Pemerintahan Murad II ditandai dengan peperangan panjang melawan para bangsawan Kristen di Balkan dan berbagai kadipaten Turki di Anatolia, konflik yang berlangsung selama 25 tahun. Ia besar di Amasya dan naik takhta setelah kematian ayahandanya.
Biografi
Awal kehidupan
Murad lahir pada tahun 1404 dan menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Amasya. Pada 1410, Murad bersama ayahnya, Sultan Mehmed I, pergi ke Edirne yang merupakan ibu kota Utsmani kala itu. Setelah ayahnya naik takhta, Murad ditugaskan untuk menjadi gubernur Amasya, sebagaimana tradisi di Utsmani untuk mengirim para pangeran menjadi gubernur di suatu wilayah sebagai bekal untuk memerintah kelak.
Murad tetap di Amasya sampai mangkatnya sang ayah pada 1421, menjadikan dia dinobatkan sebagai Sultan Utsmaniyah berikutnya di usianya yang masih enam belas tahun.
Sultan
Namun dengan cepat pemerintahannya berhadapan dengan rongrongan. Kaisar Romawi Timur saat itu, Manuel II Palaiologos, membebaskan paman Murad, Mustafa Çelebi (dikenal sebagai Düzmece Mustafa) dari penjara dan mengakuinya sebagai pewaris sah takhta Bayezid I (1389-1402). Manuel mengadakan perjanjian dengan Mustafa putra Bayezid bahwa jika dia berhasil menjadi sultan, maka Mustafa harus membalas budi dengan memberikan sejumlah kota penting kepada pihak Romawi.
Mustafa didaratkan dengan kapal di wilayah Utsmani yang ada di Eropa dan berhasil mencapai kemajuan pesat. Banyak pasukan Turki bergabung dengannya dan berhasil mengalahkan dan membunuh veteran perang jenderal Beyazid Pasya yang dikirim Murad untuk mengalahkan Mustafa. Mustafa mengalahkan pasukan Murad dan menyatakan dirinya sebagai Sultan Adrianopel (Edirne).
Setelah itu, Mustafa mengerahkan pasukannya menuju Asia Kecil dengan menyeberangi Selat Dardanella, tetapi Murad dapat mengalahkan pamannya tersebut. Mustafa kemudian mengungsi ke kota Gallipoli namun sang sultan, yang dibantu oleh komandan asal Genova bernama Adorno, mengepungnya di sana dan menggempur tempat itu. Mustafa ditangkap dan kemudian dihukum mati pada 1422. Atas keterlibatan Dinasti Palaiologos dalam peristiwa ini, Murad menanggapinya dengan menyatakan perang kepada pihak Romawi untuk merebut Konstantinopel.
Murad II kemudian membentuk pasukan baru bernama Azab (juga dikenal dengan Asappi) pada 1421 dan berbaris memasuki wilayah Kekaisaran Romawi Timur dan mengepung ibu kotanya, Konstantinopel. Saat Murad melakukan pengepungan, pihak Romawi yang bekerja sama dengan negara-negara Turki lain di Anatolia, mengirim adik Murad yang bernama Mustafa yang berusia tiga belas tahun (dikenal dengan 'Mustafa muda' untuk membedakan dengan pamannya) untuk melakukan pemberontakan dan mengepung Bursa. Di tengah keadaan seperti itu, Murad mengabaikan pengepungannya atas Konstantinopel dan berbalik arah melawan gerakan pemberontakan di dalam negeri. Dia menghukum mati Mustafa muda pada tahun 1422. Negara-negara Turki di Anatolia yang selama ini melakukan makar perlawanan terhadap Utsmaniyah (Kadipaten Aydin, Germiyan, Mentesye, dan Teke) kemudian ditaklukan dan menjadi bagian dari Utsmaniyah.
Murad kemudian menyatakan perang terhadap Republik Venesia, Kadipaten Karamanoğlu, Serbia, dan Hungaria. Karamanoğlu dikalahkan pada 1428 dan Venesia menarik diri pada 1432 menyusul kekalahan dalam Pengepungan Salonika ke-2 pada 1430. Pada 1430-an Murad menaklukan sebagian besar wilayah Balkan dan berhasil menaklukan Serbia pada 1439. Pada 1441Kekaisaran Romawi Suci, Polandia dan Albania bergabung dalam koalisi Serbia-Hungaria. Murad II memenangkan Pertempuran Varna pada 1444 melawan János Hunyadi namun kalah dalam Pertempuran Jalowaz.
Murad yang sebenarnya lebih tertarik dalam masalah agama dan seni daripada pemerintahan turun takhta pada tahun 1444[1] dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada putranya, Mehmed. Demi perlindungan Murad, wazir agung (perdana menteri) saat itu, Halil Pasya, membangunkan untuknya sebuah kastel yang dinamai sesuai nama keluarga wazir agung, Çandarlı. Keluarga Çandarlı adalah salah satu keluarga paling berpengaruh dalam sejarah Utsmani, bahkan hingga menyaingi Wangsa Utsmaniyah sendiri.
Meski demikian, Murad kembali berkuasa pada 1446 setelah Yanisari melakukan revolusi.[2] Pada 1448, Murad berhasil mengalahkan persekutuan Kristen pada Pertempuran Kosovo Kedua. Saat kedudukan di Balkan cukup stabil, Murad berbalik mengarahkan perhatiannya ke arah Asia dan mengalahkan Syah Rokh (putra Timur Lenk), Kadipaten Karaman dan Çorum-Amasya.
Pada 1450 Murad II melanjutkan pasukannya ke Albania dan melakukan pengepungan ke kastel Kruje untuk memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Skanderbeg. Di musim dingin 1450–1451, Murad II sakit, dan meninggal di istananya yang berada di Edirne. Sesuai dengan wasiatnya, maka ia dikuburkan di dekat masjid Jami' Muradiyah, di kota Bursa. Ia juga berwasiat agar tidak dibangun apapun di atas kuburannya, agar dibangun beberapa tempat di sisi-sisi kuburnya tempat dimana para penghafal Al-Qur'an duduk untuk membacakan Al-Qur'an Al Karim, serta agar dikubur di hari Jum'at. Dia meninggalkan sebuah syair pada wasiatnya, setelah dia merasa khawatir dikuburkan di sebuah kuburan yang besar, padahal dia sendiri menginginkan agar tidak dibangun apapun di atas kuburannya. Syair tersebut berbunyi :
" maka datanglah suatu hari...
Dimana manusia hanya melihat tanah kuburan ku..."
Setelah mangkatnya, Mehmed kembali naik takhta menggantikan ayahnya
Keluarga
Orang tua
Ayah – Sultan Mehmed I, disebut sebagai pendiri negara Utsmani kedua. Hal ini karena Mehmed berhasil mengalahkan saudara-saudaranya dalam perebutan takhta dan mengakhiri masa kekosongan Utsmani, masa saat Utsmani terpecah dan dipimpin oleh beberapa sultan. Hal ini terjadi pada tahun 1402 sampai 1413.
Ibu – Emine Valide Hatun (meninggal 1449), bangsawan Turki dari Dinasti Dulkadir. Dia adalah putri Nasiruddin Mehmed, Adipati Dulkadir yang berkuasa pada tahun 1399–1442. Dulkadir sendiri adalah salah satu negara bangsa Turki Muslim yang berdiri di kawasan Anatolia pada abad empat belas sampai enam belas Masehi.
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ibu dari Murad II adalah Şehzade Hatun, putri Dividdar Ahmed Pasya, Adipati Canik. Sebagaimana Dulkadir, Canik adalah salah satu negara bangsa Turki Muslim yang ada di kawasan Anatolia saat itu.
Paman
Mustafa Çelebi (1380 – Mei 1422). Dikenal juga dengan sebutan Düzmece Mustafa (Mustafa sang penipu). Dihukum mati karena melakukan pemberontakan kepada Murad.
Saudara
Mustafa Çelebi (1408 – Oktober 1423). Dijuluki "Mustafa Muda" untuk membedakan dengan pamannya. Dihukum mati karena melakukan pemberontakan kepada Murad.
Selçuk Hatun (meninggal 25 Oktober 1485). Menikah dengan Adipati Candar, Taceddin Ibrahim II Bey, putra Mubarizuddin Isfendiyar Bey. Candar adalah salah satu negara bangsa Turki Muslim yang berdiri di kawasan Anatolia.
Sultan Hatun. Menikah dengan Damad Kıvameddin Kasım Bey, saudara Taceddin Ibrahim II Bey.
Pasangan
Yeni Hatun, putri Şadgeldi Paşazade Mustafa Bey[3]
Halime Hatun (meninggal 1440), putri Mubarizuddin Isfendiyar Bey, Adipati Candar.[4][5] Halime dan Murad menikah sekitar tahun 1425[6] di Edirne[7] sebagai upaya memperkuat hubungan antara Utsmani dengan Dinasti Candar. Murad juga menikahkan dua saudarinya yang bernama Selçuk dan Sultan masing-masing dengan dua saudara Halime (Taceddin Ibrahim II Bey dan Kıvameddin Kasım Bey) dengan alasan serupa.[8] Halime sempat dikirim keluar istana ke Bursa setelah Murad menikah dengan Mara, tetapi kemudian kembali lagi ke istana pada sekitar musim gugur 1435 atau musim semi 1436.[9] Setelah Halime meninggal, Murad menikah dengan keponakan Halime yang bernama Hatice.
Hüma Hatun, seorang budak-selir.[10] Tidak diketahui keluarga asal dan nama lahirnya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa dia adalah wanita Yahudi Italia bernama Stella,[11] sebagian lain berpendapat bahwa dia dari Serbia.[12] Sejarawan Turki bernama İlber Ortaylı mendukung pendapat bahwa dia keturunan bangsa Slavia. Setelah masuk ke harem Utsmani, dia diberi nama baru, Hüma, yang berarti "burung surgawi" dalam legenda Persia.
Mara Branković, putri Đurađ Branković, Despot Serbia. Ibunya adalah Irene Kantakouzene, cucu Matius Kantakouzenos, Kaisar Romawi Timur yang berkuasa pada 1353–1357. Mara juga dikenal dengan Sultana Marija, Despina Hatun, atau Amerissa. Mara dan Murad menikah pada 4 September 1435 di Edirne.[13] Maskawin dari pihak Mara antara lain wilayah Dubočica dan Toplica. Setelah mangkatnya Murad, Mara kembali kepada orangtuanya. Saat kedua orangtuanya meninggal, dia bergabung di istana putra tirinya, Sultan Mehmed II, dan kerap memberi Sang Sultan nasihat.[14] Dia juga berperan sebagai penengah antara pihak Utsmani dan Republik Venesia selama Perang Utsmani-Venesia Pertama (1463–1479). Mara tetap menjadi tokoh berpengaruh pada masa cucu-tirinya, Sultan Bayezid II. Atas pengaruhnya, pihak Kristen Ortodok Yunani mendapat keistimewaan di Yerusalem.[15]
Hatice Hatun. Dia adalah putri Taceddin Ibrahim II Bey dengan istri pertamanya. Hatice juga sekaligus keponakan Halime dan anak tiri Selçuk. Murad menikahi Hatice setelah kematian Halime pada tahun 1440. Setelah Murad meninggal, Hatice menikah dengan Ishak Pasya, gubernur Anatolia yang menjadi wazir agung pada tahun 1469–1472.[16][17][18] Ishak meninggal pada 1497, menjadikan Hatice menjanda kembali. Catatan terakhir mengenai dirinya adalah tentang sumbangan amalnya di Iznik pada tahun 1500.[7][19] Hatice wafat pada 6 November 1501 dan dimakamamkan di Bursa.[7]
Anak
Para putra Murad II dan keturunannya yang laki-laki dari garis ayah menyandang gelar şehzade, yang merupakan adopsi dari gelar Iran syahzadeh (syah: raja + zadeh: keturunan). Meskipun syahzadeh dapat disandang oleh laki-laki dan perempuan di Iran, şehzade khusus digunakan oleh keturunan laki-laki sultan dari garis ayah di Utsmani. Şehzade dapat disepadankan dengan "pangeran" dalam bahasa Indonesia.
Pada masa sebelumnya, keturunan laki-laki sultan menggunakan gelar çelebi. Berbeda dengan şehzade, çelebi juga digunakan untuk laki-laki berkedudukan tinggi yang bukan keturunan sultan, sehingga çelebi lebih dekat artinya dengan "tuan" daripada "pangeran".
Sebagai catatan, terkadang şehzade juga digunakan sebagai nama perempuan, sebagaimana salah satu putri Sultan Murad II.
Putra
Şehzade Ahmed (1419 – 1437). Dijuluki Ahmed Besar untuk membedakannya dengan adiknya. Dimakamkan di Komplek Muradiye, Bursa.
Şehzade Alaeddin Ali (1425 – 1443). Dia ditunjuk sebagai gubernur Manisa setelah dipandang menginjak usia dewasa. Dia meninggal lantaran jatuh dari kuda seusai kembali dari perang di Karaman. Dimakamkan di Komplek Muradiye, Bursa.
Şehzade Isfendiyâr (1425) – putra dari Halime.
Sultan Mehmed II (1431 – 3 Mei 1481) - putra dari Hüma. Dikenal dengan julukan Muhammad Al Fatih atau Fatih Mehmed lantaran capaiannya atas penaklukan Konstantinopel.
Şehzade Orhan (meninggal 1453). Dimakamkan di Darülhadis Türbesi, Edirne.
Şehzade Hasan (meninggal 1444). Dimakamkan di Darülhadis Türbesi, Edirne.
Şehzade Ahmed (1450 – 18 Februari 1451) – putra dari Hatice.[20] Dijuluki Ahmed Kecil untuk membedakannya dengan kakaknya.
Putri
Erhundu Hatun. Menikah dua kali. Pertama dengan Mirahur İlyas Bey. Kedua dengan Yakub Bey yang merupakan guru dari Şehzade Cem, putra Sultan Mehmed II.
Şehzade Hatun. Menikah dengan Sinan Bey. Dimakamkan di Komplek Muradiye, Bursa.
Fatma Hatun - putri dari Hüma. Menikah dua kali. Pertama dengan Zagan Pasya, seorang wazir agung dan kemudian kapudan pasya (laksamana agung). Kedua dengan Damad Mahmud Çelebi, putra Çandırlı Ibrahim Pasya, pejabat Utsmani yang menjadi wazir agung pada 1421-1429. Dimakamkan di Komplek Muradiye, Bursa.
Hatice Hatun. Menikah dengan Damat Isa Bey. Dimakamkan di Komplek Muradiye, Bursa.