Masyarakat Film Indonesia

Masyarakat Film Indonesia (MFI) adalah sebuah kelompok gerakan yang didirikan pada tahun 2007 karena kegelisahan akan kondisi perfilman Indonesia yang tidak kondusif bagi perkembangannnya.[1] MFI terdiri dari pekerja film, kurator, budayawan, jurnalis, kritikus, komunitas film, organisasi, serta masyarakat yang memiliki kepedulian untuk mengubah perfilman Indonesia menjadi lebih baik.

Sejarah

Riri Riza dan Mira Lesmana, anggota Masyarakat Film Indonesia.

Gagalnya peran Negara baik di dalam tingkatan struktur maupun kebijakan dalam perfilman Indonesia menyebabkan kemandegan proses pengembangan perfilman Indonesia dalam berbagai lini. serta menghasilkan ekses buruk bagi perfilman Indonesia, salah satunya adalah munculnya persoalan mendasar seperti pelanggaran hak cipta.[2]

Dengan adanya MFI, yang memposisikan diri sebagai gerakan advokasi bagi perfilman Indonesia yang melibatkan tidak hanya lingkup film namun juga ranah seni, sosial, dan budaya secara keseluruhan. Gugatan yang diajukan oleh MFI tidak akan terhenti pada pertanggungjawaban sesaat dari pemerintah atas situasi tidak kondunsif seperti saat ini, namun juga ke hal-hal yang sangat mendasar seperti; kebijakan, regulasi, pemerataan akses, serta strategi budaya yang ingin dibangun untuk menciptakan situasi serta kondisi yang madani dalam perfilman Indonesia.

Festival Film Indonesia

Penobatan Ekskul sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia 2006 menuai kontroversi dari MFI. MFI yang terdiri dari sejumlah insan perfilman di antaranya Sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana yang meraih Piala Citra 2005 untuk film Gie dan sebanyak 22 peraih Piala Citra dari tahun 2004 hingga 2006 memprotes penyelenggaraan FFI 2006 ini karena telah memberikan penghargaan Film terbaik pada film Ekskul dan Sutradara Terbaik pada sutradaranya, Nayato Fionuala, yang menurut mereka sarat dengan unsur plagiat. Dalam pernyataan sikapnya, MFI menyampaikan pernyataan sikap mendesak pembubaran Lembaga Sensor Film, dan menolak hasil penjurian Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2006.[3]

Akibatnya kemenangan film ini dibatalkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik dan Piala Citra untuk Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2006 itu ditanda-tangani oleh ketua BP2N, Deddy Mizwar.

Beberapa pertimbangan yang mendasari pembatalan kemenangan Ekskul dan Nayato antara lain karena adanya sejumlah polemik dipicu oleh tuduhan pelanggaran Hak Cipta atas penggunaan musik di dalam film tersebut, dan setelah mengkaji ulang dan komprehensif soal pelanggaran hak cipta, BP2N menganggap perlu mengambil tindakan terhadap EKSKUL dan Nayato. BP2N juga menetapkan untuk MENIADAKAN pemenang Piala Citra Utama untuk kategori Film Terbaik dan Piala Citra untuk Sutradara Terbaik FFI 2006. SK ini ditetapkan pada tanggal 15 Juni 2007.[4]

Menjelang pelaksanaan Festival Film Indonesia 2007 di Riau, Masyarakat Film Indonesia (MFI) pada tanggal 10 Desember 2007 membuat pernyataan sikap yang tidak mendukung penyelenggaraan festival film tahunan tersebut. Pernyataan sikap itu dituangkan dalam selembar kertas berjudul Pernyataan Sikap MFI tentang Nominasi pada FFI 2007. Beberapa sineas yang namanya masuk nominasi FFI 2007 menolak dengan alasan tuntutan akan sebuah skema industri perfilman Indonesia yang kondusif masih sedang diperjuangkan.[5] Bahkan sebanyak 21 unggulan yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia, memastikan tidak akan datang mengikuti acara puncak penyelenggaraan FFI 2007 di Riau.[6]

Uji Materiil UU Perfilman

Masyarakat Film Indonesia pada tahun 2007 mengajukan uji materiil terhadap UU Perfilman Nomor 08 Tahun 1992 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Uji materiil ini diajukan oleh para pemohon yakni aktris Annisa Nurul Shanty, produser film Riri Riza dan Nia Dinata, penyelenggara festival film Lalu Rois Amriradhiani, serta sutradara film Tino Saroengallo. Pemohon menyatakan pasal 1 angka 4, pasal 33 ayat 1 sampai 7, pasal 34 ayat 1 sampai 3, pasal 40 ayat 1 sampai 3, dan pasal 41 ayat 1 huruf B UU Perfilman sepanjang mengenai ketentuan penyensoran bertentangan dengan pasal 28C ayat 1 dan pasal 28F UUD 1945.[7]

Pemohon menilai selama ini tidak ada parameter atau ukuran yang jelas tentang penyensoran dan LSF tidak pernah mendasarkan kerjanya pada PP No 7 Tahun 1994 tentang LSF dan Peraturan Menbudpar No PM/31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja LSF dan Tata Laksana Penyensoran. Mereka menyatakan penyensoran yang dilakukan LSF dengan cara menolak secara utuh film karena alasan tematis atau meniadakan dengan cara memotong bagian-bagian berupa judul, tema, dialog, gambar, atau suara tertentu, telah merugikan hak konstitusional pemohon selaku pelaku perfilman Indonesia.[8]

Usulan klasifikasi

Masyarakat Film Indonesia mengusulkan enam klasifikasi, yaitu:[9]

  • SU (semua umur)
  • 12DO (di bawah 12 tahun harus didampingi orang tua)
  • 12+ (12 tahun ke atas)
  • 15+ (15 tahun ke atas)
  • 18+ (18 tahun ke atas)
  • 21+ (21 tahun ke atas)

Pengurus

Presidium

Pokja Komunikasi Internal dan Dokumentasi

Pokja Kampanye Publik

Pokja Fundraising dan Lobby

  • Abduh Aziz
  • Alex Sihar
  • Ody C. Harahap
  • Nirwan Arsuka

Referensi

  1. ^ About Us: Masyarakat Film Indonesia
  2. ^ Tito Sianipar (15 Februari 2016). "Begini Hubungan Mira Lesmana, Joko Widodo, dan FFI". Tempo.co.id. Diakses tanggal 1 Juni 2016. 
  3. ^ Puluhan Insan Film Mengembalikan Piala Citra, Liputan6
  4. ^ BP2N Resmi Batalkan Kemenangan Film Ekskul
  5. ^ MFI Tolak Masuk Nominasi FFI 2007, diakses 15 Desember 2007
  6. ^ MFI Pastikan Tak Hadiri FFI Riau Diarsipkan 2007-12-13 di Wayback Machine., diakses 15 Desember 2007
  7. ^ Antara news (24 Januari 2008). "Masyarakat Film Indonesia Akan Putar Film di Persidangan". 
  8. ^ Antara news (24 Januari 2008). "Permohonan Uji Materiil UU Perfilman Tidak Jelas". 
  9. ^ Jenie, Ken (13 April 2016). "Ekosistem Film Alternatif bersama Meiske Taurisia". Whiteboard Journal. Diakses tanggal 20 Februari 2019. 

Pranala luar