Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini hanya boleh digunakan untuk penjelasan ilmiah; bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis. Wikipedia tidak memberikan konsultasi medis. Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat, berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional.
Halaman ini berisi artikel tentang infeksi. Untuk larva cacing penyebabnya, lihat sistiserkus.
Sistiserkosis (bahasa Inggris: cysticercosis) adalah penyakit berupa infeksi jaringan yang disebabkan oleh sistiserkus (larva cacing Taenia) akibat menelan telur cacing. Penderita sistiserkosis adalah inang perantara Taenia. Dalam tubuh, sistiserkus menginfeksi jaringan otot, kulit, mata, dan sistem saraf pusat. Jika terjadi pada jaringan saraf, infeksinya disebut neurosistiserkosis. Penyakit ini tergolong zoonosis karena dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Penyebab
Taenia merupakan genus cacing pita yang daur hidupnya memungkinkannya berpindah-pindah dari satu inang ke inang lainnya. Penderita sistiserkosis adalah inang perantara Taenia, sementara inang definitifnya menderita taeniasis. Sistiserkosis terjadi saat inang menelan telur cacing atau proglotid gravid (segmen tubuh cacing yang telah matang dan dipenuhi telur) sehingga telur tersebut menetas dalam tubuh inang dan berubah menjadi larva yang disebut sistiserkus.[1]
Umumnya, inang perantara Taenia adalah hewan. Pada babi, sistiserkosis disebabkan oleh T. solium yang larvanya disebut Cysticercus cellulosae, sedangkan sistiserkosis sapi disebabkan oleh T. saginata yang larvanya disebut Cysticercus bovis atau Cysticercus innermis.[2] Meskipun demikian, manusia dapat menjadi inang perantara dan menderita sistiserkosis jika mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing Taenia. Pada manusia, sistiserkosis disebabkan oleh T. solium, sedangkan T. saginata tidak mengakibatkan sistiserkosis; sementara itu, kemampuan T. asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis di Asia belum diketahui secara pasti.[3][4]
Persebaran
Sistiserkosis ada di seluruh dunia, tetapi kasusnya lebih banyak dilaporkan di kawasan perdesaan di negara-negara berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin dengan populasi babi yang tinggi dan penerapan higiene yang kurang.[5][6] Di wilayah-wilayah endemik, populasi penduduk yang menunjukkan hasil seropositif mencapai 10 hingga 25%.[7] Sebuah studi tahun 2012 menyatakan bahwa sistiserkosis mengakibatkan 1.200 kematian di seluruh dunia pada tahun 2010 dan lebih dari 700 jiwa pada tahun 1990.[8] Penyakit ini merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan.[9]
Indonesia
Di Kabupaten JayawijayaPapua, Indonesia ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak.[3]
Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak.[10] Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9 hingga 20,7%., dan kasus di provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang.[11]
Gejala klinis
Masa inkubasi penyakit ini beragam. Penderita sistiserkosis bisa saja tidak mengalami gejala klinis selama bertahun-tahun. Gejala sistiserkosis bervariasi, tergantung jumlah dan lokasi sistiserkus, yang dapat hidup di jaringan otot lurik, otot jantung, paru-paru, hati, subkutan, mukosa mulut, dan sistem saraf pusat.[1] Di beberapa wilayah endemis seperti di Asia, nodul (benjolan padat) dapat berkembang di bawah kulit.[12] Setelah beberapa bulan atau tahun, benjolan tersebut akan membengkak, menjadi lembek, mengalami radang, dan selanjutnya menghilang secara perlahan.[7] Sementara itu, neurosistiserkosis menimbulkan gejala saraf, yang di negara-negara berkembang, merupakan salah satu penyebab utama epilepsi.[7] Kejang dan sakit kepala merupakan gejala yang sering dialami orang dengan neurosistiserkosis, yang kemudian dapat berujung pada strok dan kematian.[13]
Infeksi dapat dicegah dengan menerapkan sanitasi, seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan membersihkan sayur dan buah sebelum dikonsumsi.[14] Sejumlah kasus sistiserkosis tidak perlu diobati.[15] Pada neurosistiserkosis, pemberian praziquantel dan/atau albendazol,[16] serta terapi suportif dengan kortikosteroid dan obat antikejang dapat digunakan. Terkadang diperlukan pembedahan untuk mengangkat kista yang ditimbulkan sistiserkus.[12]
^ abSimanjuntak, Gindo Mangara (2000). Studi Taeniasis/Cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-24. Diakses tanggal 2021-07-25.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)