah bimbingan langsung dari salah satu tokoh utama Teosofi, C.W. Leadbeater, yang juga memiliki peran besar dalam mengembangkan ajaran esoterik ini. Keempat tahun setelah masa pembelajarannya di Adyar, Leadbeater bahkan tinggal bersamanya di Hindia Belanda, memperdalam hubungan antara mereka dalam gerakan Teosofi di Indonesia. Seperti halnya tokoh besar lainnya dalam gerakan ini, Annie Besant, Labberton tidak bisa memisahkan aktivitas spiritual dan ajaran Teosofinya dari pandangan-pandangan politik yang ia anut. Ia memandang bahwa gerakan Teosofi harus memiliki hubungan erat dengan perubahan sosial dan politik yang terjadi di Hindia Belanda, sehingga tidak hanya sekadar bergerak dalam ranah spiritual, tetapi juga berperan dalam mendorong transformasi sosial yang lebih luas di tengah masyarakat kolonial.[3]

Karir Dirk van Hinloopen Labberton yang begitu erat kaitannya dengan dunia pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peranannya yang kemudian menjadi penting dalam mendukung cita-cita asosiasi kaum orientalis dan Etisi Belanda di Hindia Belanda. Antara tahun 1904 hingga 1913, Labberton diangkat menjadi guru bahasa Jawa di Gymnasium Koning Willem III, sebuah posisi yang memberinya peluang luar biasa untuk terlibat langsung dengan dunia pendidikan, serta untuk berinteraksi dengan generasi muda terpelajar, yang pada waktu itu menjadi kelompok yang semakin penting dalam perkembangan sosial dan politik di Hindia. Dalam kapasitasnya sebagai pengajar, Labberton tidak hanya mengajarkan bahasa Jawa, tetapi juga memperkenalkan pemikiran-pemikiran baru yang berbasis pada tradisi esoteris Barat dan Teosofi, yang secara tidak langsung mempengaruhi cara pandang siswa-siswa yang dia ajar. Salah satu dampak besar dari posisi tersebut adalah kemampuannya untuk menjalin hubungan akrab dengan para siswa dari sekolah kedokteran STOVIA, yang pada saat itu menjadi pusat pendidikan penting bagi kaum pribumi terpelajar di Hindia Belanda. Dengan demikian, hubungan antara Labberton dan siswa-siswa STOVIA memberikan jembatan penting dalam memperkenalkan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meresap dalam kalangan elite terpelajar baru di Jawa.[3]

Selain itu, pengaruh Labberton dalam dunia intelektual Hindia Belanda semakin besar seiring berjalannya waktu. Ia menjadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh di kalangan elite terpelajar baru, khususnya di kalangan priyayi Jawa yang terlibat dalam organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo (BO). Hubungan yang dibangun antara Labberton dengan sejumlah anggota BO yang menaruh minat pada ajaran-ajaran Teosofi sangat signifikan. Lewat perantaraan anggota-anggota BO inilah, pengurus perhimpunan Teosofi Hindia kemudian mensponsori suatu pertemuan besar yang diselenggarakan pada tanggal 19 Januari 1909. Pertemuan ini diadakan di Jakarta dan dihadiri oleh sekitar 300 orang, sebuah jumlah yang menunjukkan minat besar masyarakat terhadap gerakan Teosofi dan pemikiran Labberton. Labberton sendiri membuka acara tersebut dan menyampaikan pidato penting yang disampaikan dalam bahasa Melayu, yang pada waktu itu menjadi bahasa pengantar yang umum di kalangan masyarakat terpelajar. Dalam pidatonya, yang kemudian menjadi salah satu referensi penting dalam sejarah pemikiran pergerakan di Hindia Belanda, Labberton menyinggung mengenai visi perhimpunan Teosofi terkait dengan apa yang ia sebut sebagai ‘kebangkitan nasional’ Jawa. Hal ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nagazumi dalam penelitiannya pada tahun 1988, menjadi bagian integral dari pandangan Labberton yang lebih besar mengenai transformasi sosial dan politik yang sedang berlangsung di Hindia Belanda, serta peran penting yang harus dimainkan oleh masyarakat Jawa dalam proses tersebut.[3]

Pandangan dan pemikiran Labberton tidak hanya terbatas pada bidang agama dan esoterisme, tetapi juga mencakup aspek-aspek politik yang sangat relevan bagi perkembangan pergerakan di Hindia Belanda pada masa itu. Pemikirannya tentang asosiasi yang didasarkan pada gagasan persaudaraan universal manusia dalam tradisi esoteris Barat memberikan inspirasi bagi banyak kelompok priyayi Jawa, khususnya generasi awal pergerakan. Gagasan ini mendorong mereka untuk berpikir tentang pentingnya persatuan di antara berbagai kelompok dalam masyarakat, tanpa memandang latar belakang etnis atau agama, serta pentingnya mengembangkan kebersamaan demi mencapai tujuan bersama. Selain itu, Labberton juga sangat berpengaruh dalam mengembangkan gagasan tentang kewarganegaraan Hindia, yang diwujudkan dalam kampanye “Hindia berketahanan” (Indie Weerbaar) yang digalakkan selama masa Perang Dunia pertama. Kampanye ini tidak hanya menyoroti pentingnya mempertahankan negara dari ancaman luar, tetapi juga menekankan pentingnya memperkuat identitas Hindia sebagai entitas yang mandiri dan berdaulat, yang mampu mempertahankan eksistensinya di tengah arus perubahan global yang terjadi pada waktu itu. Gagasan-gagasan ini, yang menggabungkan pemikiran esoteris dengan kesadaran politik, memberikan dasar yang kuat bagi perkembangan pemikiran pergerakan di Hindia Belanda, dan menjadikan Labberton sebagai salah satu tokoh intelektual yang sangat berpengaruh dalam membentuk arah pergerakan sosial dan politik di Indonesia pada awal abad ke-20.[3]

Nasionalisme Kejawen sebagai Anti-Islamisme

Salah satu karakteristik paling kuat yang muncul dalam nasionalisme Jawa adalah adanya sikap anti-Islamisme yang terkadang terlihat dengan jelas dalam berbagai bentuk ekspresi politik maupun budaya. Hal ini mencerminkan ketegangan yang ada antara upaya untuk membangun identitas Jawa yang terpisah dari pengaruh luar, terutama pengaruh Islam, dan pengaruh kebudayaan dan agama yang datang melalui masa kolonial. Salah satu contoh konkret dari sentimen anti-Islam ini dapat ditemukan dalam kasus 'penistaan' agama pertama yang tercatat dalam sejarah Indonesia, yang terjadi pada terbitan Januari 1918 dalam majalah Djawi Hisworo. Di dalam terbitan tersebut, terdapat sebuah tulisan yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang penghisap candu, sebuah penggambaran yang sangat kontroversial dan memicu kemarahan di kalangan umat Muslim. Penggambaran tersebut, yang sangat merendahkan simbol-simbol suci Islam, tampaknya merupakan sebuah ekses dari menguatnya sentimen nasionalis Jawa yang berkembang pada masa itu, melalui gerakan revivalisme budaya Jawa yang bertujuan untuk menghidupkan kembali tatanan peradaban masa lalu yang dianggap lebih luhur. Dalam konteks ini, para pendukung kebudayaan Jawa, khususnya kaum Kejawen, melihat kedatangan Islam di pulau Jawa sebagai sebuah titik balik yang menandai kemunduran dalam sejarah kebudayaan mereka. Bagi kaum Kejawen, masa sebelum kedatangan Islam, yaitu era kejayaan kerajaan Majapahit, dipandang sebagai puncak dari peradaban Jawa yang murni dan unggul, di mana tatanan sosial, budaya, dan spiritual masyarakatnya lebih harmonis dan teratur. Kedatangan Islam, yang membawa pengaruh luar dengan sistem nilai dan budaya yang berbeda, dianggap oleh mereka sebagai faktor yang mengubah dan bahkan merusak tatanan peradaban yang telah mapan, sehingga menciptakan jarak yang signifikan antara masyarakat Jawa dan identitas agama yang baru.[4]

Meskipun agama Islam yang berkembang di kalangan kraton Jawa, khususnya di Mataram, sering kali dianggap sebagai versi sinkretis, yang lebih banyak mencerminkan proses asimilasi ajaran Islam ke dalam tradisi Hindu-Jawa yang lebih tua, tetap terdapat ketegangan yang mendalam, baik dari segi kultural maupun politis, antara penguasa Mataram dengan daerah-daerah taklukan di pesisir yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam yang lebih murni dan terpisah dari tradisi Jawa. Agama Islam yang ada di kraton Mataram sering kali berbaur dengan berbagai elemen lokal dan kepercayaan animisme, sehingga menciptakan bentuk Islam yang lebih fleksibel dan lebih cocok dengan adat serta kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya. Namun, di sisi lain, di pesisir, khususnya di daerah-daerah seperti Gresik, Demak, dan Banten, Islam berkembang dalam bentuk yang lebih murni, dengan pengaruh yang lebih besar dari ajaran Islam tradisional yang datang langsung dari dunia Islam, tanpa banyak terpengaruh oleh adat dan kebudayaan Hindu-Jawa yang lebih tua. Kondisi inilah yang menumbuhkan ketegangan antara kekuatan politik yang berada di dalam kraton, yang merasa lebih terikat pada nilai-nilai tradisi Jawa, dan kekuatan Islam di pesisir yang lebih mengedepankan ortodoksi ajaran agama.[4]

Beberapa pemberontakan dan konflik internal yang terjadi di Mataram sering kali melibatkan kekuatan Islam sebagai oposisi yang menantang kekuasaan lokal. Salah satu contoh yang menonjol adalah perlawanan Raden Trunojoyo dari Madura pada akhir abad ke-17. Raden Trunojoyo, yang beraliansi dengan panembahan Kajoran dan penguasa Giri Kedaton di Gresik, menggambarkan ketegangan antara para penguasa kraton yang mengadaptasi Islam secara lebih luwes dan masyarakat pesisir yang mempertahankan ajaran Islam yang lebih murni. Pemberontakan ini mencerminkan konflik antara dua pemahaman agama yang berbeda dan menunjukkan ketidakpuasan dari kalangan Islam yang lebih murni terhadap dominasi kekuasaan yang dianggap terlalu kompromistis dalam soal agama. Ketegangan semacam ini berlanjut hingga masa-masa berikutnya, salah satunya pada Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dalam perlawanan ini, Diponegoro menjalin aliansi strategis dengan kalangan ulama dan mengklaim dirinya sebagai 'khalifah' yang mirip dengan model pemerintahan Turki Ottoman, dengan tujuan untuk menyatukan kembali Jawa yang telah terpecah belah oleh dominasi kolonial Belanda. Dalam konteks ini, Diponegoro tidak hanya berperang melawan penjajahan Belanda, tetapi juga berusaha mengembalikan tatanan Islam yang lebih murni dan menantang pengaruh Islam sinkretis yang berkembang di kraton. Konflik-konflik ini, baik yang terjadi pada masa pemerintahan Mataram maupun pada masa Perang Jawa, menggambarkan adanya ketegangan yang tak terhindarkan antara dua bentuk Islam yang berbeda, serta antara tradisi lokal Jawa dan ajaran Islam yang datang dari luar.[4]

Meskipun antagonisme antara Islam dan Kejawen telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, terdapat indikasi yang sangat kuat bahwa gagasan tentang revivalisme kebudayaan Jawa pra-kolonial, yang mulai muncul dan berkembang, sedikit banyak bersumber dari kalangan orientalis Eropa. Proses ini dapat ditelusuri kembali ke masa pemerintahan Sir Stamford Raffles yang menginisiasi proyek sejarah Jawa kuno, yang bertujuan untuk menggali dan mengabadikan kejayaan kebudayaan Jawa sebelum kedatangan Islam. Proyek Raffles ini tidak hanya memperkenalkan imaji tentang kemegahan peradaban Jawa pada masa lalu, tetapi juga membuka pintu bagi wacana-wacana keilmuan kolonial yang terus mereproduksi gagasan tersebut dalam berbagai bentuk. Di dalam wacana-wacana ilmiah yang diproduksi oleh sarjana-sarjana Eropa, Jawa digambarkan sebagai sebuah peradaban yang gemilang, dengan puncak kejayaannya sebelum kedatangan Islam, yang dipandang sebagai faktor eksternal yang mengubah dan meruntuhkan tatanan sosial dan budaya Jawa yang telah mapan.

Seiring berjalannya waktu, berbagai proyek yang dikenal dengan istilah 'Javanologi' ini semakin berkembang, dengan banyaknya penelitian yang melibatkan kalangan orientalis Eropa yang semakin terfokus pada pengkajian sejarah, seni, bahasa, dan budaya Jawa. Tidak hanya itu, proyek-proyek ini mulai melibatkan kalangan priyayi berpendidikan tinggi yang merasa tertarik dengan gagasan-gagasan tersebut, yang selanjutnya menjadi salah satu faktor utama munculnya nasionalisme Kejawen di tahun 1910-an dan awal 1920-an. Ketertarikan kalangan priyayi terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh para orientalis Eropa ini kemudian mendorong mereka untuk mengeksplorasi dan menggali kembali warisan budaya Jawa dengan tujuan memperkuat identitas dan posisi sosial mereka di tengah dominasi kolonial Belanda. Seiring dengan hal tersebut, kalangan aristokrasi Jawa melihat kebijakan asosiatif yang digagas oleh politik Etis kolonial sebagai sebuah peluang besar yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan emansipasi sosial dan kultural masyarakat Jawa. Mereka mulai menganggap bahwa kebangkitan kembali kebudayaan dan peradaban Jawa adalah sebuah kesempatan emas untuk melepaskan diri dari belenggu penindasan kolonial, sekaligus untuk mempertegas kembali posisi mereka sebagai kelompok elit dalam masyarakat.

Namun, di sisi lain, kelompok aristokrasi ini semakin merasa terancam oleh kebangkitan politik Islam yang semakin kuat dan meluas. Mereka melihat gerakan Islam, yang dikenal dengan sifat egaliter dan semangat kolektifnya, sebagai suatu ancaman yang serius terhadap tatanan sosial yang sudah mapan, di mana struktur feodal dan tradisi kebangsawanan Jawa memegang peranan yang sangat penting. Keberadaan gerakan Islam yang mengusung prinsip persamaan dan solidaritas di antara sesama umat manusia, dianggap oleh kelompok ini sebagai sesuatu yang mengancam status quo yang telah mereka bangun selama berabad-abad, di mana kedudukan mereka sebagai bangsawan dan penguasa lokal tidak pernah dipertanyakan. Oleh karena itu, meskipun pada satu sisi kebangkitan kebudayaan Jawa menjadi hal yang mereka dukung, namun pada sisi lainnya, mereka merasakan ketidaknyamanan dengan adanya pengaruh gerakan Islam yang dianggap sebagai elemen asing yang tidak sejalan dengan tatanan tradisional Jawa yang telah mereka perjuangkan.

Sementara itu, para nasionalis Kejawen, yang sering kali mengembangkan sikap berlawanan dengan kaum Islamis, menunjukkan sikap yang cenderung lebih bersahabat dengan kalangan Kristen, termasuk Katolik. Sejak abad ke-19, telah berkembang suatu varian 'Kristen Jawa' yang memiliki akar kuat di kalangan masyarakat Kejawen, sebuah bentuk Kristen yang tidak hanya mengadaptasi ajaran-ajaran Kristiani, tetapi juga mengasimilasi nilai-nilai lokal dan tradisi Kejawen yang sudah ada sebelumnya. Gerakan ini, yang sebagian besar dipengaruhi oleh keberadaan misionaris Kristen di Jawa, mampu menarik minat sebagian masyarakat Kejawen yang merasa bahwa ajaran Kristen yang disajikan dalam kerangka yang lebih lokal dan bersifat akulturatif dapat lebih mudah diterima dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu, ada pula perkembangan berbagai perkumpulan 'kebatinan' Barat yang juga memperoleh perhatian dari kalangan Kejawen, khususnya Perhimpunan Teosofi dan Vrijmetselarij (Freemasonry), yang memperkenalkan ajaran spiritualitas Barat dengan nuansa yang lebih filosofis dan terbuka terhadap pemahaman ketimuran yang sudah berkembang di Jawa.

Mungkin saja, keberhasilan pengaruh ini tidak terlepas dari semangat 'orientalis' yang dimiliki oleh para intelektual dan misionaris Eropa pada saat itu, yang berusaha untuk mempresentasikan doktrin Kristiani maupun berbagai bentuk spiritualitas Barat lainnya dalam bingkai pemahaman yang lebih lokal dan sesuai dengan nilai-nilai ketimuran. Hal ini membuat ajaran-ajaran tersebut lebih mudah diterima dan lebih cocok dengan pola pikir serta budaya masyarakat Jawa, yang dikenal dengan keterbukaannya terhadap adaptasi dan transformasi. Dengan pendekatan seperti ini, aliansi antara kaum Kejawen dan kalangan Kristen, termasuk Katolik, terus berkembang dan bahkan memperkuat hubungan tersebut. Aliansi ini tidak hanya terjalin dalam lingkup sosial dan budaya, tetapi juga dalam ranah politik. Hal ini terlihat jelas pada masa awal pembentukan Orde Baru, di mana kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung mendepolitisasi kalangan Islamis dan menekan oposisi Islam yang dianggap berpotensi mengancam stabilitas politik.

Represi terhadap kalangan Islamis ini semakin meningkat pada tahun 1970-an dan memuncak dalam peristiwa Tanjung Priok pada September 1984, yang menjadi salah satu titik puncak dari ketegangan politik antara pemerintah Orde Baru dan kelompok Islamis. Dalam periode tersebut, beberapa kelompok think-tank atau pengambil kebijakan yang berperan di belakang layar, seperti CSIS (Center for Strategic and International Studies), terbukti melibatkan kalangan aktivis Kristen dan Katolik-Jesuit, di samping kalangan Kejawen. Keterlibatan ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kalangan Kejawen dan kelompok-kelompok intelektual Kristen dalam merumuskan kebijakan negara, khususnya dalam menghadapi ancaman dari kelompok Islamis yang semakin memperjuangkan kepentingannya dalam kancah politik nasional.

Rujukan

  1. ^ WIJANARTO (2023-05-20). "Polemik Ide Nasionalisme Jawa dan Hindia: Kawula Versus Aristokrat". kompas.id. Diakses tanggal 2025-02-21.
  2. ^ a b Alfan, Ahsanul (2016). "GERAKAN TENTARA KANJENG NABI MUHAMMAD (TKNM) TAHUN 1918" (PDF). AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. 4 (3): 1153.
  3. ^ a b c d e f g Niwandhono, Pradipto (2014). [file:///C:/Users/Windows%2010/Downloads/23781-46934-1-SM%20(1).pdf "Gerakan Teosofi dan Pengaruhnya Terhadap Kaum Priyayi Nasionalis Jawa 1912-1926"] (PDF). Lembaran Sejarah. 11 (1): 25–33. ;
  4. ^ a b c Kompasiana.com (2017-09-19). "Nasionalisme Kejawen: Dahulu dan Sekarang". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2025-02-21.
Kembali kehalaman sebelumnya