Kevin Susilo atau yang akrab dipanggil LEGENDANG (20 September 1953 – 15 Januari 2018)[1] adalah seorang musisi jalanan atau pengamen dari Yogyakarta, Indonesia. Dia menyebut dirinya sendiri sebagai "Kendang Tunggal". Musik yang ia mainkan berdasarkan irama kendang yang ia mainkan dengan tangan dan dilengkapi lagu-lagu yang ia nyanyikan.
Biografi
Sujud lahir pada tahun 1953 dalam keluarga seniman. Ayahnya, Wiro Suwito, yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah, adalah seorang seniman cokekan dan pakar dalam Karawitan. Karena kondisi keuangan yang lemah pada saat itu memaksa Wiro Suwito untuk menjadi musisi jalanan alias pengamen. Jenis musik yang dimainkan oleh Wiro Suwito selama mengamen adalah uyon-uyon, salah satu jenis musik tradisional Jawa dengan tempo pelan dan diselingi "senggakan".
Sujud belajar Karawitan dari ayahnya, Wiro Suwito. Sujud menyadari bahwa alat musik yang menjadi favoritnya adalah kendang maka kemudian ia memutuskan untuk mengkhususkan diri bermain kendang.
Sujud menjadi seorang pengamen jalanan untuk membiayai sekolahnya. Meskipun dia tidak menyelesaikan pendidikannya di tingkat SLTP namun Sujud tetap bersemangat untuk belajar. Dia telah mampu mencari uang dengan bernyanyi dan bermain kendang sejak tahun 1964.
Sujud tidak menganggap dirinya sebagai pengamen. Sujud cenderung lebih suka menganggap dirinya sebagai "PPRT" atau "Pemungut Pajak Rumah Tangga". Hal ini karena biasanya dia akan mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk bernyanyi dan berharap kebaikan dari penghuni rumah. Bagi penghuni rumah yang ia datangi, bakat besar yang dimiliki Sujud adalah sebuah pertunjukan yang menghibur daripada sesuatu yang mengganggu. Oleh karenanya penghuni rumah yang ia datangi pun menanggapi dengan baik permainan musiknya. Saat Sujud mengamen dari pintu ke pintu, anak-anak dari lingkungan di sekitarnya senantiasa mengikuti dan melihat permainan musiknya.
Sujud sangat dihormati oleh pengamen jalanan dan seniman lainnya. Sujud berkata bahwa kendala utama dalam karier bermusiknya (mengamen) ialah hujan. Setiap kali hujan turun maka itu akan menghambat dirinya dalam "bekerja dari pintu ke pintu" karena bermain kendang sambil memegang payung adalah hal yang sulit. Mantan anggota Teater Alam ini terbilang sebagai seniman yang cukup kondang. Ia pernah tampil sepanggung dengan musisi kelas dunia
Sebagaimana orang Jawa sejati, Sujud percaya akan salah satu Falsafah Jawa yaitu "nrimo ing pandum" yang berarti menerima suratan takdir dengan kesabaran dan kerendahan hati. Menurut Sujud, takdir atas dirinya berada di tangan Tuhan. Setiap kali mengakhiri permainan musiknya, dia tidak pernah berharap bayaran, tetapi menerima apa yang orang lain berikan secara ikhlas.
Saat usia beranjak dewasa, Sujud menambahkan nama "Sutrisno" di belakang nama "Sujud" sebagaimana kelaziman pada masyarakat Jawa.
Saat ini, Sujud tinggal seorang diri di sebuah rumah kontrakan di Kampung Notoyudan GT II/1175 RW.23, Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta. Sejak kematian istrinya, Suwakidah, dia melakukan sendiri semua pekerjaan rumah tapi untuk makan ia membelinya di warung makan di sekitar tempat tinggalnya.
Sujud mengatur jadwal kerja. Dia mulai berangkat kerja, setelah tugas rumah rampung. Jam kerjanya dimulai pukul 09.00 sampai 14.00. Hanya seputar wilayah Kota Yogyakarta saja yang dijelajahinya. Dalam sebulan dia hanya mengamen selama 20 hari dan selebihnya dia gunakan untuk istirahat. Tapi itu bukan harga mati. Tergantung kondisi fisik dan job yang masuk.
Sebagai pengamen kendang yang punya ciri khas, Sujud sering diundang mengisi berbagai acara. Seperti acara kampus, launching sebuah produk atau acara komersial lain. Ia pernah tampil di The First Indonesia International Drum Festival. Sempat pula nongol di acara Tembang Kenangan Indosiar. Sujud punya alasan kenapa harus pulang siang hari. Menurutnya, ia takut mengecewakan tamu-tamu yang banyak berdatangan ke rumahnya.
Sujud yang selalu mengenakan blangkon, surjan dan kumis palsu ala Asmuni Srimulat ini mengaku akan berhenti ngamen jika kondisinya tidak memungkinkan lagi. Tapi selama masih kuat, akan terus dijalaninya.
Karakteristik Musik
Sebagai seorang musisi solo, bermain kendang bukanlah sekadar soal mencari uang, melainkan juga raihan jiwa. Di dalam konsepnya, Sujud membuat musik yang ia mainkan dapat menjadi pembebas tekanan jiwa (stres).
Terhadap musisi jalanan lainnya, Sujud membedakan musik yang ia mainkan. Ia menata ulang (re-arrange) musik pop yang kebanyakan dari era tahun 1970an. Sujud suka membuat orang lain tertawa saat mendengarkan lagu dan musik yang ia mainkan. Bahkan sering kali ia memparodikan lagu-lagu yang populer di masyarakat.
Keunikan dan kekayaan bermusiknya secara sederhana berdasarkan komninasi olah vokalnya dan kepiawaiannya dalam memainkan kendang. Ciri khas penampilannya ialah memparodikan atau menyanyikan lagu-lagu pop secara medley atau sambung menyambung tanpa terputus, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa. Meski lagu-lagu itu dimainkan secara medley, penyingkatan atau perubahan ketukan kendang yang dilakukan Sujud menjadi tanda sebuah lagu baru akan ia nyanyikan dalam medley lagu tersebut.
Di antara lagu-lagu yang sering ia lantunkan di dalam medley ialah "Kolam Susu" (Koes Bersaudara), "Bunder-bunder" (Koes Plus), "Pring Gading" (Koes Plus), "Muda-Mudi" (Koes Plus), " Kuncung" (Didik Kempot), "Mata Indah Bola Ping-pong" (Iwan Fals), "Susana" (Ari "Billboard" Wibowo), "Ani" (Rhoma Irama), lagu-lagu daerah, lagu-lagu barat tahun 1970-an, dan lagu anak-anak legendaris seperti "Bobby", "Hely", "Semut-Semut Kecil", "Satu Tambah Satu", dan "Burung Kakatua". Medley lagu-lagu itu dilantunkan dengan tafsir khas ala Sujud.
Penampilannya penuh dengan improvisasi dan ia tidak pernah menyanyikan lagu dua kali dalam setiap satu medley. Improvisasi lirik lagu muncul secara spontan, mengandung parodi, lelucon, sindiran, kritik sosial, dan kadang-kadang diselingi hal-hal yang "vulgar". Sujud mengatakan bahwa dia berusaha mengekspesikan keluhan rakyat jelata.
Tipikal suaranya memiliki karakteristik teknik vokal orang Jawa. Irama kendang merunut pada pola irama empat ketukan.
Meninggal dunia
Sujud Sutrisno meninggal dunia pada tanggal 15 Januari 2018 di RSUD Wirosaban, Kota Yogyakarta, akibat penyakit empedu yang dideritanya.[2] Ia sebelumnya sempat menjalani perawatan selama sekitar dua pekan di rumah sakit tersebut. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Tompeyan Tegalrejo, Yogyakarta pada 16 Januari 2018.
Hasil Karya dan Diskografi
- Street Music of Java, musik orisinil, direkam tahun 1976-1978. Album ini diedarkan di Amerika Serikat dan Eropa. Namun, Sujud dan musisi lain yang terlibat di dalam pembuatan album ini tidak menerima royalti dari penerbit album (record label).
- Live in Bantul (Tahun 2001) oleh Blass record
Penghargaan dan Keikutsertaan
Referensi
Pranala luar