Sang Penari

Sang Penari
Poster rilis teatrikal
SutradaraIfa Isfansyah
ProduserShanty Harmayn
SkenarioSalman Aristo
Ifa Isfansyah
Shanty Harmayn
Berdasarkan
Novel:
Ahmad Tohari
PemeranPrisia Nasution
Dewi Irawan
Oka Antara
Slamet Rahardjo
Landung Simatupang
Hendro Djarot
Happy Salma
Teuku Rifnu Wikana
Tio Pakusadewo
Lukman Sardi
Penata musikAksan Sjuman
Titi Sjuman
SinematograferYadi Sugandi
Perusahaan
produksi
DistributorSalto Films
Tanggal rilis
  • 10 November 2011 (2011-11-10)
Durasi111 menit
NegaraIndonesia
BahasaIndonesia
Banyumasan
Penghargaan
Festival Film Indonesia 2011

Sang Penari (secara internasional The Dancer) adalah sebuah film drama Indonesia tahun 2011 yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah, dan dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka Antara sebagai pemeran utama, serta Slamet Rahardjo, Dewi Irawan dan Hendro Djarot sebagai pemeran pendukung. Film ini diadaptasi dari novel trilogi tahun 1982 Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sang Penari menceritakan sebuah kisah cinta tragis tentang seorang pemuda desa dengan seorang penari ronggeng baru di desa kecilnya yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan di Indonesia pada 1960-an yang penuh gejolak politik.

Film ini merupakan film adaptasi kedua dari novel tersebut setelah Darah dan Mahkota Ronggeng (1983). Sang Penari membutuhkan dua tahun penelitian untuk menyajikan konteks sejarah dengan lebih baik, termasuk Gerakan 30 September dan peristiwa pembantaian anti-komunis yang mengikutinya. Rincian ini dalam novelnya disensor oleh pemerintahan Orde Baru kala itu, tetapi digambarkan lebih jelas dalam film ini. Walaupun film tersebut berlatar dan difilmkan di Purwokerto, Jawa Tengah, kedua pemeran utama film tersebut bukan berasal dari etnis Jawa. Prisia Nasution, dalam debutnya sebagai pemeran utama, adalah orang Batak; sedangkan Oka Antara adalah orang Bali.

Sang Penari dirilis pada 10 November 2011, dan mendapatkan pujian kritikus. Tohari menyebut film tersebut sebagai sebuah adaptasi yang layak untuk karyanya,[1] sementara Sembiring Labodalih dari Jakarta Globe mendeskripsikan elemen sosio-budaya film tersebut layak disebut sebagai sebuah tragedi Shakespeare.[2] Film tersebut dinominasikan untuk sepuluh kategori penghargaan dalam Festival Film Indonesia 2011, dan berhasil memenangkan empat piala, termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Ifa), Aktris Terbaik (Prisia) dan Aktris Pendukung Terbaik (Dewi).

Sinopsis

Cerita cinta tragis ini terjadi di Jawa Tengah, Indonesia tahun 1960-an. Rasus (Oka Antara) adalah seorang tentara dari Dukuh Paruk, sebuah desa miskin di daerah Banyumas. Awal cerita terjadi ketika Rasus kembali dan menyusuri Dukuh Paruk, dan bertemu dengan Sakum (Hendro Djarot), seorang tunanetra yang memintanya untuk mencari seseorang bernama Srintil. Cerita kemudian berkilas balik ke Dukuh Paruk dan hubungan cinta antara Rasus dan Srintil.

Dukuh Paruk sempat mengalami masa kelam pada tahun 1953 silam. Santayib, pembuat tempe bongkrèk Dukuh Paruk, tak sengaja menjual tempe bongkrèk beracun, yang membunuh banyak warga, termasuk Surti (Happy Salma), ronggeng Dukuh Paruk. Penduduk dusun mulai panik dan rusuh, dan dalam kerusuhan tersebut, Santayib dan istrinya melakukan bunuh diri dengan mengonsumsi tempe beracun buatan mereka. Putri dari Santayip, Srintil, selamat dan dibesarkan oleh kakeknya Sakarya (Landung Simatupang). Sejak insiden itu, Dukuh Paruk seperti kehilangan kehidupannya, tidak ada musik mengalun dan penari ronggeng lagi di dukuh tersebut.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1963, Srintil (Prisia Nasution) dan Rasus yang sama-sama yatim piatu adalah teman yang sangat dekat sejak kecil. Rasus sendiri juga menyimpan perasaan cinta pada Srintil. Dengan kondisi Dukuh Paruk yang kelaparan dan mengalami depresi sejak kehilangan sang penari ronggeng. Srintil sendiri senang menari dari kecil. Kemampuan menarinya ternyata seperti mengandung kekuatan magis yang membuat Sakarya yakin bahwa Srintil bisa menjadi ronggeng. Suatu hari Sakarya mendapat pertanda bahwa Srintil akan menjadi ronggeng besar dan mampu menyelamatkan Dukuh Paruk dari kelaparan. Dia kemudian meyakinkan Srintil untuk menjadi ronggeng dan meminta Kertareja (Slamet Rahardjo), dukun ronggeng Dukuh Paruk untuk menjadikan Srintil seorang ronggeng. Srintil percaya bahwa dengan menjadi ronggeng, dia bisa membayar dosa kedua orang tuanya dalam insiden tragis sepuluh tahun lalu. Dia kemudian mencoba untuk membuktikan dirinya dengan menari di makam Ki Secamenggala, pendiri Dukuh Paruk. Walaupun gagal meyakinkan Kartareja pada kali pertama, Rasus yang menaruh simpati pada tekad Srintil menolong Srintil dengan memberinya benda temuannya, sebuah pusaka ronggeng milik Surti, ronggeng Dukuh Paruk yang telah tiada. Setelah melihat pusaka tersebut, Sakarya akhirnya berhasil meyakinkan Kartareja. Srintil kemudian dipermak dan dirias oleh Nyai Kartareja (Dewi Irawan) untuk menjadi seorang ronggeng. Sementara itu, seorang aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia, Bakar (Lukman Sardi) tiba di Dukuh Paruk dan meyakinkan petani Dukuh Paruk untuk bergabung dengan partai komunis, untuk menyelamatkan wong cilik (kelas bawah) Dukuh Paruk dari kelaparan, kemiskinan, dan penindasan para tuan tanah yang serakah.

Kepopuleran Srintil yang sampai ke Desa Dawuan, membuat Rasus, teman kecil sekaligus orang yang mencintainya, tidak senang dan nyaman. Menjadi ronggeng berarti bukan hanya dipilih warga dukuh untuk menari, tetapi juga untuk menjadi "milik bersama" mereka. Srintil harus melayani banyak lelaki di atas ranjang setelah menari. Setelah keberhasilan Srintil menari di makam Ki Secamenggala, Srintil harus menjalani ritual terakhir sebelum dia benar-benar bisa menjadi ronggeng yang disebut "Bukak Klambu", di mana keperawanannya akan dijual kepada penawar tertinggi. Hal ini mengecewakan Rasus, yang mengatakan pada Srintil bahwa dia tidak senang dengan keputusannya menjadi ronggeng. Srintil mengatakan bahwa dia akan memberikan keperawanannya kepada Rasus, dan pada hari Bukak Klambu mereka berhubungan seks di sebuah kandang kambing. Malam itu Srintil juga berhubungan seks dengan dua "penawar tertinggi" lainnya dan menjadi ronggeng sejati.

Hancur hatinya, Rasus memutuskan untuk pergi dari Dukuh Paruk, meninggalkan Srintil yang juga patah hati. Dia kemudian bergabung dengan sebuah batalyon TNI yang bermarkas tak jauh dari Dukuh Paruk, tempat ia berteman dengan Sersan Binsar (Tio Pakusadewo) yang juga mengajarkan dia membaca. Sementara itu, warga Dukuh Paruk yang dirundung kelaparan dan kemiskinan mulai merangkul komunisme walaupun tidak paham tentang politik. Sepeninggalan Rasus, grup kesenian ronggeng Dukuh Paruk makin berjaya, dan politik juga mulai menjadi kehidupan Dukuh Paruk. Grup kesenian ronggeng Dukuh Paruk yang termasuk Kartareja, Sakarya, Sakum, dan Srintil mulai sering diminta partai komunis dalam acara kesenian rakyat agar bisa menarik massa.

Namun terjadi gejolak politik di Jakarta pada tahun 1965, dan karena kebodohan mereka tentang politik, warga dukuh Paruk pun ikut terseret karena "keterlibatan" mereka dalam acara-acara kesenian rakyat tersebut. Dua tahun kemudian, setelah terjadinya percobaan kudeta oleh komunis yang gagal di Jakarta, Rasus dikirim oleh Sersan Binsar dalam misi untuk "mengamankan" orang-orang partai komunis di daerah tersebut. Tetapi, ketika tiba giliran Dukuh Paruk terseret dalam pembantaian itu, Rasus bergegas kembali, meninggalkan rekan pasukannya ke kampung halamannya untuk mencari dan menyelamatkan cintanya, Srintil. Rasus menemukan Dukuh Paruk telah hancur dan kosong tanpa penghuni, hanya menyisakan Sakum yang buta. Sakum meminta Rasus untuk secepatnya mencari Srintil, tetapi pencarian Rasus akhirnya sia-sia. Rasus tiba di sebuah kamp konsentrasi tersembunyi, tepat pada saat Srintil dan warga Dukuh Paruk dibawa oleh kereta pengangkut dan menghilang entah ke mana.

Sepuluh tahun kemudian, Rasus berpapasan dengan seorang penari kumal yang mirip dengan Srintil dan seorang penabuh kendhang buta yang mirip dengan Sakum di Desa Dawuan. Rasus memberikan pusaka ronggeng Dukuh Paruk kepada penari tersebut, dan penari tersebut berlalu meninggalkannya. Rasus tersenyum, menandakan dia mengenali penari tersebut sebagai cintanya, Srintil. Film diakhiri dengan sang penari kumal dan si pemusik buta yang menari dan menghilang di cakrawala.

Pemeran

Produksi

Sang Penari disutradarai oleh Ifa Isfansyah.[3] Tim suami istri Wong Aksan dan Titi Sjuman terpilih untuk menata musik film ini yang memakan waktu satu setengah bulan. Mereka kemudian mengatakan bahwa mengerjakan musik untuk film ini membuat mereka lebih dekat.[4] Shanty Harmayn, yang sebelumnya mengerjakan film Pasir Berbisik (2004), dipilih untuk memproduksi, sementara Salman Aristo, dikenal lewat naskahnya untuk film Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Laskar Pelangi (2009) menangani penulisan naskah.[5] Penulisan naskah ini melewati dua belas konsep /draf dan memakan waktu dua tahun penelitian.[6]

Sang Penari didasarkan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) yang ditulis oleh Ahmad Tohari.[7] Walaupun demikian, dalam bagian kredit film ini, dituliskan bahwa film ini "terinspirasi", bukan "diadaptasi" dari novel tersebut. Film ini adalah adaptasi kedua dari novel tersebut, setelah film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) yang disutradarai oleh Yazman Yazid dan dibintangi Ray Sahetapy dan Enny Beatrice. [1] Film ini disyuting kebanyakan di Banyumas, Jawa Tengah.[1] Sutradara Ifa Isfansyah berusaha untuk memilih peran utama Srintil di sana, tetapi gagal setelah beberapa bulan mencari.[3]

Isfansyah akhirnya memilih seorang aktris baru, Prisia Nasution,[1] dan aktor Bali Oka Antara, yang sebelumnya bermain di Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009), sebagai pemeran laki-laki utama.[1] Film ini juga menampilkan Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Landung Simatupang, Hendro Djarot, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi, dan Teuku Rifnu Wikana sebagai pemeran pendukung. Happy Salma juga memiliki cameo sebagai Surti, penari ronggeng Dukuh Paruk.[1] Film ini membutuhkan 3 tahun untuk proses produksi, sedangkan ide untuk memfilmkan novel ini telah dicetuskan 10 tahun sebelumnya. Oka Antara sendiri harus menjalani proses diet ketat untuk memerankan Rasus, untuk menampilkan "bagaimana rasanya menjadi bodoh, lapar, dan buta huruf".

Penerimaan

Perilisan

Sang Penari dirilis pada tanggal 10 November 2011.[3] Tohari, yang telah menolak untuk menonton adaptasi pertamanya, menikmati Sang Penari dan dilaporkan menangis terharu. Dia berkomentar bahwa film ini jauh lebih emosional daripada novelnya, dan memberikan persetujuan dan rekomendasi kepada film ini, menganggap film ini sebagai adaptasi layak untuk karyanya.[1] Triwik Kurniasari, menulis untuk The Jakarta Post, menggambarkan film itu sebagai "menakjubkan secara artistik" dan bahwa Isfansyah "menerjemahkan dengan lancar saat-saat menakutkan dan upaya jahat yang diambil oleh militer dalam menangani semua terduga pengkhianat".[1] Labodalih Sembiring menulis untuk The Jakarta Globe, mengatakan elemen sosial-budaya dalam film ini layak disebut sebuah tragedi Shakespeare dan menampilkan akting dan penyutradaraan yang baik, tetapi kurang dari segi jalur suara / soundtrack.[2] Film ini juga layak menjadi rujukan bagi para perempuan, untuk berani dan gigih dalam memperjuangkan prinsip, cita, dan cinta yang diyakini. Sehingga, novel ini perlu ditonton oleh para perempuan Indonesia.

Analisis ketemaan

Sang Penari menyentuh tema sejarah komunisme di Indonesia, dengan fokus pada partai komunis Indonesia saat menyebarkan ideologi dalam acara kesenian rakyat, dan pembersihan sistematis anggota Partai Komunis itu dari 1965-1966 oleh militer Indonesia, yang diduga telah memakan korban beberapa ratus ribu orang.[6] Film ini adalah film Indonesia ketiga yang bertemakan pembunuhan tersebut, menyusul film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) besutan Arifin C. Noer dan Gie (2005) besutan Riri Riza.[6] Tohari kemudian mengatakan bahwa jika ia menulis tentang pembunuhan tersebut seperti digambarkan dalam film, pemerintah Orde Baru yang represif akan menembak dia.[2]

Sang Penari juga menampilkan banyak kalimat yang diucapkan dalam bahasa Banyumasan, bahasa daerah latar cerita film ini.[8] Film ini juga menampilkan beberapa aspek budaya Indonesia, termasuk batik dan musik Jawa.[2][8]

Penghargaan dan nominasi

Film tersebut memenangkan 4 Penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia 2011 untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Ifa Isfansyah), Aktris Terbaik (Prisia Nasution) dan Aktris Pendukung Terbaik (Dewi Irawan). Film ini adalah film yang diajukan Indonesia untuk penghargaan Academy Awards ke-85 untuk kategori Film Bahasa Asing Terbaik, tetapi tidak masuk ke daftar finalis.[9][10]

Penghargaan Tahun Kategori Penerima Hasil
Festival Film Indonesia 2011 Film terbaik[7] Shanty Harmayn Menang
Sutradara Terbaik[7] Ifa Isfansyah Menang
Penulis Skenario Terbaik[11] Salman Aristo, Ifa Isfansyah, dan Shanty Harmayn Nominasi
Sinematorgrafi Terbaik[11] Yadi Sugandi Nominasi
Penata Artistik Terbaik [11] Eros Eflin Nominasi
Pemeran Utama Pria Terbaik[11] Nyoman Oka Antara Nominasi
Pemeran Utama Wanita Terbaik[7] Prisia Nasution Menang
Pemeran Pendukung Pria Terbaik[11] Hendro Djarot Nominasi
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik[7] Dewi Irawan Menang
Academy Award 2012 Film Bahasa Asing Terbaik[10] Sang Penari Diajukan

Lihat pula

Referensi

Daftar pustaka

Pranala luar

Penghargaan dan prestasi
Didahului oleh:
3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta
(2010)
Film Bioskop Terbaik
(Festival Film Indonesia)

Produksi: Salto Films
Sutradara: Ifa Isfansyah
Pemeran: Prisia Nasution, Dewi Irawan, Oka Antara
(2011)
Diteruskan oleh:
Tanah Surga... Katanya
(2012)