Alkitab Ibrani meriwayatkan beberapa perjanjian (bahasa Ibrani: בְּרִית, bĕrit) yang diikat Allah (Yahweh) dengan makhluk-Nya, misalnya Perjanjian Nuh yang diikat Allah dengan sekalian makhluk hidup, maupun perjanjian-perjanjian yang lebih khusus dengan Abraham, dengan bani Israel, dengan imam-imam bani Israel, dan dengan wangsa Daud. Dari segi susunan maupun peristilahannya, perjanjian-perjanjian tersebut mencerminkan akad-akad yang lumrah di dunia kuno.
Istilah Ibrani untuk perjanjian, בְּרִית (bĕrit), berasal dari akar kata yang mengandung makna "potong", karena kesepakatan atau perjanjian diikat dengan cara berjalan melewati potongan-potongan daging hewan kurban.[1]
Ada dua ragam utama perjanjian di dalam Alkitab Ibrani, yaitu ragam mewajibkan dan ragam menyanggupi.[2] Ragam mewajibkan tampak pada perjanjian-perjanjian bangsa Het, dan mengatur hubungan di antara dua belah pihak yang sederajat. Ragam menyanggupi tampak pada perjanjian-perjanjian yang diikat Allah dengan Abraham dan Daud, dan secara khusus mengatur hubungan antara pihak yang lebih mulia derajatnya dengan pihak yang lebih rendah derajatnya, kurang lebih sama dengan piagam "anugerah raja", yang memuat prakata kesejarahan, batasan, stipulasi, saksi, berkat, dan kutuk. Di dalam piagam-piagam anugerah, raja dapat saja memberi anugerah kepada abdinya sebagai pahala bakti. Allah menganugerahkan pahala kepada Abraham, Nuh, dan Daud di dalam perjanjian-perjanjian yang diikat-Nya dengan mereka.[3] Di dalam perjanjian dengan Abraham, Allah mewajibkan diri-Nya untuk menjadikan keturunan Abraham sebagai umat pilihan-Nya dan menjadikan diri-Nya sebagai sembahan mereka. Selaku pihak yang lebih mulia derajatnya, Allah menjalankan laku wajib yang menyertai tindakan bersumpah dengan melibatkan pemanfaatan api atau hewan dalam pengikraran sumpah kurban. Dengan bertindak demikian, Allah menjadi pihak yang akan menanggung kutuk apabila tidak menunaikan kewajiban. Sepanjang sejarah, pihak yang lebih rendah derajatnya sering pula menjadi pihak yang menjalankan berbagai macam laku tertentu, dan dengan demikian menjadi pihak penanggung kutuk.[4]
Peristilahan perjanjian
Weinfeld yakin bahwa kemiripan peristilahan dan kata-kata dapat menjadi mata rantai yang menghubungkan Perjanjian Abraham maupun Perjanjian Daud dengan piagam-piagam anugerah Timur Dekat Kuno, alih-alih sangat mirip Perjanjian Musa, yang menurut Weinfeld merupakan salah satu contoh kesepakatan suzerenitas. Bagi Weinfeld, frasa-frasa seperti bertindak dengan "segenap hati" atau "mengikuti-Ku dengan segenap hatinya" sangat paralel dengan ungkapan-ungkapan khas piagam anugerah Kemaharajaan Asyur Baru, misalnya "mengiringi raja". Ia mengemukakan pula bahwa di dalam Kitab Yeremia, Allah menggunakan metafora khas nubuat untuk mengatakan bahwa Daud akan diangkat menjadi anak. Menjelaskan hubungan hukum dan politik dengan menggunakan istilah-istilah kekeluargaan merupakan hal yang lumrah di dalam perabadan-perabadan Timur Dekat. Penggunaan istilah "ayah" dan "anak" menyangkut urusan pemberian anugerah di dalam akad-akad Babel sesungguhnya mengungkapkan hubungan antara seorang raja dengan abdinya.[5]
Unsur lain yang melandasi gagasan bahwa perjanjian-perjanjian tersebut pada hakikatnya adalah pemberian anugerah adalah kesamaan gaya bahasanya. Di dalam piagam anugerah Asyurbanipal, seorang bumiputra Asyur, kepada abdinya yang bernama Bulta, Asyurbanipal menyifatkan kesetiaan Bulta dengan frasa "memelihara kewajibannya kepada kaum keluargaku". Di dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa Abraham juga memelihara kewajibannya kepada Allahː[6]
"Aku akan membuat banyak keturunanmu seperti bintang di langit; Aku akan memberikan kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku."
Menurut Mendenhall, berbagai rongrongan dari luar mendorong suku-suku bani Israel untuk bersatu padu membentuk sebuah negara monarki demi mencapai stabilitas dan solidaritas. Ia mengemukakan pula bahwa pada masa konsolidasi, negara baru tersebut harus pula menyatupadukan tradisi-tradisi keagamaan dari berbagai kelompok yang berbeda-beda demi mencegah timbulnya keberatan dari pihak-pihak yang percaya bahwa pembentukan negara akan menggeser pemerintahan Allah yang diselenggarakan secara langsung. Oleh karena itu, menurut Mendenhall, suku-suku bani Israel yang bersekutu secara longgar itu pun bersatu di bawah payung Perjanjian Musa untuk melegitimasi kebersatuan mereka. Mereka percaya bahwa taat kepada hukum berarti taat kepada Allah. Mereka juga percaya bahwa raja berdaulat karena diperkenankan Allah, dan keistimewaan tersebut merupakan penggenapan janji Allah kepada Daud untuk menjadikan keturunannya sebagai wangsa penguasa Israel. Mendenhall mengemukakan pula bahwa ada konflik yang menyeruak di antara pihak-pihak yang meyakini Perjanjian Daud dan pihak-pihak yang yakin tidak selamanya Allah akan mendukung semua tindakan negara. Akibatnya, kedua belah pihak menjadi relatif berseberangan, dan Perjanjian Daud maupun Perjanjian Musa nyaris sepenuhnya dilupakan.[7]
Perjanjian-perjanjian di dalam Alkitab
Jumlah perjanjian di dalam Alkitab
Para mengkaji Alkitab berbeda pendapat tentang berapa banyak perjanjian utama yang diikat (atau pernah diikat) Allah dengan umat manusia. Angka yang diusulkan berkisar antara satu sampai sekurang-kurangnya dua belas (untuk informasi lebih lanjut tentang pendapat-pendapat utama, baca artikel teologi perjanjian dan dispensasionalisme). Sebagian sarjana mengusulkan dua klasifikasi saja, yaitu perjanjian menyanggupi dan perjanjian hukum. Perjanjian menyanggupi melibatkan sumpah yang diikrarkan Allah, yakni sabda janji alih-alih sabda perintah, sementara perjanjian hukum dikenal di dalam Alkitab dengan sebutan "hukum".[8]
Nuh dan anak-anaknya kemudian diperintahkan untuk beranak pinak, tidak menumpahkan darah manusia (membunuh), lantaran manusia diciptakan menurut citra Allah. Umat Yahudi dilarang menyantap daging yang masih ada darahnya (Kejadian 9:4), tetapi Bani Nuh Nuhidi dibenarkan menyantap darah satwa hidup (Musa bin Maimum, Hukum Raja dan Perang, Bab IX Pasal 10).
Perjanjian yang termaktub di dalam Kejadian 12-17 bab 12 sampai 17 Kitab Kejadian dikenal dengan sebutan "Brit bein Habetarim" (perjanjian di antara belahan-belahan) dan merupakan dasar brit milah (perjanjian sunat) di dalam agama Yahudi. Perjanjian ini diperuntukkan bagi Abraham beserta anak-cucunya,[10] baik anak-cucu kandung maupun anak-cucu angkat.[11]
Kitab Kejadian bab 12 sampai bab 17 memuat tiga perjanjian yang dapat dibedakan berdasarkan tiga sumber berbeda, yaitu sumber Yahwis, sumber Elohis, dan sumber sumber Imamat.[12] Diriwayatkan di dalam Kitab Kejadian bab 12 dan 15 bahwa Allah menganugerahkan tanah kepada Abraham dan keturunannya yang tidak terbilang banyaknya itu, tetapi tidak menetapkan satu pun stipulasi (artinya penganugerahan tanah tersebut dilakukan tanpa syarat) atas Abraham demi penggenapan perjanjian tersebut.
Di lain pihak, Kitab Kejadian bab 17 justru memuat perjanjian sunat yang bersyaratː
Janji untuk membuat Abraham menjadi sebuah bangsa yang besar, memberkati Abraham dan memasyhurkan namanya sehingga ia akan menjadi berkat, memberkati orang-orang yang memberkatinya serta melaknat orang-orang yang melaknatnya, dan semua orang di muka bumi akan diberkati melalui Abraham (Kejadian 12:1–3).
Janji untuk membuat Abraham menjadi leluhur banyak bangsa dan banyak keturunan, serta janji untuk menganugerahkan "seluruh negeri Kanaan" kepada keturunannya (Kejadian 17:2–9). Khitan akan menjadi tanda permanen dari perjanjian kekal ini dengan Abrahan beserta keturunan laki-lakinya, dan disebut "brit milah" (Kejadian 17:9–14).
Perjanjian-perjanjian pada zaman Alkitabiah acap kali disahkan dengan menyembelih seekor hewan, dengan implikasi bahwa pihak yang melanggar perjanjian tersebut akan menanggung nasib yang sama dengan hewan yang disembelih. Kata kerja Ibrani yang bermakna mengesahkan perjanjian secara harfiah berarti "memotong". Alim-ulama Yahudi mendalilkan bahwa tindakan mengerat kulup melambangkan pengesahan perjanjian semacam itu.[13]
Menurut Weinfeld, perjanjian Abraham merupakan suatu perjanjian penganugerahan, yakni perjanjian yang mengikat pihak atasan. Perjanjian semacam ini mengatur kewajiban majikan kepada abdinya, dan melibatkan hadiah-hadiah yang diberikan kepada orang-orang pribadi yang setia mengabdi kepada majikan mereka. Dalam perjanjian Allah dengan Abraham yang termuat di dalam bab 15 Kitab Kejadian, Allah adalah pihak atasan yang membulatkan tekad dan bersumpah untuk memegang janji. Di dalam perjanjian tersebut ada prosedur pengambilan sumpah, yang melibatkan tanur berasap dan obor yang bernyala-nyala. Ada banyak kemiripan di antara bab 15 Kitab Kejadian dengan wasiat Abba-El. Di dalam bab 15 Kitab Kejadian maupun wasiat Abba-El, pihak atasanlah yang bersumpah. Selain itu, sumpah di dalam bab 15 Kitab Kejadian maupun wasiat Abba-El melibatkan situasi di mana pihak bawahan yang menyiapkan hewan kurban dan pihak atasan yang bersumpah.
Perjanjian Abraham adalah bagian dari suatu tradisi kurban pengesahan perjanjian yang dapat ditelusuri jejak sejarahnya sampai ke milenium ketiga Pramasehi. Hewan yang disembelih di dalam bab 15 Kitab Kejadian dianggap sebagai persembahan kurban. Perjanjian Abraham inilah yang melanggengkan unsur kurban berikut laku simbolis.[4]
Perjanjian Musa adalah perjanjian Allah dengan Musa dan bani Israel di Horeb-Sinai. Perjanjian ini termaktub di dalam Keluaran 19-24 bab 19 sampai bab 24 Kitab Keluaran maupun di dalam Kitab Ulangan, dan berisi asas-asas Taurat tulis. Di dalam perjanjian ini, Allah berjanji untuk membuat bani Israel menjadi milik pusaka-Nya di antara segala bangsa (Keluaran 19:5), serta menjadi "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Keluaran 19:6), jika mematuhi perintah-perintah-Nya. Sebagai bagian dari persyaratan perjanjian ini, Allah memberikan Dasatitah kepada Musa (Keluaran 24ː8). Dasatitah selanjutnya diperkaya atau dibabarkan di dalam isi Taurat selebihnya. Untuk mengesahkan perjanjian tersebut, darah kurban lembu jantan dipercikkan ke atas mezbah dan ke atas umat Israel.
Terlepas dari tujuan keagamaannya, Perjanjian Musa juga bersifat politis. Perjanjian ini menjadikan Israel sebuah bangsa yang kudus, milik istimewa Allah (Keluaran 19ː5–6), lengkap dengan pelindung dan gembala khusus, yakni Yahweh atau El-Elyon.[14]
Format perjanjian ini memperlihatkan ciri-ciri kesepakatan suzerenitas di Timur Dekat Kuno.[15] Sama seperti kesepakatan suzerenitas, Dasatitah diawali dengan identifikasi Yahweh dan jasa-Nya bagi Israel ("yang membawa engkau keluar dari Tanah Mesir"; Keluaran 20ː2) serta stipulasi-stipulasi yang menuntut kesetiaan mutlak ("jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku"). Berbeda dari kesepakatan suzerenitas, Dasatitah tidak melibatkan saksi maupun berkat dan laknat yang dinyatakan secara terbuka.[16] Perjanjian Musa diriwayatkan secara utuh di dalam Kitab Ulangan.
Allah menganugerahkan Sabat kepada bani Israel sebagai tanda peringatan permanen dari perjanjian tersebut (Keluaran 31:12–17).
Perjanjian Imam[17] (bahasa Ibrani: ברית הכהונה, brit hakehuna) adalah perjanjian yang diikat Allah dengan Harun beserta keturunannya, yakni imam-imam bani Harun, sebagaimana didapati di dalam Alkitab Ibrani maupun Taurat Lisan. Alkitab Ibrani juga meriwayatkan perjanjian lain yang diikat dengan para imam, yakni dengan Pinehas beserta keturunannya.[18][19]
Allah mengikat perjanjian terkait daulat raja dengan Daud (2 Samuel 7). Allah berjanji untuk mengukuhkan takhta kerajaannya sampai selama-lamanya, sembari mengakui bahwa janji-janji perjanjian daulat raja sudah sejak semula diberikan kepada bapa leluhur segenap bangsa Israel, yakni Abraham.
Loh-loh Dasatitah disimpan di dalam Tabut Perjanjian, dan menjadi lambang bangsa Israel maupun kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Itulah sebabnya ketika Raja Daud hendak menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota pemerintahannya, ia memindahkan Tabut Perjanjian ke kota itu (2 Samuel 6).
"Gambaran perjanjian inilah yang mewarnai sebagian besar pemahaman kita tentang perjanjian di dalam Perjanjian Lama. Di dalam ungkapan 'Hukum dan Injil', perjanjian ini merepresentasikan perjanjian lama hukum [Musa] yang ditandingkan dengan perjanjian baru injil [Yesus Kristus]. Tetapi perjanjian yang lebih tua daripada perjanjian Musa adalah perjanjian daulat raja [yang diikat dengan Abrahan dan dilanjutkan melalui Daud], yang menjanjikan stabilitas bagi rajawangsa."[14]
Teolog Kristen, John F. Walvoord, berpendapat bahwa perjanjian Daud layak diberi kedudukan penting di dalam ikhtiar menyelidiki maksud-maksud Allah, dan bahwa eksegesisnya mengukuhkan doktrin pemerintahan Kristus di atas bumi kelak.[20] Meskipun para teolog Yahudi senantiasa beranggapan bahwa Yesus tidak memiliki keistimewaan-keistimewaan yang diharapkan dari seorang mesias Yahudi, hampir semua teolog Alkitabiah (harfiah secara ketatabahasaan yang bersejarah) Dispensasional sepakat bahwa Yesus akan sepenuhnya menggenapi perjanjian Daud, yang menurut Walvoord terdiri atas pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Daud akan dianugerahi seorang anak, yang belum lahir saat janji itu diberikan, yang kelak menggantikannya dan mengukuhkan kerajaannya.
Putranyalah (Salomo) yang akan membangun Bait Allah, bukan Daud.
Tahta kerajaannya akan kukuh selama-lamanya.
Takhtanya tidak akan dirampas dari padanya (Salomo) sekalipun dosa-dosanya patut diganjar hukuman.
Wangsa, takhta, dan kerajaan Daud akan kukuh selama-lamanya (2 Samuel 7:16).[20]
Umat Kristen pada umumnya percaya bahwa Perjanjian Baru ditetapkan pada pelaksanaan Perjamuan Terakhir sebagai bagian dari Ekaristi, yang menurut Injil Yohanes mencakup Perintah Baru.[21]
Keterkaitan Darah Kristus dengan Perjanjian Baru tersebut tampak pada nas "cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu".[22]
Umat Kristen mengimani Yesus sebagai perantara Perjanjian Baru ini, dan bahwasanya darahnya yang tumpah saat disalibkan adalah darah yang diperlukan untuk mengesahkan perjanjian tersebut. Sebagaimana semua perjanjian antara Allah dan manusia yang diriwayatkan di dalam Alkitab, Perjanjian Baru pun dianggap sebagai "suatu ikatan dengan darah yang dikerjakan Allah selaku pihak yang lebih tinggi derajatnya".[23] Diteorikan bahwa Perjanjian Baru adalah Hukum Kristus yang disampaikan Yesus dalam Khotbah di Atas Bukit.[24]
Dalam konteks Kristen, Perjanjian Baru ini dihubung-hubungkan dengan kata wasiat, dalam arti 'surat tinggalan orang yang sudah wafat' berisi petunjuk-petunjuk pewarisan harta benda (bahasa Latin: testamentum).[25] Kata Yunani yang digunakan di dalam Alkitab adalah diateke (διαθήκη),[26] dan dalam konteks Yunani semata-mata berarti 'surat wasiat', nyaris tidak mengandung makna 'perjanjian' atau 'kesepakatan'.[27] Kenyataan ini menyiratkan adanya tafsir-ulang atas pandangan tentang perjanjian di dalam Alkitab Perjanjian Lama, sehingga terkesan memiliki ciri-ciri 'surat wasiat' di dalam teologi Kristen dan lumayan menggugah minat kaji para pakar Alkitab maupun teolog.[28] Alasannya dikaitkan dengan terjemahan kata Ibrani untuk perjanjian, brit (בְּרִית), di dalam Septuaginta.
Pandangan Islam
Perjanjian Musa lebih dari sekali disebutkan di dalam Quran[29][30][31][32] sebagai peringatan kepada orang-orang Yahudi, termasuk dua suku Yahudi di Madinah pada masa hidup Muhammad. Ayat-ayat tersebut juga menyebutkan perintah-perintah tertentu di dalam Dasatitah serta menegur umat Yahudi lantaran tidak menghormatinya dan bahkan menganiaya nabi-nabi - sebagian mereka dustakan, dan sebagian yang lain mereka bunuh - [Qur'anAn-Nisa’:155][Qur'anAl-Ma’idah:70] sekalipun mereka sudah berjanji untuk memelihara perintah-perintah tersebut pada saat diturunkan kepada mereka.
^ abWeinfeld, M. (1970). "The Covenant of Grant in the Old Testament and in the Ancient near East". Journal of the American Oriental Society. 90 (2): 196–199. doi:10.2307/598135. JSTOR598135.
^Weinfeld, M. (April–June 1970). "The Covenant of Grant in the Old Testament and in the Ancient near East". American Oriental Society. 90 (2): 186–188.
^Mendenhall, George E. (September 1954). "Covenant Forms in Israelite Tradition". The Biblical Archaeologist. New Haven, Conn.: The American Schools of Oriental Research. 17 (3): 70–73. doi:10.2307/3209151. JSTOR3209151.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kejadian 17:11–13 Haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu. Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu. Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal.
^Michael D. Coogan, A Brief Introduction to the Old Testament, (Oxford: Oxford University Press, 2009), 62–68
^"Circumcision." Mark Popovsky. Encyclopedia of Psychology and Religion. Penyuntingː David A. Leeming, Kathryn Madden, dan Stanton Marlan. New York: Springer, 2010. hlmn. 153–154.
^Kline, Meredith. "Deuteronomy". The Zondervan Pictorial Bible Dictionary
^Michael D. Coogan, "A Brief Introduction to the Old Testament" halaman 103, Oxford University Press, 2009
^Qumran and Jerusalem: studies in the Dead Sea scrolls hlm. 248 Lawrence H. Schiffman – 2010 Perjanjian imam ini juga digemakan puisi di dalam 1QM 17:2–3 yang menyebut-nyebut tentang perjanjian imam yang kekal. ... Bilangan 18:19).57 Bahwa sesungguhnya “perjanjian garam”, ungkapan alkitabiah yang mengisyaratkan suatu perjanjian yang bersifat permanen,58 adalah menjadi ...
^Ensiklopedia Yahudi: Pinehas: "...atas tindakan ini ia mendapat perkenanan Allah dan dianugerahi janji ilahi bahwa jabatan imam akan diemban keluarganya sampai selama-lamanya (Bilangan xxv. 7–15)."
^Ensiklopedia Yahudi: Perjanjian: "Istilah "berit" ... terutama mengacu kepada perjanjian yang diikat Allah dengan Israel, maupun yang diikat Allah dengan Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Harun, Pinehas, dan Daud (Derek Ereẓ Zuṭa, i., end)."
^Definisi perjanjian ini berasal dari buku The Christ of the Covenants karangan O. Palmer Robertson, dan sudah menjadi definisi yang berterima di kalangan sarjana modern. Baca tinjauan kristis atas buku ini oleh Dr. C. Matthew McMahon.
^George R. Law, "The Form of the New Covenant in Matthew," American Theological Inquiry 5:2 (2012).
Paul Fiddes (1985). 'Covenant – Old and New', dalam P. Fiddes, R. Hayden, R. Kidd, K. Clements, dan B. Haymes, Bound to Love: The Covenant Basis of Baptist Life and Mission, hlmn. 9–23. London: Baptist Union.
Truman G. Madsen dan Seth Ward (2001). Covenant and Chosenness in Judaism and Mormonism. Fairleigh Dickinson University Press. ISBN0-8386-3927-5.