Obat psikoaktif

Berbagai macam obat/zat psikoaktif, baik untuk tujuan rekreasi maupun medis:

Obat psikoaktif, psikoaktiva, zat adiktif, atau narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya[1]) adalah zat kimia yang dapat mengubah fungsi otak dan sistem saraf, serta mengakibatkan perubahan persepsi, suasana hati, kesadaran, kognisi, atau perilaku.[2] Istilah psikotropika dapat digunakan untuk mengganti kata obat psikoaktif, meski peraturan perundang-undangan mendefinisikannya secara sempit dengan menetapkan psikotropika diatur terpisah dari narkotika. Obat-obatan ini dapat digunakan untuk tujuan medis; rekreasi; untuk meningkatkan kinerja atau mengubah kesadaran; sebagai enteogen untuk tujuan ritual, spiritual, atau perdukunan;[3] atau untuk penelitian, termasuk terapi psikedelis. Dokter dan praktisi kesehatan lainnya meresepkan obat psikoaktif dari beberapa kategori untuk tujuan terapeutik.[4] Termasuk di dalamnya adalah obat anestesi, analgesik, antikonvulsan, dan antiparkinson serta obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan neuropsikiatri, seperti antidepresan, ansiolitik, antipsikotik, dan stimulan. Beberapa obat psikoaktif mungkin digunakan dalam program detoksifikasi dan rehabilitasi bagi orang yang ketergantungan terhadap obat psikoaktif lainnya.[5][6]

Narkoba umumnya dikonotasikan pada obat psikoaktif yang dilarang diperdagangkan bebas oleh pemerintah nasional. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah napza yang merupakan singkatan dari "narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".

Obat psikoaktif sering kali menimbulkan perubahan subjektif pada kesadaran dan suasana hati (meski dapat diamati secara objektif) yang dapat dianggap bermanfaat dan menyenangkan (misalnya, euforia atau rileks) atau menguntungkan dalam cara yang dapat diamati atau diukur secara objektif (misalnya meningkatnya kewaspadaan), sehingga efeknya bersifat memperkuat hingga tingkat yang berbeda-beda.[7] Obat-obatan yang memberikan manfaat dan menimbulkan penguatan memiliki potensi untuk menimbulkan kecanduan – penggunaan obat-obatan secara kompulsif meskipun ada konsekuensi negatifnya.[8] Selain itu, penggunaan obat dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan fisik, psikologis, atau keduanya, yang disertai dengan gejala putus obat (sakaw) secara fisik atau psikologis.[8] Rehabilitasi narkoba berupaya mengurangi kecanduan melalui kombinasi psikoterapi, dukungan, ataupun bantuan obat psikoaktif lain. Sebaliknya, obat-obatan psikoaktif tertentu mungkin menimbulkan ketidaknyamanan sehingga orang tersebut tidak akan pernah menggunakan obat itu lagi. Hal ini khususnya berlaku untuk beberapa delirian (misalnya kecubung pendek), disosiativa kuat (misalnya Salvia divinorum), dan zat psikedelia (misalnya LSD atau psilosibin).

Penyalahgunaan, ketergantungan, dan kecanduan narkoba sering kali menjadi persoalan hukum dan moral.[9] Kontrol pemerintah terhadap produksi, distribusi, dan resep bertujuan untuk mengurangi penggunaan obat-obatan medis yang bermasalah; upaya di seluruh dunia untuk memerangi perdagangan narkoba umumnya disebut sebagai "perang melawan narkoba". Kekhawatiran etis juga muncul mengenai penggunaan obat-obatan ini secara berlebihan di klinik dan mengenai pemasarannya oleh produsen.[10] Sebaliknya, kampanye untuk mendekriminalisasi[11] atau melegalkan penggunaan narkoba misalnya untuk tujuan medis khusus (seperti ganja) juga sedang berlangsung.

Sejarah

Penggunaan obat psikoaktif dapat ditelusuri hingga ke zaman prasejarah. Bukti arkeologis mengenai penggunaan obat psikoaktif, terkhusus dari tanaman, sudah ada sejak 10.000 tahun yang lalu; bukti sejarah menunjukkan penggunaan dalam kebudayaan sudah ada sejak 5.000 tahun yang lalu.[12] Terdapat bukti arkeologis mengenai kebiasaan mengunyah daun koka di kalangan masyarakat Peru 8.000 tahun yang lalu.[13][14]

Zat-zat ini telah digunakan sebagai obat sekaligus pengubah kesadaran. Perubahan kesadaran mungkin merupakan akibat utama, mirip dengan kebutuhan untuk memuaskan lapar, dahaga, atau hasrat seksual.[15] Hal ini dapat terlihat dari sejarah panjang penggunaan narkoba, dan bahkan ditujukan kepada anak-anak untuk bergerak aktif, yang menunjukkan bahwa keinginan untuk mengubah kondisi pikiran seseorang adalah sesuatu yang universal.[16]

Pada abad ke-20, banyak negara awalnya menanggapi keberadaan narkoba dengan melarang produksi, distribusi, atau penggunaan melalui kriminalisasi.[butuh rujukan] Contoh penting terjadi pada pengesahan undang-undang tentang larangan minuman beralkohol di Amerika Serikat, yang membuat alkohol menjadi ilegal selama 13 tahun. Dalam beberapa dekade terakhir, muncul perspektif di kalangan pemerintah dan penegak hukum yang menyatakan bahwa penggunaan narkoba tidak dapat dihentikan melalui larangan.[butuh rujukan] Salah satu organisasi yang memiliki pandangan tersebut, Law Enforcement Against Prohibtion (LEAP), menyimpulkan bahwa "[untuk] memerangi narkoba, pemerintah telah meningkatkan masalah masyarakat dan membuatnya jauh lebih buruk. Penetapan regulasi untuk mengatur peredarannya, alih-alih pelarangan, adalah kebijakan publik yang kurang berbahaya, lebih etis dan lebih efektif." [17][Verifikasi gagal]

Di beberapa negara, telah terjadi gerakan penanggulangan bahaya, dengan penyalahgunaan narkoba tidak lagi dicela maupun dianjurkan, tetapi melalui penyediaan layanan untuk memastikan pengguna memiliki informasi faktual yang memadai dan tersedia, serta mengupayakan untuk meminimalkan dampak negatif dari penggunaannya. Hal serupa juga terjadi pada kebijakan dekriminalisasi narkoba di Portugal, dengan tetap menanggulangi dampak buruk penyalahgunaan narkoba terhadap kesehatan.[18]

Terminologi

Psikoaktiva dan psikotropika kerap kali digunakan secara bergantian dalam dokumen umum dan akademis, untuk menggambarkan zat yang bekerja pada otak guna mengubah kognisi dan persepsi; tetapi ada juga yang membedakan. Dalam definisi yang sempit, psikotropika mengacu pada obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan mental, seperti obat penenang ansiolitik, antidepresan, antimanik, dan neuroleptik. Penggunaan lain dari istilah psikotropika mengacu pada obat-obatan dengan berpotensi disalahgunakan, termasuk stimulan, halusinogen, opioid, dan obat penenang/hipnotik termasuk alkohol. Dalam pengawasan peredaran narkoba internasional, psikotropika mengacu pada obat-obatan yang disebutkan dalam Konvensi Psikotropika, yang bukan narkotika.[19]

Kata drug dan medicine dalam bahasa Inggris sama-sama dimaknai sebagai "obat", tetapi memiliki dua makna yang berlawanan. Drug merupakan konotasi negatif, sering dikaitkan dengan obat-obatan terlarang (narkoba) seperti kokain atau heroin.[20]

"Obat psikoaktif baru" adalah kategori obat psikoaktif yang dirancang untuk meniru efek narkoba yang ditetapkan sebagai ilegal, biasanya dalam upaya untuk menghindari undang-undang narkoba yang ada.[21]

Jenis

Narkoba/obat psikoaktif dibagi menurut efek farmakologisnya. Subtipe umum meliputi:

  • Anksiolitika digunakan secara medis untuk mengurangi gejala kecemasan, dan kadang-kadang insomnia.
Contoh: benzodiazepin seperti xanax dan valium; barbiturat
  • Empatogen–entaktogen mengubah keadaan emosional, yang sering kali menghasilkan peningkatan rasa empati, kedekatan, dan komunikasi emosional.
Contoh: MDMA (ekstasi), MDA, 6-APB, AMT
  • Stimulan meningkatkan aktivitas sistem saraf pusat. Stimulan dapat meningkatkan kewaspadaan, perhatian, kognisi, suasana hati, dan kinerja fisik. Beberapa stimulan diresepkan secara medis untuk mengobati individu dengan ADHD dan narkolepsi.
Contoh: amfetamin, kafein, kokain, nikotin
  • Depresan mengurangi, atau menekan, aktivitas dan rangsangan pada sistem saraf pusat. Kategori ini meliputi spektrum zat dengan sifat sedatif, soporifik, dan anestesi, dan termasuk di antaranya obat penenang, hipnotik, dan opioid.
Contoh: etanol (alkohol), opioid seperti morfin, fentanil, dan kodein, ganja, barbiturat, dan benzodiazepin.
  • Halusinogen, termasuk psikedelika, disosiativa dan delirian, meliputi zat-zat yang menghasilkan perubahan yang jelas dalam persepsi, sensasi ruang dan waktu, dan kondisi emosional.[22]
Contoh psikedelia: Psilocybin, LSD, DMT (N,N-Dimethyltryptamine), meskalin
Contoh disosiativa: Dekstrometorfan, Salvia divinorum
Contoh obat delirium: Datura, skopolamin

Penggunaan

Penggunaan zat psikoaktif sangat bervariasi menurut asal budaya. Ada zat psikoaktif yang bebas beredar, diawasi, maupun dilarang. Beberapa di antaranya diperuntukkan bagi praktik perdukunan, maupun sebagai obat. Termasuk minuman sosial, suplemen nootropik, dan obat tidur. Kafein adalah zat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi di dunia, legal, dan tidak diregulasi di hampir semua wilayah hukum; di Amerika Utara, 90% orang dewasa mengonsumsi kafein setiap hari.[23]

Gangguan mental

Zoloft (sertralin) adalah antidepresan SSRI .

Obat psikiatrik adalah golongan obat psikoaktif yang diresepkan untuk menangani gangguan mental dan emosional, atau untuk membantu mengatasi perilaku yang menantang.[24] Ada enam kelas utama obat-obatan psikiatris:

Beberapa obat psikoaktif juga digunakan untuk mengobati berbagai kecanduan. Obat-obatan ini termasuk akamprosat atau naltrekson dalam pengobatan alkoholisme, atau terapi metadon atau buprenorfin dalam kasus kecanduan opioid.[26]

Otak yang terpapar obat-obatan psikoaktif dapat menyebabkan perubahan, baik meningkatkan atau melawan efeknya; dan dapat bermanfaat maupun berbahaya. Namun, terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan gangguan mental berkorelasi negatif dengan lamanya pengobatan sesuai dosis yang diresepkan (dengan kata lain, tingkat kekambuhan menurun secara signifikan seiring berjalannya waktu), dan jauh lebih besar dibandingkan dengan plasebo.[27]

Militer

Obat-obatan yang digunakan oleh militer

Sejumlah lembaga militer pernah atau sedang menggunakan berbagai obat psikoaktif untuk mengobati rasa sakit dan meningkatkan kinerja prajurit dengan menahan rasa lapar, meningkatkan kemampuan untuk bertahan di saat tidak ada atau kekurangan makanan, meningkatkan dan memperpanjang kewaspadaan dan konsentrasi, menekan rasa takut, mengurangi empati, dan meningkatkan refleks dan ingatan.[28][29]

Baik pejabat intelijen sipil maupun militer Amerika diketahui menggunakan obat psikoaktif saat menginterogasi tawanan yang ditangkap dalam "perang melawan teror" . Pada Juli 2012, Jason Leopold dan Jeffrey Kaye, psikolog dan pekerja hak asasi manusia, menyatakan bahwa penggunaan obat psikoaktif selama interogasi adalah praktik yang sudah berlangsung lama. Sejak tawanan pertama kali dibebaskan, baik yang sedang maupun pernah ditawan, telah melaporkan adanya staf medis yang bekerja sama dengan interogator untuk membius tawanan dengan obat psikoaktif dengan dosis kuat sebelum diinterogasi. Pada Mei 2003, tawanan Pakistan yang baru dibebaskan, Sha Mohammed Alikhel, menjelaskan penggunaan berkala obat psikoaktif. Ia mengatakan bahwa Jihan Wali, seorang tawanan yang ditahan di sel tahanan yang bersebelahan, menjadi katatonis akibat penggunaan obat-obatan tersebut.[butuh rujukan]

Alkohol telah lama dikaitkan dengan penggunaan dalam militer, dan disebut sebagai "cairan para pemberani" karena berperan penting untuk mempersiapkan pasukan untuk berperang, membius prajurit yang terluka, dan merayakan kemenangan. Alkohol juga berfungsi sebagai mekanisme penanggulangan stres pascatempur dan bahan dekompresi dari perang ke kegiatan harian. Namun, ketergantungan terhadap alkohol dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental.[30]

Kasus pertama yang tercatat mengenai prajurit overdosis metamfetamin selama pertempuran adalah Kopral Aimo Koivunen, seorang prajurit Finlandia yang bertempur dalam Perang Musim Dingin dan Perang Kelanjutan.[31]

Obat psikoaktif banyak digunakan dalam aplikasi militer sebagai senjata tidak mematikan.

Pereda nyeri

Obat psikoaktif sering diresepkan untuk meredakan nyeri . Pengalaman subjektif nyeri terutama diatur oleh peptida opioid endogen. Dengan demikian, nyeri dapat diatasi dengan menggunakan obat psikoaktif yang bekerja pada sistem neurotransmiter, yang juga dikenal sebagai agonis reseptor opioid. Kelas obat ini dapat menyebabkan ketergantungan, dan termasuk narkotika opiat, seperti morfin dan kodein.[32] Antiperadangan nonsteroid, seperti aspirin dan ibuprofen, juga merupakan analgesik. Zat ini juga mengurangi peradangan yang dimediasi eikosanoid dengan menghambat enzim siklooksigenase.

Anestesi

Anestesi generik adalah golongan obat psikoaktif yang digunakan pada orang untuk menghambat rasa sakit fisik dan sensasi lainnya. Kebanyakan obat bius menyebabkan ketidaksadaran, sehingga memungkinkan seseorang menjalani prosedur medis seperti operasi, tanpa merasakan nyeri atau trauma.[33] Untuk menimbulkan ketidaksadaran, obat bius memengaruhi sistem GABA dan NMDA. Misalnya, Propofol adalah agonis GABA,[34] dan ketamin adalah antagonis reseptor NMDA.[35]

Peningkatan kinerja

Obat penambah kinerja[36] adalah zat yang digunakan untuk meningkatkan kinerja aktivitas apa pun pada manusia. Contoh kecurangan olahraga yang terkenal adalah doping, yang dilarang digunakan oleh olahragawan dan binaragawan. Zat-zat peningkat kinerja atletik terkadang disebut sebagai zat ergogenik.[37][38] Obat peningkat kinerja kognitif, yang biasa disebut nootropik,[39] terkadang digunakan oleh siswa untuk meningkatkan kinerja akademis. Obat peningkat kinerja juga digunakan oleh personel militer untuk meningkatkan kinerja tempur.[40]

Rekreasi

Konsumsi alkohol per kapita global telah menunjukkan penurunan sejak abad ke-20, yang menunjukkan adanya pergeseran ke arah upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan

Zat psikoaktif banyak digunakan karena mampu suasana hati dan persepsi, termasuk zat yang penggunaannya diterima dalam bidang kedokteran dan psikiatri. Contoh zat psikoaktif antara lain kafein, alkohol, kokain, LSD, nikotin, ganja, dan dekstrometorfan.[41] Kelas obat-obatan yang sering digunakan untuk "pengobatan rekreasi" meliputi:

  • Stimulan, yang mengaktifkan sistem saraf pusat . Ini digunakan secara rekreasi karena efek euforianya.
  • Halusinogen (psikedelia, disosiativa, dan delirium), yang menyebabkan perubahan persepsi dan kognitif.
  • Hipnotik, yang menekan sistem saraf pusat.
  • Analgesik opioid, yang juga menekan sistem saraf pusat. Ini digunakan secara rekreasi karena efek euforianya.
  • Inhalan, dalam bentuk aerosol gas, atau pelarut, yang dihirup sebagai uap karena efeknya yang membius. Banyak zat inhalasi juga termasuk dalam kategori di atas (seperti dinitrogen monoksida yang juga merupakan analgesik).

Dalam kebudayaan mulai dari kuno hingga modern, beberapa narkoba dipandang sebagai simbol status sosial. Narkoba seringkali diasosiasiakan sebagai benda yang banyak muncul kelab malam dan pesta.[42] Sementara itu, di Mesir kuno, dewa-dewi Mesir sering digambarkan sedang memegang tanaman halusinogen.[43]

Karena munculnya kontroversi mengenai regulasi narkoba, terdapat perdebatan yang sedang berlangsung mengenai pelarangannya. Para pengkritik larangan narkoba percaya bahwa pengaturan penggunaan narkoba dapat pelanggaran terhadap kebebasan hak-hak pribadi. [44] Di Amerika Serikat, para kritikus menyatakan bahwa pelarangan dan pengaturan narkoba mungkin melanggar konstitusi dan menyebabkan lebih banyak kerugian daripada pencegahannya..[45]

Orang yang mengonsumsi narkoba mengalami psikosis yang disebabkan oleh obat. Murrie et al. (2019) menyebut dalam tinjauan sistematisnya bahwa proporsi gabungan transisi dari psikosis yang menimbulkan skizofrenia adalah 25% (95% CI 18%–35%), dibandingkan dengan 36% (95% CI 30%–43%) untuk psikosis singkat, atipikal, dan tidak ditentukan lain.[46] Jenis obat menjadi prediktor utama transisi psikosis menuju skizofrenia, dengan tingkat tertinggi ada pada ganja (6 penelitian, 34%, CI 25%–46%), halusinogen (3 penelitian, 26%, CI 14%–43%), dan amfetamin (5 penelitian, 22%, CI 14%–34%). Angka yang lebih rendah dilaporkan untuk psikosis yang disebabkan oleh opioid (12%), alkohol (10%), dan obat penenang (9%). Angka transisi sedikit lebih rendah pada kelompok usia tua tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, negara tempat penelitian, lokasi rumah sakit atau komunitas, lingkungan perkotaan atau pedesaan, metode diagnosis, atau durasi tindak lanjut.[46]

Ritual dan spiritual

Sesajen

Alkohol dan tembakau banyak digunakan sebagai bahan sesajen dalam berbagai agama dan praktik spiritual.[butuh rujukan] Daun koka telah digunakan sebagai sesajen dalam ritual.[47]

Alkohol

Menurut Gereja Katolik, anggur sakramental untuk Ekaristi harus mengandung alkohol. Kanon 924 Kitab Hukum Kanonik (1983) menyatakan:

§3 Anggur haruslah alami, terbuat dari buah anggur pokok, dan tidak rusak.[48]

Penggunaan psikoaktif

Enteogen
Timothy Leary adalah pendukung utama penggunaan halusinogen spiritual.

Obat psikoaktif sepertii halusinogen, telah digunakan untuk tujuan keagamaan sejak zaman prasejarah. Penduduk asli Amerika telah menggunakan kaktus peyote yang mengandung meskalin untuk upacara keagamaan selama 5.700 tahun.[49] Amanita muscaria, jamur yang mengandung muscimol digunakan untuk tujuan ritual di Eropa zaman prasejarah. [50]

Penggunaan enteogen untuk tujuan keagamaan muncul kembali di Barat selama gerakan kontra-budaya pada 1960-an dan 70-an. Di bawah kepemimpinan Timothy Leary, pergerakan spiritual mulai menggunakan LSD dan halusinogen lain sebagai sarana eksplorasi kebatinan. Di Amerika Serikat, penggunaan peyote untuk tujuan ritual dilindungi hanya bagi anggota Gereja Penduduk Asli Amerika, yang diizinkan untuk membudidayakan dan mendistribusikan peyote. Namun, penggunaan peyote untuk tujuan religius, terlepas dari asal usul si pelaku praktik, dilindungi di Colorado, Arizona, New Mexico, Nevada, dan Oregon.[51]

Terapi psikedelia

Terapi psikedelia mengacu pada usulan penggunaan obat-obatan psikedelik, seperti psilosibin, MDMA,[53] LSD, dan ayahuasca, untuk mengobati gangguan mental.[54][55] Pada 2021, obat psikedelia menjadi obat yang wajib diawasi peredarannya oleh pemerintah di sebagian besar negara dan terapi psikedelia tidak tersedia secara legal di luar uji klinis, dengan beberapa pengecualian.[55][56]

Psikonautika

Psikonautika biasanya dibedakan dari penggunaan obat psikoaktif untuk rekreasi berdasarkan sumber-sumber penelitian.[57] Psikonautika sebagai sarana eksplorasi tidak selalu melibatkan obat-obatan, dan dapat terjadi dalam konteks keagamaan dengan sejarah yang mapan. Cohen menganggap psikonautika lebih dekat hubungannya dengan tradisi kebijaksanaan dan gerakan transpersonal dan integral lainnya.[58]

Pengobatan mandiri

Pengobatan mandiri, atau disebut juga swapengobatan/swamedikasi, adalah perbuatan menggunakan suatu zat atau pengaruh eksogen, untuk melakukan pengobatan sendiri terhadap kondisi fisik atau psikologis, misalnya sakit kepala atau kelelahan.

Umumnya obat yang digunakan untuk pengobatan sendiri bukan berasal dari golongan ini, melainkan berasal dari obat bebas serta suplemen makanan, yang digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan sederhana. Jenis obat ini tidak mengharuskan adanya resep dokter untuk mendapatkannya serta tersedia di toko swalayan di beberapa negara.[59]

Seks

Seks dan narkoba sudah saling terkait sejak zaman kuno. Baik legal maupun ilegal, konsumsi narkoba dan dampaknya terhadap tubuh manusia mencakup semua aspek seks, termasuk hasrat, kinerja, kenikmatan, konsepsi, kehamilan, dan penyakit.

Ada banyak jenis narkoba berbeda yang umumnya dikaitkan dengan efeknya pada seks, seperti alkohol, ganja, kokain, MDMA, GHB, amfetamin, opioid, antidepresan, dan masih banyak lagi

Gerakan sosial

Ganja

Di Amerika Serikat, Organisasi Nasional untuk Mereformasi Undang-Undang Ganja menjadi gerakan terdepan yang memperjuangkan pelegalan ganja secara nasional sejak tahun 1970-an.[60] "Gerakan 420" adalah pergerakan global yang terus memperjuangkan hak-hak pengguna ganja: tanggal 20 April (bulan keempat, tanggal 20) telah menjadi hari libur kontra-budaya internasional yang didedikasikan untuk para pengguna ganja;[61][62][63] juga pukul 16.20 setiap hari juga merujuk pada waktu yang ideal untuk mengisap ganja.[64][65]

Operation Overgrow

Operation Overgrow adalah pergerakan yang dibentuk oleh aktivis ganja untuk menebarkan benih ganja secara liar "agar tumbuh seperti rumput liar".[66] Mereka berfokus pada upaya menarik perhatian masyarakat pada perdebatan tentang legalisasi/dekriminalisasi ganja.

Bunuh diri

Overdosis adalah penggunaan takaran obat yang melebihi batas aman. Di Britania Raya (Inggris dan Wales) hingga tahun 2013, overdosis merupakan metode bunuh diri yang sering dilakukan oleh perempuan.[67] Untuk tahun 2019, persentasenya adalah 16% untuk pria. Meracuni diri sendiri merupakan penyumbang angka percobaan bunuh diri tertinggi yang tidak berujung fatal. Di Amerika Serikat, sekitar 60% percobaan bunuh diri dan 14% kematian akibat bunuh diri melibatkan overdosis.[68] Risiko kematian akibat percobaan bunuh diri yang melibatkan overdosis adalah sekitar 2%.[68][sumber mendukung?]

Kebanyakan orang bunuh diri menggunakan sedativa(seperti alkohol atau benzodiazepin),[69] dan kecanduan alkohol terjadi pada 15% hingga 61% kasus.[70] Negara dengan tingkat konsumsi alkohol tinggi dan kepadatan bar yang tinggi umumnya juga memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi.[71] Sekitar 2,2–3,4% dari mereka yang pernah menjalani perawatan kecanduan alkohol pada suatu waktu dalam hidup mereka meninggal karena bunuh diri.[71] Pecandu alkohol yang mencoba bunuh diri biasanya adalah laki-laki, berusia tua, dan/atau pernah melakukan percobaan bunuh diri di masa lampau.[70] Pada remaja penyalah guna alkohol, disfungsi neurologis dan psikologis dapat berkontribusi terhadap meningkatnya risiko bunuh diri.[72]

Overdosis dengan menggunakan analgesik merupakan salah satu kasus yang paling umum terjadi, karena obat ini mudah diperoleh di pasaran.[73]

Cara pemakaian

Obat atau zat psikoaktif dapat diminum dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, cairan, dan minuman; disuntikkan melalui jalur subkutan, intramuskular, dan intravena; melalui dubur (supositoria dan enema); maupun diisap (seperti merokok atau vaping). Kemanjuran masing-masing cara pemakaian berbeda-beda pada setiap zat atau obat.[74]

Obat psikiatris fluoksetin, kuetiapin, dan lorazepam diminum dalam bentuk tablet atau kapsul. Alkohol dan kafein biasanya diminum sebagai minuman; nikotin dan ganja diisap; peyote dan psilosibin dihirup baik dalam wujud utuh maupun dikeringkan; dan obat-obatan kristal seperti kokain dan metamfetamin biasanya dihirup.

Efek

Ilustrasi elemen utama neurotransmisi . Bergantung pada metode kerjanya, obat psikoaktif dapat memblokir reseptor pada neuron pasca-sinaptik (dendrit), atau memblokir penyerapan kembali atau memengaruhi sintesis neurotransmitter pada neuron pra-sinaptik (akson).

Obat psikoaktif bekerja dengan memengaruhi neurokimia seseorang secara sementara, yang menimbulkan perubahan suasana hati, kognisi, persepsi, dan perilaku. Ada banyak cara obat psikoaktif dapat memengaruhi otak. Setiap dapat spesifik pada satu maupun lebih neurotransmitter atau neuroreseptor di otak.

Obat yang memicu peningkatan aktivitas neurotransmiter disebut agonis. Obat ini bekerja dengan meningkatkan sintesis satu atau lebih neurotransmiter, mengurangi penyerapan kembali dari sinapsis, atau meniru aksinya dengan mengikat langsung ke reseptor pascasinaptik. Sebaliknya, obat yang memicu penurunan aktivitas neurotransmiter disebut antagonis; bekerja dengan cara mengganggu sintesis atau memblokir reseptor pascasinaptik sehingga neurotransmiter tidak dapat mengikatnya.[75]

Paparan zat psikoaktif dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi neuron, karena sistem saraf mencoba membangun kembali homeostasis yang terganggu oleh adanya obat (lihat neuroplastisitas). Paparan antagonis terhadap neurotransmiter dapat meningkatkan jumlah reseptor untuk neurotransmiter tersebut atau reseptor itu mungkin semakin responsif terhadap neurotransmiter; ini disebut sensitisasi. Sebaliknya, stimulasi berlebihan pada reseptor untuk neurotransmitter dapat menimbulkan penurunan jumlah serta sensitivitas reseptor ini, yang dikenal sebagai desensitisasi atau toleransi. Sensitisasi dan desensitisasi mungkin lebih terjadi akibat paparan jangka panjang, meskipun kemungkinan juga dapat terjadi hanya setelah paparan sekali. Proses-proses ini diperkirakan berperan dalam ketergantungan dan kecanduan narkoba.[76] Ketergantungan fisik pada antidepresan atau anksiolitik dapat menyebabkan depresi atau kecemasan yang lebih buruk. Sayangnya, karena depresi klinis (juga disebut gangguan depresi mayor) umumnya hanya disebut depresi, antidepresan sering diresepkan untuk pasien yang mengalami depresi, yang bukan depresi klinis.

Kecanduan dan ketergantungan

Obat psikoaktif/narkoba sering dikaitkan dengan kecanduan atau ketergantungan. Ketergantungan dapat dibagi menjadi dua jenis: ketergantungan psikologis, ketika pengguna mengalami gejala emosional negatif (misalnya, depresi) dan ketergantungan fisik, ketika pengguna harus terus menggunakan obat untuk menghindari gejala sakau yang tidak nyaman secara fisik atau bahkan berbahaya secara medis.[77] Obat yang menurunkan sekaligus menguatkan bersifat adiktif; sifat obat ini dimediasi melalui aktivasi jalur dopamin mesolimbik, khususnya nukleus akumbens. Tidak semua obat yang membuat kecanduan menyebabkan sakau, misalnya amfetamin, dan tidak semua obat yang menghasilkan ketergantungan fisik menyebabkan kecanduan, misalnya oksimetazolin .

Sejumlah profesional, LSM, dan bisnis telah mencoba mengkhususkan diri dalam rehabilitasi narkoba, dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi, dan banyak orang tua yang mencoba mendampingi anak-anak mereka untuk mewaspadai bahaya narkoba.[78]

Rehabilitasi narkoba dapat berupa psikoterapi, kelompok dukungan, dan farmakoterapi, yang menggunakan obat lain untuk mengurangi ketergantungan sekaligus mengurangi gejala sakau saat detoksifikasi. Metadon, yang merupakan opioid dan zat psikoaktif, merupakan pengobatan umum untuk kecanduan heroin, seperti halnya opioid lain, buprenorfin. Penelitian baru mengenai kecanduan menunjukkan adanya harapan dalam penggunaan zat-zat psikedelia seperti ibogaine untuk mengobati dan bahkan menyembuhkan kecanduan narkoba, meskipun hal ini belum menjadi praktik yang diterima secara luas.[79][80]

Legalitas

Gambar historis botol heroin legal

Legalitas obat psikoaktif menjadi kontroversi yang terus diulas sepanjang sejarah: Perang Candu Kedua dan pelarangan slkohol adalah dua contoh historis kontroversi hukum seputar narkoba. Dalam beberapa tahun terakhir, dokumen penting mengenai legalitas obat psikoaktif adalah Konvensi Tunggal tentang Narkotika, sebuah perjanjian internasional yang ditandatangani pada tahun 1961 sebagai Undang-Undang Perserikatan Bangsa-Bangsa . Ditandatangani oleh 73 negara termasuk Amerika Serikat, Uni Soviet, Pakistan, India, dan Britania Raya, Konvensi Tunggal Narkotika memuat ketetapan tentang legalitas obat dan menyusun perjanjian internasional untuk memerangi kecanduan obat psikoaktif untuk rekreasi dengan memerangi penjualan, perdagangan, dan penggunaan obat-obatan yang ditetapkan.[81] Semua negara yang menandatangani perjanjian ini mengesahkan undang-undang untuk menerapkan ketentuan ini di wilayah perbatasan. Namun, beberapa negara yang telah menandatangani Konvensi Tunggal Narkotika, seperti Belanda, bersikap lebih lunak dalam menegakkan hukum ini.[82]

Di Amerika Serikat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) memiliki wewenang atas semua obat-obatan yang beredar, termasuk obat psikoaktif. FDA mengatur golongan dan nama obat psikoaktif yang dapat dijual bebas dan mana yang harus dengan resep dokter.[83] Namun, zat psikoaktif tertentu, seperti alkohol, tembakau, dan obat-obatan yang disebutkan pada Konvensi Tunggal tentang Narkotika tunduk pada hukum pidana. Undang-Undang tentang Obat-obatan yang Diawasi tahun 1970 mengatur "obat rekreasi" yang disebutkan dalam Konvensi Tunggal tentang Narkotika.[84] Alkohol diregulasi menurut pemerintah negara bagian, tetapi Undang-Undang tentang Batas Usia Minimum Minuman Beralkohol Nasional yang berlaku di tingkat Federal menjatuhkan sanksi kepada negara bagian karena tidak mematuhi batas usia minimum nasional.[85] Tembakau juga diatur oleh semua pemerintah negara bagian.[86] Kebanyakan orang taat dengan pembatasan dan larangan terhadap peredaran obat-obatan tertentu, terutama "obat keras", yang ilegal di sebagian besar negara.[87][88][89]

Dalam konteks medis, obat psikoaktif untuk pengobatan sebuah penyakit tersebar luas dan diterima secara umum. Sedikit kontroversi yang ada mengenai obat-obatan psikoaktif yang dijual bebas dalam wujud antiemetik dan antitusif. Obat-obatan psikoaktif lebih banyak diresepkan kepada pasien dengan gangguan jiwa. Namun, ada beberapa kritikus[siapa?] meyakini bahwa obat-obatan psikoaktif tertentu yang diresepkan, seperti antidepresan dan stimulan, terlalu sering diresepkan dan mengancam keputusan pasien [90][91]

Dampak pada hewan

Sejumlah hewan dapat saja memakan bagian dari tumbuhan yang bersifat psikoaktif, maupun buah yang difermentasi, sehingga menjadi mabuk. Contohnya adalah kucing setelah mengonsumsi catnip. Legenda tradisional mengenai tumbuhan yang disucikan sering kali mengandung rujukan kepada hewan yang memperkenalkan manusia pada penggunaannya.[92] Hewan dan tumbuhan psikoaktif tampaknya berevolusi bersama, yang mungkin menjelaskan mengapa zat kimia dan reseptornya ada di dalam sistem saraf.[93]

Zat psikoaktif yang banyak digunakan

Berikut ini daftar obat-obatan dan zat psikoaktif. Zat-zat ini dapat bersifat legal maupun ilegal (berdasarkan undang-undang). Zat-zat yang bersifat ilegal dalam daftar ini umumnya dirujuk sebagai "narkoba".

Zat psikoaktif yang umum dikonsumsi (dan di beberapa negara, legal, dan tidak digolongkan sebagai "narkoba") di seluruh dunia adalah:[94]

Narkoba yang diresepkan

Narkoba jalanan

Catatan

Referensi

  1. ^ BNN, Oleh Humas (2022-09-07). "Narkoba, Jangan Sentuh !". bnn.go.id. Diakses tanggal 2024-12-04. 
  2. ^ "CHAPTER 1 Alcohol and Other Drugs". The Public Health Bush Book: Facts & approaches to three key public health issues. ISBN 0-7245-3361-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-03-28. 
  3. ^ Miller, Christine; Lewis, Jacqueline. "Uses of Psychoactive Drugs". Open Library: Press Books. Diakses tanggal 2 December 2023. 
  4. ^ Levine, Robert J. (1991). "Medicalization of Psychoactive Substance Use and the Doctor-Patient Relationship". The Milbank Quarterly. 69 (4): 623–640. doi:10.2307/3350230. ISSN 0887-378X. JSTOR 3350230. PMID 1806804. 
  5. ^ Rockville (2006). "4 Physical Detoxification Services for Withdrawal from Specific Substances". Detoxification and Substance Abuse Treatment: 4 Physical Detoxification Services for Withdrawal From Specific Substances. Substance Abuse and Mental Health Services Administration (US). 
  6. ^ "Substance Use Disorder (SUD): Management and Treatment". Cleveland Clinic. Diakses tanggal 2 December 2023. 
  7. ^ "Drugs (psychoactive)". World Health Organization. Diakses tanggal 2 December 2023. 
  8. ^ a b "Substance use and addiction". Canadian Mental Health Association. Diakses tanggal 2 December 2023. 
  9. ^ Frank, Lily E.; Nagel, Sasika K. (February 2017). "Addiction and Moralization: the Role of the Underlying Model of Addiction". Neuroethics. 10 (1): 129–139. doi:10.1007/s12152-017-9307-x. PMC 5486499alt=Dapat diakses gratis. PMID 28725284. Diakses tanggal 2 December 2023. 
  10. ^ Mastroianni, Patrícia C; Noto, Ana Regina; Galduróz, José Carlos F (2008). "Psychoactive drug advertising: analysis of scientific information". Revista de Saude Publica. 42(3). 42 (3): 529–35. doi:10.1590/s0034-89102008005000023. PMID 18438590. Diakses tanggal 2 December 2023. 
  11. ^ Zhang, Mona. "Missouri's marijuana legalization campaign is splitting the weed world". POLITICO (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-25. 
  12. ^ Merlin, M.D (2003). "Archaeological Evidence for the Tradition of Psychoactive Plant Use in the Old World". Economic Botany. 57 (3): 295–323. doi:10.1663/0013-0001(2003)057[0295:AEFTTO]2.0.CO;2. 
  13. ^ Early Holocene coca chewing in northern Peru Volume: 84 Number: 326 Page: 939–953
  14. ^ "Coca leaves first chewed 8,000 years ago, says research". BBC News. December 2, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 23, 2014. 
  15. ^ Siegel, Ronald K (2005). Intoxication: The Universal Drive for Mind-Altering Substances. Park Street Press, Rochester, Vermont. ISBN 1-59477-069-7. 
  16. ^ Weil, Andrew (2004). The Natural Mind: A Revolutionary Approach to the Drug Problem (edisi ke-Revised). Houghton Mifflin. hlm. 15. ISBN 0-618-46513-8. 
  17. ^ "LEAP's Mission Statement". Law Enforcement Against Prohibition. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-09-13. Diakses tanggal 2013-05-30. 
  18. ^ "5 Years After: Portugal's Drug Decriminalization Policy Shows Positive Results". Scientific American. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-15. Diakses tanggal 2013-05-30. 
  19. ^ "HRB National Drugs Library: Psychoactive drug or substance". Health Research Board. 2024. Diakses tanggal Jul 30, 2024. 
  20. ^ Zanders ED (2011). "Introduction to Drugs and Drug Targets". The Science and Business of Drug Discovery. hlm. 11–27. doi:10.1007/978-1-4419-9902-3_2. ISBN 978-1-4419-9901-6. PMC 7120710alt=Dapat diakses gratis. 
  21. ^ "New psychoactive substances (NPS) | www.emcdda.europa.eu". www.emcdda.europa.eu. Diakses tanggal 2024-06-09. 
  22. ^ Bersani FS, Corazza O, Simonato P, Mylokosta A, Levari E, Lovaste R, Schifano F; Corazza; Simonato; Mylokosta; Levari; Lovaste; Schifano (2013). "Drops of madness? Recreational misuse of tropicamide collyrium; early warning alerts from Russia and Italy". General Hospital Psychiatry. 35 (5): 571–3. doi:10.1016/j.genhosppsych.2013.04.013. PMID 23706777. 
  23. ^ Lovett, Richard (24 September 2005). "Coffee: The demon drink?". New Scientist (2518). Diarsipkan dari versi asli (fee required) tanggal 24 October 2007. Diakses tanggal 2007-11-19. 
  24. ^ Matson, Johnny L.; Neal, Daniene (2009). "Psychotropic medication use for challenging behaviors in persons with intellectual disabilities: An overview". Research in Developmental Disabilities. 30 (3): 572–86. doi:10.1016/j.ridd.2008.08.007. PMID 18845418. 
  25. ^ Schatzberg AF (2000). "New indications for antidepressants". The Journal of Clinical Psychiatry. 61 (11): 9–17. PMID 10926050. 
  26. ^ Swift RM (2016). "Pharmacotherapy of Substance Use, Craving, and Acute Abstinence Syndromes". Dalam Sher KJ. The Oxford Handbook of Substance Use and Substance Use Disorders (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 601–603, 606. ISBN 978-0-19-938170-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-09. 
  27. ^ Hirschfeld, Robert M. A. (2001). "Clinical importance of long-term antidepressant treatment". The British Journal of Psychiatry. 179 (42): S4–8. doi:10.1192/bjp.179.42.s4. PMID 11532820. 
  28. ^ Stoker, Liam (14 April 2013). "Analysis Creating Supermen: battlefield performance enhancing drugs". Army Technology. Verdict Media Limited. Diakses tanggal 22 June 2018. 
  29. ^ Kamienski, Lukasz (2016-04-08). "The Drugs That Built a Super Soldier". The Atlantic. Diakses tanggal 22 June 2018. 
  30. ^ Jones E, Fear NT (April 2011). "Alcohol use and misuse within the military: a review". International Review of Psychiatry. 23 (2): 166–172. doi:10.3109/09540261.2010.550868. PMID 21521086. 
  31. ^ Rantanen, Miska (28 May 2002). "Finland: History: Amphetamine Overdose In Heat Of Combat". www.mapinc.org. Helsingin Sanomat. Diakses tanggal January 17, 2022. 
  32. ^ Quiding H, Lundqvist G, Boréus LO, Bondesson U, Ohrvik J; Lundqvist; Boréus; Bondesson; Ohrvik (1993). "Analgesic effect and plasma concentrations of codeine and morphine after two dose levels of codeine following oral surgery". European Journal of Clinical Pharmacology. 44 (4): 319–23. doi:10.1007/BF00316466. PMID 8513842. 
  33. ^ Medline Plus. Anesthesia. Diarsipkan 2016-07-04 di Wayback Machine. Accessed on July 16, 2007.
  34. ^ Li X, Pearce RA; Pearce (2000). "Effects of halothane on GABA(A) receptor kinetics: evidence for slowed agonist unbinding". The Journal of Neuroscience. 20 (3): 899–907. doi:10.1523/JNEUROSCI.20-03-00899.2000. PMC 6774186alt=Dapat diakses gratis. PMID 10648694. 
  35. ^ Harrison NL, Simmonds MA; Simmonds (1985). "Quantitative studies on some antagonists of N-methyl D-aspartate in slices of rat cerebral cortex". British Journal of Pharmacology. 84 (2): 381–91. doi:10.1111/j.1476-5381.1985.tb12922.x. PMC 1987274alt=Dapat diakses gratis. PMID 2858237. 
  36. ^ "Effects of Performance-Enhancing Drugs | USADA". May 2019. 
  37. ^ Pesta DH, Angadi SS, Burtscher M, Roberts CK (December 2013). "The effects of caffeine, nicotine, ethanol, and tetrahydrocannabinol on exercise performance". Nutrition & Metabolism. 10 (1): 71. doi:10.1186/1743-7075-10-71. PMC 3878772alt=Dapat diakses gratis. PMID 24330705. 
  38. ^ Liddle DG, Connor DJ (June 2013). "Nutritional supplements and ergogenic AIDS". Primary Care. 40 (2): 487–505. doi:10.1016/j.pop.2013.02.009. PMID 23668655. Amphetamines and caffeine are stimulants that increase alertness, improve focus, decrease reaction time, and delay fatigue, allowing for an increased intensity and duration of training ...
    Physiologic and performance effects [of amphetamines]
     • Amphetamines increase dopamine/norepinephrine release and inhibit their reuptake, leading to central nervous system (CNS) stimulation
     • Amphetamines seem to enhance athletic performance in anaerobic conditions 39 40
     • Improved reaction time
     • Increased muscle strength and delayed muscle fatigue
     • Increased acceleration
     • Increased alertness and attention to task
     
  39. ^ Frati P, Kyriakou C, Del Rio A, Marinelli E, Vergallo GM, Zaami S, Busardò FP (January 2015). "Smart drugs and synthetic androgens for cognitive and physical enhancement: revolving doors of cosmetic neurology". Current Neuropharmacology. 13 (1): 5–11. doi:10.2174/1570159X13666141210221750. PMC 4462043alt=Dapat diakses gratis. PMID 26074739. Cognitive enhancement can be defined as the use of drugs and/or other means with the aim to improve the cognitive functions of healthy subjects in particular memory, attention, creativity and intelligence in the absence of any medical indication. ... The first aim of this paper was to review current trends in the misuse of smart drugs (also known as Nootropics) presently available on the market focusing in detail on methylphenidate, trying to evaluate the potential risk in healthy individuals, especially teenagers and young adults. 
  40. ^ Better Fighting Through Chemistry? The Role of FDA Regulation in Crafting the Warrior of the Future (Laporan). 8 March 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 February 2016. 
  41. ^ Neuroscience of Psychoactive Substance Use and Dependence Diarsipkan 2006-10-03 di Wayback Machine. by the World Health Organization. Retrieved 5 July 2007.
  42. ^ Anderson TL (1998). "Drug identity change processes, race, and gender. III. Macrolevel opportunity concepts". Substance Use & Misuse. 33 (14): 2721–35. doi:10.3109/10826089809059347. PMID 9869440. 
  43. ^ Bertol E, Fineschi V, Karch SB, Mari F, Riezzo I; Fineschi; Karch; Mari; Riezzo (2004). "Nymphaea cults in ancient Egypt and the New World: a lesson in empirical pharmacology". Journal of the Royal Society of Medicine. 97 (2): 84–5. doi:10.1177/014107680409700214. PMC 1079300alt=Dapat diakses gratis. PMID 14749409. 
  44. ^ Hayry M (2004). "Prescribing cannabis: freedom, autonomy, and values". Journal of Medical Ethics. 30 (4): 333–6. doi:10.1136/jme.2002.001347. PMC 1733898alt=Dapat diakses gratis. PMID 15289511. 
  45. ^ Barnett, Randy E. "The Presumption of Liberty and the Public Interest: Medical Marijuana and Fundamental Rights" Diarsipkan 2007-07-11 di Wayback Machine.. Retrieved 4 July 2007.
  46. ^ a b Murrie, Benjamin; Lappin, Julia; Large, Matthew; Sara, Grant (16 October 2019). "Transition of Substance-Induced, Brief, and Atypical Psychoses to Schizophrenia: A Systematic Review and Meta-analysis". Schizophrenia Bulletin. 46 (3): 505–516. doi:10.1093/schbul/sbz102. PMC 7147575alt=Dapat diakses gratis. PMID 31618428. 
  47. ^ Quilter, Jeffrey (2022). The Ancient Central Andes (dalam bahasa English) (edisi ke-2nd). New York, NY: Routledge World Archaeology. hlm. 38–39, 279. ISBN 978-0-367-48151-3. 
  48. ^ Code of Canon Law, 1983 Diarsipkan 19 June 2006 di Wayback Machine.
  49. ^ El-Seedi HR, De Smet PA, Beck O, Possnert G, Bruhn JG; De Smet; Beck; Possnert; Bruhn (2005). "Prehistoric peyote use: alkaloid analysis and radiocarbon dating of archaeological specimens of Lophophora from Texas". Journal of Ethnopharmacology. 101 (1–3): 238–42. doi:10.1016/j.jep.2005.04.022. PMID 15990261. 
  50. ^ Vetulani J (2001). "Drug addiction. Part I. Psychoactive substances in the past and presence". Polish Journal of Pharmacology. 53 (3): 201–14. PMID 11785921. 
  51. ^ Bullis RK (1990). "Swallowing the scroll: legal implications of the recent Supreme Court peyote cases". Journal of Psychoactive Drugs. 22 (3): 325–32. doi:10.1080/02791072.1990.10472556. PMID 2286866. 
  52. ^ Nutt D (2019). "Psychedelic drugs-a new era in psychiatry?". Dialogues in Clinical Neuroscience. 21 (2): 139–147. doi:10.31887/DCNS.2019.21.2/dnutt. PMC 6787540alt=Dapat diakses gratis. PMID 31636488. 
  53. ^ MDMA and Ketamine are not a classical psychedelics but are sometimes discussed alongside classical psychedelics due to similarities in their psychoactive and potentially therapeutic effects.[52]
  54. ^ Reiff CM, Richman EE, Nemeroff CB, Carpenter LL, Widge AS, Rodriguez CI, et al. (May 2020). "Psychedelics and Psychedelic-Assisted Psychotherapy". The American Journal of Psychiatry. 177 (5): 391–410. doi:10.1176/appi.ajp.2019.19010035. PMID 32098487. 
  55. ^ a b Marks M, Cohen IG (October 2021). "Psychedelic therapy: a roadmap for wider acceptance and utilization". Nature Medicine. 27 (10): 1669–1671. doi:10.1038/s41591-021-01530-3. PMID 34608331 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  56. ^ Pilecki B, Luoma JB, Bathje GJ, Rhea J, Narloch VF (April 2021). "Ethical and legal issues in psychedelic harm reduction and integration therapy". Harm Reduction Journal. 18 (1): 40. doi:10.1186/s12954-021-00489-1. PMC 8028769alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 33827588 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  57. ^ Blom, Jan Dirk (2009). A Dictionary of Hallucinations. Springer. hlm. 434. ISBN 978-1-4419-1222-0. Diakses tanggal 2010-03-05. 
  58. ^ UK Institute of Psychonautics and Somanautics page Diarsipkan 10 November 2010 di Wayback Machine. at his "Academy for Transpersonal Studies". Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 September 2010. Diakses tanggal 10 March 2010. 
  59. ^ "What is self-Medication?". World Self-Medication Industry. Diarsipkan dari versi asli tanggal Jun 5, 2016. Diakses tanggal 25 May 2016. 
  60. ^ Joshua Clark Davis. (November 6, 2014). The Long Marijuana-Rights Movement. Diarsipkan September 11, 2016, di Wayback Machine. The Huffington Post. Retrieved August 3, 2016.
  61. ^ King, Matt (April 24, 2007). "Thousands at UCSC burn one to mark cannabis holiday". Santa Cruz Sentinel. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 26, 2007. 
  62. ^ Halnon, Karen Bettez (April 11, 2005). "The power of 420". Diarsipkan dari versi asli tanggal May 13, 2013. 
  63. ^ "420 event lists". 
  64. ^ King, Matt (April 24, 2007). "Thousands at UCSC burn one to mark cannabis holiday". Santa Cruz Sentinel. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 26, 2007. 
  65. ^ McCoy, Terrence (2014-04-18). "The strange story of how the pot holiday '4/20' got its name". The Washington Post. Diakses tanggal 2020-04-18. 
  66. ^ Karl Grauers (May 18, 2009). "Cannabis i Malmös blomlådor – igen" [Cannabis in Malmö flower boxes – again]. Metro. Stockholm, Sweden. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 11, 2017. 
  67. ^ "Suicides in England and Wales – Office for National Statistics". www.ons.gov.uk. 
  68. ^ a b Conner, Andrew; Azrael, Deborah; Miller, Matthew (3 December 2019). "Suicide Case-Fatality Rates in the United States, 2007 to 2014". Annals of Internal Medicine. 171 (12): 885–895. doi:10.7326/M19-1324. PMID 31791066. 
  69. ^ Youssef NA, Rich CL (2008). "Does acute treatment with sedatives/hypnotics for anxiety in depressed patients affect suicide risk? A literature review". Annals of Clinical Psychiatry. 20 (3): 157–169. doi:10.1080/10401230802177698. PMID 18633742. 
  70. ^ a b Vijayakumar L, Kumar MS, Vijayakumar V (May 2011). "Substance use and suicide". Current Opinion in Psychiatry. 24 (3): 197–202. doi:10.1097/YCO.0b013e3283459242. PMID 21430536. 
  71. ^ a b Sher L (January 2006). "Alcohol consumption and suicide". QJM. 99 (1): 57–61. doi:10.1093/qjmed/hci146. PMID 16287907. 
  72. ^ Sher L (2007). "Functional magnetic resonance imaging in studies of the neurobiology of suicidal behavior in adolescents with alcohol use disorders". International Journal of Adolescent Medicine and Health. 19 (1): 11–18. doi:10.1515/ijamh.2007.19.1.11. PMID 17458319. 
  73. ^ Brock, Anita; Sini Dominy; Clare Griffiths (6 November 2003). "Trends in suicide by method in England and Wales, 1979 to 2001". Health Statistics Quarterly. 20: 7–18. ISSN 1465-1645. Diakses tanggal 2007-06-25. 
  74. ^ United States Food and Drug Administration. CDER Data Standards Manual Diarsipkan 2006-01-03 di Wayback Machine.. Retrieved on May 15, 2007.
  75. ^ Seligma, Martin E.P. (1984). "4". Abnormal Psychology. W. W. Norton & Company. ISBN 0-393-94459-X. 
  76. ^ "University of Texas, Addiction Science Research and Education Center". Diarsipkan dari versi asli tanggal August 14, 2011. Diakses tanggal May 14, 2007. 
  77. ^ Johnson, B (2003). "Psychological Addiction, Physical Addiction, Addictive Character, and Addictive Personality Disorder: A Nosology of Addictive Disorders". Canadian Journal of Psychoanalysis. 11 (1): 135–60. OCLC 208052223. 
  78. ^ Hops, Hyman; Tildesley, Elizabeth; Lichtenstein, Edward; Ary, Dennis; Sherman, Linda (2009). "Parent-Adolescent Problem-Solving Interactions and Drug Use". The American Journal of Drug and Alcohol Abuse. 16 (3–4): 239–58. doi:10.3109/00952999009001586. PMID 2288323. 
  79. ^ "Psychedelics Could Treat Addiction Says Vancouver Official". 2006-08-09. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 2, 2006. Diakses tanggal March 26, 2007. 
  80. ^ "Ibogaine research to treat alcohol and drug addiction". Diarsipkan dari versi asli tanggal April 22, 2007. Diakses tanggal March 26, 2007. 
  81. ^ United Nations Single Convention on Narcotic Drugs. Diarsipkan 2008-05-10 di Wayback Machine. Retrieved on June 20, 2007.
  82. ^ MacCoun, R; Reuter, P (1997). "Interpreting Dutch Cannabis Policy: Reasoning by Analogy in the Legalization Debate". Science. 278 (5335): 47–52. doi:10.1126/science.278.5335.47. PMID 9311925. 
  83. ^ History of the Food and Drug Administration. Retrieved at FDA's website Diarsipkan 2009-01-19 di Wayback Machine. on June 23, 2007.
  84. ^ United States Controlled Substances Act of 1970. Retrieved from the DEA's website Diarsipkan 2009-05-08 di Wayback Machine. on June 20, 2007.
  85. ^ Title 23 of the United States Code, Highways. Diarsipkan 2007-06-14 di Wayback Machine. Retrieved on June 20, 2007.
  86. ^ Taxadmin.org. State Excise Tax Rates on Cigarettes. Diarsipkan 2009-11-09 di Wayback Machine. Retrieved on June 20, 2007.
  87. ^ "What's your poison?". Caffeine. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 26, 2009. Diakses tanggal July 12, 2006. 
  88. ^ Griffiths, RR (1995). Psychopharmacology: The Fourth Generation of Progress (edisi ke-4th). Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 2002. ISBN 0-7817-0166-X. 
  89. ^ Edwards, Griffith (2005). Matters of Substance: Drugs—and Why Everyone's a User. Thomas Dunne Books. hlm. 352. ISBN 0-312-33883-X. 
  90. ^ Dworkin, Ronald. Artificial Happiness. New York: Carroll & Graf, 2006. pp.2–6. ISBN 0-7867-1933-8
  91. ^ Manninen, B A (2006). "Medicating the mind: A Kantian analysis of overprescribing psychoactive drugs". Journal of Medical Ethics. 32 (2): 100–5. doi:10.1136/jme.2005.013540. PMC 2563334alt=Dapat diakses gratis. PMID 16446415. 
  92. ^ Samorini, Giorgio (2002). Animals And Psychedelics: The Natural World & The Instinct To Alter Consciousness. Park Street Press. ISBN 0-89281-986-3. 
  93. ^ Albert, David Bruce Jr. (1993). "Event Horizons of the Psyche". Diarsipkan dari versi asli tanggal September 27, 2006. Diakses tanggal February 2, 2006. 
  94. ^ Crocq MA (June 2003). "Alcohol, nicotine, caffeine, and mental disorders". Dialogues in Clinical Neuroscience. 5 (2): 175–185. doi:10.31887/DCNS.2003.5.2/macrocq. PMC 3181622alt=Dapat diakses gratis. PMID 22033899. 

Pranala luar