^Meskipun Israel menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005, Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi hak asasi manusia internasional dan banyak pakar hukum menganggap Jalur Gaza masih berada di bawah pendudukan militer oleh Israel,[2] karena Israel masih memegang kendali langsung atas ruang udara dan maritim Gaza, enam dari tujuh penyeberangan darat Gaza, zona penyangga larangan bepergian di wilayah tersebut, dan daftar penduduk Palestina. Namun, Israel dan pakar hukum lainnya membantah hal ini.[3]
Jalur Gaza (bahasa Arab: قطاع غزةQiṭāʿ Ġazzah, IPA:[qɪˈtˤɑːʕˈɣazza]) adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur Laut Tengah, bagian dari wilayah Negara Palestina, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya (11 km), dan Israel di sebelah timur dan utara (51 km (32 mi). Jalur Gaza memiliki panjang sekitar 41 kilometer (25 mi) dan lebar antara 6 hingga 12 kilometer (3,7 hingga 7,5 mi), dengan luas total 365 kilometer persegi (141 sq mi).[6] Populasi di Jalur Gaza berjumlah sekitar 1,7 juta jiwa.[7] Mayoritas penduduknya besar dan lahir di Jalur Gaza, selebihnya merupakan pengungsi Palestina[8] yang melarikan diri ke Gaza setelah meletusnya Perang Arab-Israel 1948. Populasi di Jalur Gaza didominasi oleh Muslim Sunni. Tingkat pertumbuhan penduduknya pertahun mencapai angka 3,2%, menjadikannya sebagai wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi ke-7 di dunia.[7]
Jalur Gaza memperoleh batas-batasnya saat ini pada akhir perang tahun 1948, yang ditetapkan melalui Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir pada tanggal 24 Februari 1949.[9] Pasal V dari perjanjian ini menyatakan bahwa garis demarkasi di Jalur Gaza bukanlah merupakan perbatasan internasional. Jalur Gaza selanjutnya diduduki oleh Mesir. Pada awalnya, Jalur Gaza secara resmi dikelola oleh Pemerintahan Seluruh Palestina, yang didirikan oleh Liga Arab pada bulan September 1948. Sejak pembubaran Pemerintahan Seluruh Palestina pada tahun 1959 hingga 1967, Jalur Gaza secara langsung dikelola oleh seorang gubernur militer Mesir.
Israel merebut dan menduduki Jalur Gaza dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967. Berdasarkan Persetujuan Damai Oslo yang disahkan pada tahun 1993, Otoritas Palestina ditetapkan sebagai badan administratif yang mengelola pusat kependudukan Palestina. Israel mempertahankan kontrolnya terhadap Jalur Gaza di wilayah udara, wilayah perairan, dan lintas perbatasan darat dengan Mesir. Israel secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005.
Pada tanggal 22 September 1948, menjelang akhir Perang Arab-Israel 1948, Pemerintahan Seluruh Palestina diproklamasikan oleh Liga Arab di Kota Gaza yang diduduki Mesir. Pemerintahan ini didirikan oleh Liga Arab untuk membatasi pengaruh Transyordania di Palestina. Pembentukan Pemerintahan Seluruh Palestina ini diakui oleh enam dari tujuh negara anggota Liga Arab, yaitu: Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.p sedangkan negara Liga Arab yang tidak mengakui adalah Transyordania. Di luar Liga Arab, tidak satupun negara yang mengakui pembentukan pemerintahan tersebut.[15]
Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir yang disahkan pada tanggal 24 Februari 1949 mengakhiri permusuhan antara kedua belah pihak, sekaligus menetapkan garis perbatasan antara pasukan Mesir dan Israel. Perjanjian ini juga menetapkan perbatasan antara Jalur Gaza dengan Israel yang tetap berlaku hingga saat ini. Kedua belah pihak menyatakan bahwa batas tersebut bukanlah perbatasan internasional, sedangkan perbatasan selatan dengan Mesir tetap menjadi perbatasan internasional yang telah ditetapkan pada tahun 1906 antara Kekaisaran Utsmaniyah dan Imperium Britania.[16]
Populasi di Jalur Gaza terus meningkat seiring dengan masuknya gelombang besar-besaran pengungsi Palestina yang keluar dari israel sebelum dan selama terjadinya peperangan. Warga palestina yang tinggal di Jalur Gaza atau Mesir menerbitkan paspor Seluruh Palestina. Mesir tidak menawarkan untuk memberikan kewarganegaraan kepada pengungsi Palestina. Sejak akhir 1949, para pengungsi ini menerima bantuan langsung dari badan PBBUNRWA. Selama berlangsungnya Kampanye Sinai November 1956, Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai diduduki oleh tentara Israel. Adanya tekanan internasional membuat Israel akhirnya menarik diri dari Jalur Gaza. Pemerintahan Seluruh Palestina dibubarkan oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser pada tahun 1959.
Setelah pembubaran Pemerintahan Seluruh Palestina pada tahun 1959, dengan dalih pan-Arabisme, Mesir terus menduduki Jalur Gaza hingga tahun 1967. Pada kenyataannya, Mesir tidak pernah menganeksasi Jalur Gaza, melainkan memperlakukannya sebagai teritori dan mengelolanya melalui seorang gubernur militer[17]
Peta Gaza
Israel kembali menguasai Jalur Gaza pada bulan Juni 1967 setelah berakhirnya Perang Enam Hari. Selama periode ini, Israel mendirikan sebuah blok pemukiman bernama Gush Katif di sudut barat daya, di dekat Rafah dan perbatasan Mesir. Secara total Israel menciptakan 21 pemukiman di Jalur Gaza, yang terdiri dari 20% dari luas wilayah.
Pada bulan Maret 1979, Israel dan Mesir menandatangani Perjanjian Damai Israel-Mesir. Perjanjian ini antara lain menyatakan bahwa Israel harus menarik warga sipil dan tentaranya dari Semenanjung Sinai yang telah diduduki oleh Israel selama Perang Enam Hari, ke perbatasan internasional yang ditetapkan pada tahun 1906.[butuh rujukan] Mesir sepakat untuk men-demiliterisasi Semenanjung Sinai. Status akhir dari Jalur Gaza dan hubungan lainnya antara Israel dan Palestina tidak diatur dalam perjanjian ini. Mesir menolak klaim teritorial Israel atas wilayah di sebelah utara perbatasan internasional. Jalur Gaza tetap berada di bawah kendali militer Israel hingga tahun 1994.
Intifada Kedua pecah pada bulan September 2000, ditandai dengan terjadinya berbagai gelombang protes, kerusuhan sipil, dan pengeboman terhadap militer Israel dan warga sipil, kebanyakan dilakukan oleh pembom bunuh diri, peluncuran roket dan bom ke daerah perbatasan Israel oleh gerilyawan Palestina dari Jalur Gaza, terutama oleh gerakan Hamas dan Jihad Islam. Pada bulan Februari 2005, pemerintah Israel memutuskan untuk menerapkan rencana penarikan diri sepihak dari Jalur Gaza. Rencana ini mulai diterapkan pada tanggal 15 Agustus 2005, dan selesai pada tanggal 12 September 2005. Berdasarkan rencana tersebut, semua permukiman dan pangkalan militer Israel di Jalur Gaza (empat di Tepi Barat) dan Zona Industri Bersama Israel-Palestina dibongkar. Pada tanggal 12 September 2005, kabinet Israel secara resmi menyatakan bahwa Israel secara resmi mengakhiri pendudukan militernya di Jalur Gaza. Israel juga menarik diri dari Rute Philadelphia, jalur sempit yang berdekatan dengan jalur perbatasan dengan Mesir. Namun, Israel tetap mempertahankan kontrolnya atas jalur perlintasan masuk dan keluar dari Gaza. Perlintasan Rafah antara Mesir dan Gaza dipantau oleh tentara Israel melalui kamera pengawasan khusus.
Penarikan diri sepihak Israel (2005)
Angkatan Pertahanan Israel meninggalkan Jalur Gaza pada tanggal 1 September 2005 sebagai bagian dari rencana penarikan diri sepihak Israel, dan semua warga negara Israel diusir dari daerah tersebut. Sebuah perjanjian antara Israel dan Otoritas Palestina yang ditengahi oleh Condoleezza Rice disahkan pada bulan November 2005. Perjanjian ini bertujuan untuk meningkatkan kebebasan warga Palestina untuk melakukan kegiatan ekonomi di Jalur Gaza. Berdasarkan ketentuan perjanjian tersebut, perlintasan Rafah dengan Mesir harus dibuka kembali, dan lalu lintasnya dipantau oleh Otoritas Nasional Palestina dan Uni Eropa. Hanya orang-orang dengan ID Palestina, atau warga negara asing dalam kategori tertentu yang tunduk pada pengawasan Israel, yang diizinkan untuk memasuki dan keluar dari Jalur Gaza. Semua barang, kendaraan dan truk yang berasal atau menuju Mesir yang melewati Perlintasan Kerem Shalom, juga berada di bawah pengawasan penuh militer Israel.[18]
Otoritas Palestina
Pada bulan Mei 1994, setelah perjanjian Palestina-Israel, atau yang dikenal sebagai Persetujuan Damai Oslo disahkan, transfer pemerintahan dari Israel ke Palestina mulai dilakukan secara bertahap. Sebagian Jalur Gaza (kecuali untuk blok permukiman dan pangkalan militer) berada di bawah kendali Palestina. Tentara Israel meninggalkan Gaza dan daerah perkotaan lainnya. Otoritas Palestina, yang dipimpin oleh Yasser Arafat, memilih Kota Gaza sebagai pusat administrasi. Pada bulan September 1995, Israel dan OPP menandatangani perjanjian damai kedua yang memperluas kewenangan Otoritas Palestina terhadap kota-kota di Tepi Barat. Perjanjian tersebut juga membentuk 88 anggota Dewan Nasional Palestina terpilih, yang menggelar sidang perdananya di Gaza pada bulan Maret 1996.
Antara tahun 1994 dan 1996, Israel membangun pembatas Jalur Gaza Israel untuk meningkatkan keamanan di Israel. Sebagian besar pembatas ini dirobohkan oleh Palestina pada awal Intifada Al-Aqsa bulan September 2000.[19] Pada bulan Desember 2000 hingga Juni 2001, pembatas antara Gaza dan Israel dibangun kembali.[20] Selain itu, Israel juga masih memiliki hak untuk mengontrol perbatasan utara Jalur Gaza, serta wilayah perairan dan udara, sedangkan Mesir mengontrol perbatasan selatan Jalur Gaza.[21]
Saat ini, Jalur Gaza berada di bawah pemerintahan Hamas. Sejak 2007 hingga 2014, pemerintahan Hamas dipimpin oleh Ismail Haniyeh, dan kembali dipimpin oleh orang yang sama sejak 2017.[22]
PBB, Human Rights Watch, dan organisasi serta LSM internasional lainnya menganggap bahwa Israel masih menduduki Jalur Gaza karena Israel-lah yang menguasai wilayah udara dan perairan Gaza dan tidak memungkinkan dilakukannya pergerakan barang ke dalam atau keluar Gaza lewat udara atau laut (hanya melalui darat).[23][24][25] Namun, lintas perbatasan dengan Mesir tidak dikontrol oleh Israel. Seperti halnya Israel, Mesir juga membatasi lalu lintas barang dan orang yang melintasi perbatasan. Israel menyatakan bahwa Gaza tidak lagi didudukinya, karena Israel tidak memiliki hak kontrol efektif atau kewenangan atas daratan di Jalur Gaza.[26][27]Menteri Luar Negeri IsraelTzipi Livni menyatakan pada tahun 2008: "Israel hengkang dari Gaza. Membongkar permukimannya disana. Tak ada lagi tentara Israel yang tersisa disana setelah penarikan diri dari wilayah itu."[28] Setelah Israel mundur pada tahun 2005, Pemimpin Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, menyatakan bahwa status hukum dari Jalur Gaza tidak mengalami perubahan,[26] dan status Gaza masih tidak jelas setelah Operasi Cast Lead dan invasi Israel di Gaza pada bulan Januari 2009.[29] Pada tahun 2012, pendiri Hamas, Mahmoud Zahar, menyatakan bahwa Gaza tidak lagi diduduki.[30]
^Sanger, Andrew (2011). "The Contemporary Law of Blockade and the Gaza Freedom Flotilla". Dalam M.N. Schmitt; Louise Arimatsu; Tim McCormack. Yearbook of International Humanitarian Law - 2010. 13. Springer Science & Business Media. hlm. 429. doi:10.1007/978-90-6704-811-8_14. ISBN978-90-6704-811-8. Israel claims it no longer occupies the Gaza Strip, maintaining that it is neither a State nor a territory occupied or controlled by Israel, but rather it has 'sui generis' status. Pursuant to the Disengagement Plan, Israel dismantled all military institutions and settlements in Gaza and there is no longer a permanent Israeli military or civilian presence in the territory. However, the Plan also provided that Israel will guard and monitor the external land perimeter of the Gaza Strip, will continue to maintain exclusive authority in Gaza air space, and will continue to exercise security activity in the sea off the coast of the Gaza Strip as well as maintaining an Israeli military presence on the Egyptian-Gaza border, and reserving the right to reenter Gaza at will. Israel continues to control six of Gaza's seven land crossings, its maritime borders and airspace and the movement of goods and persons in and out of the territory. Egypt controls one of Gaza's land crossings. Gaza is also dependent on Israel for water, electricity, telecommunications and other utilities, currency, issuing IDs, and permits to enter and leave the territory. Israel also has sole control of the Palestinian Population Registry through which the Israeli Army regulates who is classified as a Palestinian and who is a Gazan or West Banker. Since 2000 aside from a limited number of exceptions Israel has refused to add people to the Palestinian Population Registry. It is this direct external control over Gaza and indirect control over life within Gaza that has led the United Nations, the UN General Assembly, the UN Fact Finding Mission to Gaza, International human rights organisations, US Government websites, the UK Foreign and Commonwealth Office and a significant number of legal commentators, to reject the argument that Gaza is no longer occupied. * Scobbie, Iain (2012). Elizabeth Wilmshurst, ed. International Law and the Classification of Conflicts. Oxford University Press. hlm. 295. ISBN978-0-19-965775-9. Even after the accession to power of Hamas, Israel's claim that it no longer occupies Gaza has not been accepted by UN bodies, most States, nor the majority of academic commentators because of its exclusive control of its border with Gaza and crossing points including the effective control it exerted over the Rafah crossing until at least May 2011, its control of Gaza's maritime zones and airspace which constitute what Aronson terms the 'security envelope' around Gaza, as well as its ability to intervene forcibly at will in Gaza. * Gawerc, Michelle (2012). Prefiguring Peace: Israeli-Palestinian Peacebuilding Partnerships. Lexington Books. hlm. 44. ISBN9780739166109. While Israel withdrew from the immediate territory, it remained in control of all access to and from Gaza through the border crossings, as well as through the coastline and the airspace. In addition, Gaza was dependent upon Israel for water, electricity sewage communication networks and for its trade (Gisha 2007. Dowty 2008). In other words, while Israel maintained that its occupation of Gaza ended with its unilateral disengagement Palestinians – as well as many human rights organizations and international bodies – argued that Gaza was by all intents and purposes still occupied.
^Cuyckens, Hanne (2016). "Is Israel Still an Occupying Power in Gaza?". Netherlands International Law Review. 63 (3): 275–295. doi:10.1007/s40802-016-0070-1. ISSN0165-070X.
^Gardus, Yehuda; Shmueli, Avshalom, ed. (1978–79). The Land of the Negev (English title). Ministry of Defense Publishing.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link) (Ibrani), pp. 369–370
^[1]Diarsipkan 2012-11-13 di Wayback Machine. "'Against whom could we demonstrate in the Gaza Strip? When Gaza was occupied, that model was applicable,' Zahar said." Retrieved from Ma'an News Agency, January 5, 2012
Bibliografi
Cobham, David P.; Kanafani, Noman (2004). The economics of Palestine: economic policy and institutional reform for a viable Palestinian state (edisi ke-Illustrated). Routledge. ISBN0-415-32761-X, 9780415327619 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan).