Konferensi Waligereja Indonesia (KWI; sebelumnya bernama Majelis Agung Waligereja Indonesia atau MAWI) adalah suatu konferensi waligereja yang menghimpun uskup-uskupGereja Katolik seluruh Indonesia. Sebagai suatu lembaga keagamaan, KWI menggalang persatuan dan kerja sama dari Hierarki Gereja Katolik Indonesia dalam tugas pastoral mereka untuk memimpin dan melayani umat Katolik Indonesia.[3] Melalui wadah ini, para uskup bersama-sama merundingkan dan memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan peribadatan dan kegiatan keagamaan Katolik di Indonesia.
Karena organisasi yang berupa konferensi atau kongres, masing-masing uskup merupakan anggota otonom yang tidak membawahi atau dibawahi satu sama lain. Struktur organisasi hanyalah menjadi suatu pengerak organisasi dan bukanlah badan birokrasi atau hierarki. KWI bukanlah sebuah institusi yang membawahi keuskupan-keuskupan, atau dengan kata lain keuskupan bukan KWI cabang atau KWI daerah, karena setiap uskup dalam suatu keuskupan sesungguhnya bertanggung jawab langsung kepada Takhta Suci dan Paus.[3]
KWI bekerja secara fungsional melalui komisi-komisi yang diketuai oleh uskup dan dapat beranggotakan imam-imam dan umat awam.
Tujuan
Konferensi Waligereja Indonesia bertujuan memadukan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan bersama-sama sejumlah tugas pastoral untuk kaum beriman Kristiani, untuk mewujudkan peran serta Gereja dalam meningkatkan kesejahteraan manusia terutama lewat bentuk-bentuk dan cara-cara kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat, menurut norma hukum, agar sedapat mungkin berjalan seirama dan berkesinambungan di seluruh Indonesia.[6]
Selama masa tersebut, para prefek dan vikaris apostolik tersebut merasa perlu untuk bersama-sama berunding agar mencapai kesatuan sikap terhadap Pemerintah Kolonial dalam banyak persoalan, terutama hal-hal yang berhubungan dengan kebebasan misi Katolik untuk memasuki semua wilayah Hindia Belanda dan juga hal-hal yang berhubungan dengan posisi pendidikan Katolik.
Pertemuan tersebut baru dapat terealisasikan dengan menggunakan momentum upacara penahbisan episkopal Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J. sebagai Vikaris Apostolik Batavia pada tanggal 13 Mei 1924 di De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming (sekarang Gereja Katedral Jakarta), ketika vikaris-vikaris dan prefek-prefek apostolik seluruh Hindia Belanda berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada tanggal 15–16 Mei 1924, sidang para waligereja se-Hindia Belanda yang pertama diadakan di gedung yang saat ini menjadi pastoran Gereja Katedral Jakarta. Sidang ini diketuai oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen, S.J., yang baru saja ditahbiskan saat itu. SIdang ini dihadiri oleh 6 orang waligereja, dengan tambahan 2 orang dua orang imam (pastor), yaitu A. H. G. Brocker, M.S.C. dan S. Th. van Hoof, S.J., sebagai narasumber. Beberapa persoalan pokok yang menjadi bahasan dalam sidang pertama itu adalah: penentuan sikap Gereja terhadap politik Pemerintah dan soal-soal Gereja yang meliputi persoalan seputar imamat dan pendidikan imam, pengajaran agama dan penyebarluasan semangat Katolik, serta perwakilan sekretariat tetap untuk para waligereja yang dibentuk di Batavia. Waligereja yang hadir pada sidang saat itu adalah:[3][7]
Prefek Apostolik Celebes: Mgr. Joannes Walter Panis, M.S.C.
Sidang yang kedua kemudian diadakan setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 31 Agustus–6 September 1925, dan kembali bertempat di Kota Batavia. Sidang ini dipimpin oleh seorang utusan Paus Pius X bernama Mgr. B.Y. Gijlswijk, O.P. yang merupakan seorang delegatus apostolik di Afrika Selatan saat itu. Sidang ini dihadiri oleh 8 orang waligereja, beserta imam-imam seperti Pater Th. De Backere, C.M., Pater Cl. Van de Pas, O.Carm., dan Pater Y. Hoederechts, S.J., serta Pater H. Jansen, S.J. dan Pater Y. Van Baal, S.J. yang bertugas sebagai sekretaris dalam sidang tersebut. Selain membahas masalah keuangan sebagai unsur penting penopang karya misi yang akan dimintakan ke Takhta Suci, sidang ini juga membahas tentang masalah penyebaran iman yang diyakini memerlukan kesediaan para imam untuk terus menerus menyelaraskan pewartaannya dengan tradisi dan kesenian setempat, serta memerlukan penyusunan katekismus Katolik yang disesuaikan guna menopang pewartaan iman tersebut. Masalah pendidikan imam juga dibicarakan semakin intensif, di samping masalah koedukasi di sekolah-sekolah Katolik. Pada sidang ini juga, para waligereja membicarakan tentang organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Katolik serta menyepakati agar mengadakan sidang waligereja untuk seluruh waligereja Hindia Belanda sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali. Prefek-prefek apostolik dari yurisdiksi baru yang hadir pada sidang saat itu, selain vikaris-vikaris dan prefek-prefek apostolik yang telah hadir di sidang pertama, yaitu:[3][7]
Prefektur Apostolik Banka-Biliton: Mgr. Theodosius Jan J. Herkenrath, SS.CC.
Pada perkembangan selanjutnya, sidang-sidang waligereja Hindia Belanda kembali diadakan beberapa kali. Sidang ketiga diadakan pada tanggal 4–11 Juni 1929 di Muntilan, Kabupaten Magelang, dan dihadiri oleh 10 waligereja. Sidang keempat diadakan pada tanggal 19–27 September 1934 di rumah retret yang saat ini disebut Rumah Retret Girisonta di Bergas, Kabupaten Semarang, dan dihadiri oleh 10 waligereja serta seorang imam dari Centraal Missie Bureau (CMB; dibentuk pada tahun 1931, sekarang mirip Kawali). Akhirnya, sidang kelima diadakan pada tanggal 16–22 Agustus 1939 juga di Girisonta, serta dihadiri oleh 15 waligereja, 3 orang dari CMB, dan seorang delegatus apostolik untuk Australia saat itu, Mgr. Y. Panico. Dalam tiga kali sidang tersebut, pokok-pokok persoalan yang menyangkut masalah hubungan Gereja dan Negara, pendidikan dan katekese, Undang-Undang Perkawinan, pers dan radio, organisasi-organisasi sosial Katolik, kolonisasi Pulau Laut dan Rawaseneng, Gereja pribumi dan pengurus dana untuk orang papa, upacara-upacara Tionghoa, pendidikan calon-calon imam, penyesuaian kesenian, dan status Gereja di Nusantara sebagai Gereja Misi.[3][7]
Setelah sidang yang terakhir tersebut, sidang-sidang waligereja tidak dapat lagi diadakan hingga pada tahun 1954. Hal ini disebabkan oleh Hindia Belanda (yang kemudian menjadi Indonesia) yang memasuki masa perang dan masa gejolak politik yang tak menentu, terutama dalam masa pendudukan Jepang serta masa awal kemerdekaan dan revolusi nasional, yang menyebabkan kehidupan pelayanan Gereja Katolik di Indonesia menjadi terhambat. Pada tahun 1949–1954, sempat diadakan beberapa pertemuan yang menyatukan beberapa waligereja di Indonesia, tetapi pertemuan tersebut tidak pernah bersifat nasional.[7]
Sidang waligereja yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia akhirnya dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober–2 November 1955 di Bruderan St. Louis (sekarang menjadi SMA Katolik St. Louis 1), Surabaya dan dihadiri oleh 22 orang waligereja (dari 25 orang waligereja yang ada pada saat itu). Keputusan yang paling penting dalam sidang ini ialah pernyataan bahwa untuk seterusnya, sidang para waligereja Indonesia ini dinamakan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI). Selain itu, terdapat pula keputusan untuk membentuk suatu dewan tetap yang bersidang mengenai tugas-tugas harian sedikitnya setahun sekali, yang dinamakan "Dewan Waligereja Indonesia Pusat" (DEWAP), yang diketuai oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. (Vikaris Apostolik Semarang saat itu). Untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan Katolik di Indonesia pula, dibentuklah berbagai panitia yang disebut "Panitia Waligereja Indonesia" (PWI), yang menjadi anggota DEWAP dan menangani salah satu bidang pelayanan Katolik. PWI yang dibentuk pada saat itu adalah PWI Sosial, PWI Aksi Katolik dan Kerasulan Awam, PWI Seminari dan Universitas, PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama, PWI Katekese Umat dan Penyebaran Iman, dan PWI Pers dan Propaganda. SIdang ini juga membentuk "Kantor Waligereja Indonesia" (Kantor KWI atau Kawali) yang menjadi pelaksana tugas harian MAWI. Keputusan-keputusan yang dinyatakan dalam sidang ini di luar keputusan mengenai struktur fungsional MAWI adalah keputusan untuk mendukung adanya Partai Katolik dan pengakuan resmi terhadap Organisasi Pemuda Katolik Pandu Putera (yang saat ini dikenal sebagai Pemuda Katolik), masalah pendidikan seminari, keputusan penerjemahan dan penerbitan Kitab SuciPerjanjian Lama secara bertahap (jilid demi jilid), penerjemahan Rituale Romanum (Ritual Romawi), serta dikeluarkannya surat edaran mengenai soal-soal di bidang politik, sosial dan kebudayaan di Asia untuk mendukung resolusi-resolusi dari Pan-Pacific Conference yang baru diselenggarakan di Melbourne saat itu.[3][7]
Sebelum Sidang MAWI selanjutnya, DEWAP kemudian menyelenggarakan rapat sebanyak dua kali, yaitu rapat tanggal 5–9 November 1956 dan rapat tanggal 25–28 Mei 1959. Kemudian, Sidang MAWI yang kedua diadakan di Rumah Retret Girisonta, Kabupaten Semarang pada tanggal 9–16 Mei 1960. Dari sidang ini, para waligereja Indonesia menuliskan surat kepada paus saat itu, Paus Yohanes XXIII, yang berisikan permohonan resmi agar Sri Paus meresmikan berdirinya Hierarki Gereja Katolik di Indonesia, sebagai jawaban atas umat Katolik yang semakin berkembang pesat. Selain itu, sidang ini juga membahas masalah-masalah penting seputar kesatuan dalam Gereja (sensus catholicus), tentang semangat nasionalisme, pentingnya pengadaan Katekismus Indonesia dan penyediaan buku-buku pelajaran agama Katolik yang pembuatannya diserahkan kepada PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama, pemeliharaan rohani tentara, dan penegasan akan pentingnya pendidikan liturgi bagi umat.[3][7]
Sidang para waligereja yang telah menjadi uskup diosesan tersebut selanjutnya terlaksana di sela-sela penyelenggaraan Konsili Vatikan II (1962–1965). Selama berada di Roma dan Vatikan, para waligereja Indonesia menyelenggarakan rapat tersendiri di Feyor Unitas. Rapat-rapat para uskup Indonesia tersebut diketuai oleh Mgr. A. Soegijapranata (Uskup Agung Semarang) pada tahun 1962, yang kemudian digantikan Mgr. A. Djajasepoetra (Uskup Agung Jakarta) pada tahun 1963 dan Mgr. Justinus Darmojuwono (Uskup Agung Semarang yang baru) pada tahun 1964–1965, setelah Mgr. A. Soegijapranata meninggal dunia pada tanggal 22 Juli 1963 di Steyl, Belanda. Selain membahas hal-hal penting yang umumnya menjadi topik bahasan dalam Konsili Vatikan II, uskup-uskup Indonesia dalam rapat-rapat tersebut juga berbicara masalah penting lainnya, misalnya masalah pendidikan Katolik dan pendirian universitas Katolik. Di samping itu pula, MAWI juga menyelenggarakan sidangnya di Indonesia, yaitu pada tanggal 25–30 Mei 1964 dan tanggal 20–28 Agustus 1965, keduanya di Rumah Retret Girisonta.[7]
Setelah Konsili Vatikan II, Sidang MAWI diadakan kembali pada tanggal 15–26 Oktober 1966 di Rumah Retret Girisonta. Pada sidangnya kali ini, para uskup memberikan resolusi atau seruan kepada umat awam, organisasi-organisasi Katolik, dan para rohaniwan. Sidang MAWI menyerukan kepada kaum awam Katolik agar ikut terlibat dalam karya kemasyarakatan sehingga dapat membangun masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Gereja, sehingga kerasulan awam semakin nyata dan dirasakan, terutama di bidang politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Para awam dalam keterlibatannya di bidang-bidang tersebut tidak harus atas nama Gereja, tetapi dapat pula atas nama organisasi atau atas nama perseorangan. Organisasi-organisasi Katolik, khususnya Wanita Katolik dan Pemuda Katolik diharapkan bekerjasama dengan baik dan pertama-tama berjuang untuk kepentingan umum menurut norma-norma ajaran Gereja. Sedangkan kepada para rohaniwan, diserukan agar memerankan diri sebagai moderator bagi organisasi-organisasi Katolik dengan tugas utamanya mendorong, menasihati, dan membantu, bukan malah sebaliknya, yakni menguasai, memimpin dan mengambil alih fungsi pengurus.[7]
Perubahan struktur fungsional MAWI
Sidang MAWI 1968 dilaksanakan di Klaten, pada tanggal 14–24 Oktober. Dalam sidang ini, fokus pembicaraannya adalah menanggapi Ensiklik Humanae Vitae yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI. Setelah hasil pembicaraan ini, MAWI mengirim tiga buah surat yang masing-masing tertuju kepada Sri Paus, kepada para imam, dan umat Katolik. Pada ini pula, terjadi perubahan-perubahan struktural dalam lembaga-lembaga MAWI. PWI Seminari dan Universitas dihapuskan dan tugas diambil alih oleh Bagian Pendidikan. SIdang ini juga membentuk struktur Sekretariat Jenderal yang mencakup Bagian Umum, Bagian Pendidikan, dan Bagian Pastoral. Dalam tahun tersebut pula, dibentuk dua lembaga MAWI baru, yaitu Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS).[3][7]
Sidang MAWI 1970–1973 diselenggarakan pada tanggal 19 November–3 Desember 1970, tanggal 22 November–3 Desember 1971, tanggal 13–23 November 1972, dan tanggal 12–22 November 1973, seluruhnya di Gedung MAWI (sekarang menjadi Kantor KWI), Jakarta.[7] Sejak sidang tahun 1970 tersebut, terjadi banyak perubahan dalam struktur dan cara kerja penyelenggaraan kelembagaan MAWI. Struktur Sekretariat Jenderal MAWI berubah banyak, sehingga tersusun atas:
Kantor Waligereja Indonesia, yang terdiri dari Bagian Umum/Keuangan, Bagian Personalia, Bagian Pendidikan, dan Bagian Penerangan.
Panitia Waligereja Indonesia (PWI), yaitu PWI Oikumene, PWI Seminari, PWI Komunikasi Sosial, PWI Sosial dan Ekonomi, PWI Kateketik, PWI Kerasulan Awam, PWI Liturgi, dan PWI Pendidikan.
Lembaga-lembaga, yaitu Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS) dan Lembaga Biblika Indonesia (LBI).
Selain itu, Sidang MAWI sejak saat itu diadakan setiap tahun sebagai "sidang tahunan" dan biasanya jatuh pada bulan November di Jakarta. Selain sidang tahunan tersebut, terdapat juga "sidang sinodal" yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. DEWAP juga dihapuskan dan diganti oleh Presidium MAWI, yang menjadi tonggak kepemimpinan tertinggi setelah Sidang MAWI.[3]
Pada tahun-tahun selanjutnya, beberapa badan baru dibentuk dan struktur dalam Sekretariat Jenderal MAWI mengalami perubahan-perubahan. Pada tahun 1974, dibentuk suatu lembaga baru bernama Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga di Indonesia (LK3I). Pada tahun 1975, PWI Oikumene diganti menjadi PWI Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK). Pada tahun 1976, didirikan satuan tugas (task force) di dalam MAWI untuk membantu MAWI menanggapi soal-soal mendesak yang diajukan oleh instansi-instansi sipil, militer, atau swasta. Pada tahun 1979, dibentuk PWI Karya Misioner. Pada tahun 1982, dibentuk suatu lembaga baru bernama “Sekretariat Keadilan dan Perdamaian" (SKP, Office for Justice and Peace).[3]
Perubahan menjadi KWI kini
Pada tahun 1982 yang sama, istilah "Panitia Waligereja Indonesia" (PWI) diganti menjadi "komisi". Demikian pula istilah "bagian" dalam Kantor KWI diubah menjadi "departemen". Pada tahun 1985, MAWI menyetujui pembentukan Komisi Muda Mudi KWI.[3]
Puncaknya pada tahun 1987, dalam putusan sidang tahunan, Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) berganti nama menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Presidium MAWI juga beralih menjadi Presidium KWI. Istilah "Konferensi Waligereja Indonesia" tersebut disesuaikan dengan nama lembaga ini dalam bahasa Latin dan mengikuti bahasa-bahasa lain di seluruh dunia. Perubahan nama ini dilaksanakan bertepatan dengan berlangsungnya proses penyusunan Statuta KWI yang baru yang diselaraskan dengan Kitab Hukum Kanonik 1983 terbaru, serta diundangkannya Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Statuta KWI yang baru ini disahkan oleh Takhta Suci pada tanggal 24 April 1992.[3]
Pada tahun 1991, dibentuk Komisi Teologi. Pada tahun 1994, Lembaga Katolik untuk Kesejahteraan Keluarga Indonesia (LK3I) dihapus dan digantikan dengan Komisi Keluarga KWI.[3]
Kemudian pada sidang tahunan KWI tahun 2001, diputuskan bahwa Sidang KWI tahun 2002 akan dilaksanakan sebanyak dua kali, yaitu pada bulan April dan bulan November. Pada Sidang KWI bulan April 2002, tepatnya pada tanggal 23–26 April 2002, beberapa keputusan penting telah diambil. Salah satunya adalah pembubaran Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS) dan persetujuan Jaringan Mitra Perempuan (JMP) menjadi sebuah sekretariat dalam struktur KWI bernama Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP).[3]
Peringatan 100 tahun
Peringatan 100 tahun Konferensi Waligereja Indonesia dilaksanakan pada tahun 2024. Dalam tahun tersebut dilaksanakan dua sidang tahunan, yakni pada 13–15 Mei dan 7–13 November. Tema yang dipilih ialah Berjalan Bersama Membangun Gereja dan Bangsa. Sebagai rangakaian perayaan, pada Mei 2024 KWI meresmikan kantor yang telah selesai direnovasi.[8] Dalam Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tahun 2024, KWI juga mempertemukan sejumlah penyandang disabilitas dengan Paus Fransiskus.[9] Perayaan 100 tahun KWI juga diselenggarakan dalam bentuk konser musik pada 9 November 2024.[10] Sebagai penutup rangkaian perayaan, dilaksanakan Misa di Katedral Jakarta yang dihadiri oleh para uskup di Indonesia pada tanggal 13 November 2024.[11][12]
Seseorang yang memiliki keanggotaan di dalam Konferensi Waligereja Indonesia adalah seorang "waligereja", yaitu seorang uskup diosesan, seorang uskup tituler yang tengah menjalankan tugas membantu uskup diosesan (seperti uskup koajutor dan uskup auksilier), seorang uskup tituler yang menjalankan tugas dan kewajiban serupa dengan uskup diosesan (seperti vikaris apostolik), atau seorang imam yang memiliki tugas dan wewenang yang serupa dengan uskup (seperti prefek apostolik), yang seluruhnya aktif menjabat di suatu keuskupan di Indonesia. Keanggotaan tersebut tidak mencakup uskup yang tidak mewakili atau tidak lagi bertugas di seluruh keuskupan di Indonesia, seperti uskup emeritus (uskup yang telah masuk masa purnatugas/pensiun), nunsius, atau sejenisnya.[6]
Uskup-uskup diosesan aktif yang menjadi anggota KWI adalah sebagai berikut.
Tugas pelayanan Konferensi Waligereja Indonesia yang telah diputuskan dalam Sidang KWI dijalankan oleh fungsionaris atau pengurus KWI. Susunan pejabat fungsionaris KWI umumnya ditunjuk dalam sidang umum tersebut. Struktur badan utama KWI adalah sebagai berikut.
Sidang Umum Anggota
Sidang Umum Anggota KWI adalah sidang umum yang diadakan oleh para waligereja anggota. Sidang ini merupakan pemegang kekuasaan dan pembuat keputusan yang tertinggi di dalam KWI.[6]
Para waligereja anggota mengadakan sidang sebanyak satu kali dalam setahun. Selain laporan tahunan mengenai kegiatan Komisi, Lembaga, Sekretariat dan Departemen (KLSD) KWI yang disampaikan dalam rapat ini, dibicarakan pula hal-hal penting yang terkait dengan karya dan reksa pastoral Gereja Katolik Indonesia pada saat itu.[6]
Beberapa tahun terakhir ini, sidang diawali dengan "Hari Studi Para Uskup", yang membahas topik-topik penting dalam karya pastoral Gereja Indonesia, misalnya pendidikan, kesehatan, katekese, ekopastoral, dan narkoba. Hasil Hari Studi Para Uskup disebarluaskan dalam bentuk pendek (yang disebut "Pesan Pastoral KWI") atau dalam bentuk panjang (yang dinamakan "Nota Pastoral KWI").[6]
Pada beberapa dekade terakhir ini, setiap lima tahun sekali sidang didahului dengan pertemuan bersama umat Katolik seluruh Indonesia, yang disebut Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI). Pada pertemuan itu berkumpul wakil-wakil umat awam dari semua keuskupan di Indonesia untuk membicarakan tema tertentu yang dirasakan penting untuk dibahas terkait dengan karya pastoral di Indonesia, misalnya pertemuan tahun 2000 berbicara tentang Komunitas Basis Gerejawi (KBG), pertemuan tahun 2005 tentang keadaban publik, pertemuan tahun 2010 tentang pewartaan Yesus, dan pertemuan tahun 2015 tentang keluarga Katolik.[6]
Presidium
Presidium KWI (dahulu disebut "Dewan Waligereja Indonesia Pusat" atau DEWAP) adalah suatu dewan tetap di dalam KWI yang berfungsi memimpin KWI secara kolegial. Presidium merupakan perangkat pembuat keputusan tertinggi setelah Sidang Umum Anggota KWI.[6] Pimpinan Presidium adalah "Ketua Presidium", yang dibantu oleh beberapa wakil dan bendahara. Anggota-anggotanya dipilih dari uskup-uskup yang masing-masing mewakili provinsi gerejawi tertentu.
Berikut ini merupakan susunan jabatan fungsionaris Presidium KWI saat ini:[1][2]
Ketua
:
Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, O.S.C. (Uskup Bandung)
Sekretariat Jenderal KWI adalah suatu badan KWI yang mengatur, menjalankan, dan mengoordinasikan seluruh hasil keputusan sidang dan tugas-tugas KWI secara terperinci demi tercapainya tujuan-tujuan KWI.[6] Pimpinan umum untuk Sekretariat Jenderal adalah "Sekretaris Jenderal", sementara pelaksana tugas-tugas harian kepemimpinan dijalankan oleh "Sekretaris Eksekutif".
Sekretariat Jenderal bermarkas di "Kantor Waligereja Indonesia" (Kantor KWI atau Kawali), yang merupakan kantor pusat KWI. Kantor KWI dikelola oleh suatu perangkat yang disebut "Direksi", dengan pimpinan yang disebut "Direktur" yang merupakan jabatan rangkap yang dipegang oleh Sekretaris Eksekutif. Di tempat ini, Presidium dan Dewan Moneter dapat bertemu dan berembuk atas suatu masalah dan menghasilkan keputusan tertentu. Dalam sejarah KWI, Sidang KWI juga telah beberapa kali dilaksanakan di Kantor KWI.[6]
Sekretariat Jenderal membawahi perangkat-perangkat KWI yang mengurusi bidang-bidang yang spesifik, yang secara kolektif disebut "Komisi, Lembaga, Sekretariat, dan Departemen" (KLSD). Sekretariat Jenderal mengawasi dan mengoordinasikan tugas dan metode kerja KLSD.
Berikut ini merupakan susunan jabatan fungsionaris Sekretaris Jenderal KWI saat ini:[1][2][14]
Dewan Moneter KWI adalah suatu badan mandiri di dalam KWI yang bertanggung jawab atas pengelolaan aset-aset yang beratasnamakan KWI.[6] Dewan Moneter berisikan "Ketua Dewan Moneter" dan beberapa anggota.
Berikut ini merupakan susunan jabatan fungsionaris Dewan Moneter KWI saat ini:[2]
Ketua
:
Mgr. Yustinus Harjosusanto, M.S.F. (Uskup Agung Samarinda)
Anggota I
:
Mgr. Silvester Tung Kiem San (Uskup Denpasar)
Anggota II
:
Mgr. Hilarion Datus Lega (Uskup Manokwari–Sorong)
KLSD
Selain badan-badan utama, terdapat perangkat-perangkat otonom yang berada dalam naungan KWI dan bertanggung jawab pada Sekretaris Jenderal KWI. Perangkat-perangkat tersebut secara kolektif disebut Komisi, Lembaga, Sekretariat, dan Departemen (KLSD). KLSD bertugas untuk menjalankan dan mengatur bidang-bidang pastoral dan pelayanan yang spesifik. Tugas-tugas dari perangkat-perangkat KLSD dipertanggungjawabkan setiap tahunnya di dalam Sidang Umum Anggota KWI. Berikut ini merupakan perangkat-perangkat KLSD.
Komisi
Komisi (dahulu disebut "Panitia Waligereja Indonesia" atau PWI) merupakan suatu perangkat KWI yang bertugas untuk menangani suatu bidang pastoral (penggembalaan dan pelayanan) tertentu. Komisi dipimpin oleh "Ketua" yang dijabat oleh uskup anggota dan "Sekretaris Eksekutif" sebagai pelaksana tugas-tugas harian kepemimpinan.[6] Tugas mereka dipertanggungjawabkan setiap tahunnya di dalam Sidang Umum Anggota KWI.
Saat ini, terdapat 13 komisi yang dibentuk di dalam KWI. Komisi-komisi beserta ketuanya tersebut adalah sebagai berikut.[15][16][2]
Lembaga adalah bentuk perangkat KWI yang juga bertugas untuk menangani suatu bidang pastoral tertentu. Tidak seperti komisi, lembaga memiliki hak otonomi dan kebebasan yang lebih luas dan independen. Hal ini dapat terlihat dari susunan fungsionaris lembaga yang tidak menempatkan suatu uskup anggota KWI sebagai ketua, tetapi sebagai "Delegatus". Pimpinan dan pelaksana tugas kepemimpinan dijalankan oleh "Ketua".[6]
Sekretariat merupakan bentuk perangkat KWI lainnya yang menangani suatu bidang pastoral tertentu. Sekretariat merupakan perangkat rintisan yang mencoba untuk bergerak di bidang pastoral tersebut. Pimpinan dan pelaksana tugas kepemimpinan tidak dijalankan oleh ketua, tetapi seluruhnya oleh "Sekretaris Eksekutif". Uskup anggota KWI ditempatkan sebagai "Moderator" dalam sekretariat.
Saat ini, satu-satunya sekretariat yang ada adalah Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP).[19]
Departemen
Departemen adalah suatu perangkat KWI yang khusus bergerak di bidang sarana dan prasarana penunjang KWI. Tidak seperti ketiga jenis perangkat yang lainnya yang menunjang bidang-bidang eksternal KWI, departemen mengurusi urusan-urusan internal KWI itu sendiri. Selain itu, hak otonomi dan kebebasan yang dimiliki oleh departemen juga lebih terbatas.
Saat ini, terdapat 3 departemen yang dibentuk di dalam KWI.
Departemen Keuangan (Depkeu)
Departemen Dokumentasi dan Penerangan (Dokpen)
Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pelayanan Umum, dan Tenaga Gereja (PSDM–PU–TG)