Cagar Alam Maninjau
Sejarah penetapan[1]Menurut Kepala Resor Konservasi Sumber Daya Alam Maninjau Ade Putra, risalah pengukuhan Cagar Alam Maninjau dimulai pada 1920 yang ditetapkan sebagai hutan register tujuh (GB Nomor 2 Tahun 1920). Setelah itu, sebagai hutan suaka alam wisata (HSAW) Maninjau Utara-Selatan seluas 22.108 hektare, sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 623/Kpts/Um/8/1982. Pada 1987 sampai 1992, dilakukan penetapan tata batas atau berita acara dan peta tata batas. Pada 1999 ditetapkan sebagai hutan suaka alam wisata (HSAW) Maninjau Utara-Selatan seluas 22.206 hektare, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 422/Kpts-II/1999. Setelah itu, pada 2013 ditetapkan sebagai kawasan suaka alam wisata (KSA) Maninjau Utara-Selatan seluas 21.891,78 hektare, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor.SK.35/Menhut-II/2013. Lokasi itu ditetapkan KSA dengan fungsi pokok, Cagar Alam Maninjau seluas 21.891,78 hektare, sesuai SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:SK.598/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016. Kawasan itu mengelilingi Danau Maninjau yang berada di 32 nagari atau desa adat, 11 kecamatan di Kabupaten Agam dan Padang Pariaman. Fungsi dan letak geografis[2]Awalnya daerah hutan sekitar Danau Maninjau merupakan daerah hutan bousweiseen, atau kadang disebut juga memiliki fungsi sebagai hutan simpanan atau hutan lindung yang termasuk kelompok hutan register 7. Tahun 1982 kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan Suaka Alam melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 623/Kpts/ Um/8/1983 tanggal 22 Agustus 1982. Kawasan ini pada bagian Utara, Selatan dan Timur berbatas dengan hutan lindung, sedangkan pada bagian barat berbatas dengan areal penggunaan lain. Secara geografis terletak pada 1000 17’ 38,3999” BT – 1000 3’ 7,2” BT dan 00 11’ 2,5764” LS – 00 dt 26’ 10,8168” LS. Pengelolaan[2]Pengelolaan kawasan dilakukan bersama antara Seksi Konservasi Wilayah I (untuk daerah Kabupaten Agam) dan Wilayah II (Kabupaten Padang Pariaman). Kawasan ini baru saja ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.598/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 setelah sebelumnya masih berfungsi umum sebagai kawasan konservasi/ KSA/ KPA. Ekosistem dan biotik[2]Kawasan ini memiliki bentang topografi bergelombang (berbukit) sampai terjal dengan dinding-dinding alam yang curam. Hasil pengamatan peta topografi menunjukkan bentang kawasan terbagi menjadi 4; kisaran lereng 0 – 15 % (landai) seluas 2.121 (9,6%), lereng 15 – 25 % (agak curam) seluas 3.290 (14,9%);, lereng 25 – 40 % (curam) seluas 14.706 (66,5%) dan kelerengan > 40 % (sangat curam) seluas 1.989 (9,0%). Dari kawasan ini mengalir tiga sungai besar yaitu Sungai Gadang, Sungai Landir, dan Batang Antokan. Sebagian besar daerah ini terdiri dari bukit-bukit curam yang mengelilingi Danau Maninjau, batas dengan areal pemukiman masyarakat banyak didominasi oleh sawah dan ladang masyarakat. Tipe ekosistem kawasan ini dikategorikan sebagai Hutan Hujan Campuran Non-Dipterocarpaceae yang terbagi lagi menjadi; hutan sub montana (diperkirakan 30% dari luas kawasan, terletak di pinggiran danau Maninjau diantaranya di daerah Pasar Maninjau, Koto Malintang, Dalko dan Duo Sidang), hutan montana (diperkirakan 20% dari luas kawasan, di daerah Bayur, Koto Baru, Pasar Raba’a dan Koto Kaciak) dan hutan sub alpina yang tersebar di daerah Koto Tinggi, Paninjauan, Balai Lelo, Pantai Barat, Sungai Batang Selatan dan Sungai Batang Utara. Jenis satwa[2]Jenis satwa endemik di daerah ini adalah Selusur Maninjau (Homaloptera gymnogaster) yang telah ditetapkan sebagai jenis ikan dilindungi di Indonesia. Kemudian jenis satwa dilindungi yang sering dilaporkan di kawasan ini adalah Kambing Hutan (Capricornis sumarensis) yang hidup di daerah perbukitan batu yang banyak terdapat di kawasan ini. Beberapa jenis satwa yang dilaporkan pernah diketahui terdapat di kawasan ini adalah; Accipiter sp (Elang), Antherococeros malayanis (Kikiak (Minang)), Argusianus argus (Kuau), Buceros rhinoceros (Enggang, Anggang), Chrysolapltes lucidus (TaguakTaguak (Minang)), Copsychus malabicus (Kucica, Murai Batu (Minang) ), Crininger ochraceus (Baki (Minang)), Dicrurusaeneus sp (Sawai (Minang)), Rhipidulaereola sp (Murai Daun (Minang)), Thereron fulri (Punai), Hylobates agilis (Ungko), Hystrix alpium (Landak), Felis bengalis (Kucing Hutan), Nycticebus coucang (Kukang), Paradoxurus hermaproditis (Musang), Tapirus indicus (Tapir), Manis javanica (Trenggiling), Tragulus javanicus (Kancil), Helarctos malayanus (Beruang Madu), Prsbytis melalops (Simpai), Muntiacus muncak (Kijang), Hylobates sindactylus (Siamang), Panthera tigris Sumatraensis (Harimau Sumatera), dan Cervus unicolor (Rusa). Keanekaragaman hayati[1]Cagar Alam Maninjau merupakan lokasi tumbuhnya atau hidupnya flora dan fauna langka dan dilindungi Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Khusus flora, ditemukan pohon surian (Toona sureni), bayur (Pterospermum Javanucum), madang lilin (Litsea roxburghii) dan durian hutan. Jenis lainnya hampir serupa dengan hutan lainnya di Sumbar, seperti, sapek (Macaranga Sp), kalek, baringin (Ficus Sp), kemiri (Aleurites moluccana), johar (Cassia sianya) dan maranti (Shorea Sp). Beberapa tumbuhan langka dan dilindungi juga dapat ditemukan di lokasi itu, seperti bungga Rafflesia Tuan-mudae, Rhizanthes Sp, Amorphophallus Sp, nepenthes atau kantong semar dan beraneka ragam jenis anggrek.[3] Ancaman kelestarian[4]Sekitar 426 hektare kawasan Hutan Cagar Alam Maninjau di Kecamatan Lubukbasung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dirambah untuk dijadikan lahan perkebunan berupa kelapa sawit, kopi, karet, manggis dan lainnya. Referensi
|