Immanuel Kant

Immanuel Kant
Lahir(1724-04-22)22 April 1724
Königsberg, Kerajaan Prusia
Meninggal12 Februari 1804(1804-02-12) (umur 79)
Königsberg, Kerajaan Prusia
Tempat tinggalKerajaan Prusia
KebangsaanJerman
EraFilsafat abad ke-18
KawasanFilsafat barat
AliranKantianisme
Filsafat Pencerahan
Minat utama
Epistemologi · Metafisika · Etika
Gagasan penting
Imperatif kategoris
Idealisme transendental
Sintetik a priori
Ansichtslosigkeit
Etika Kant
Filsafat kritis
Sapere aude
Hipotesis nebula
Rechtsstaat
Tanda tangan

Immanuel Kant (UK /kænt/,[1][2] US /kɑːnt/,[3][4] Jerman: [ɪˈmaːnu̯eːl ˈkant, -nu̯ɛl];[5][6] 22 April 1724 – 12 Februari 1804) adalah seorang filsuf Jerman dan salah satu intelektual utama Abad Pencerahan.[7][8] Karya Kant yang komprehensif dan sistematis dalam bidang epistemologi, metafisika, etika, dan estetika telah menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh dalam filsafat Barat modern.[7][9]

Dalam gagasannya tentang idealisme transendental, Kant berargumen bahwa ruang dan waktu hanyalah "bentuk-bentuk intuisi" yang membentuk semua pengalaman. Oleh karena itu, meski "hal-hal-dalam-dirinya" itu ada dan berkontribusi pada pengalaman, namun itu tetap berbeda dari objek pengalaman. Dari sini dapat disimpulkan bahwa objek pengalaman hanyalah apa yang tampak, dan sifat segala sesuatu pada dirinya sendiri (an sich) tidak dapat diketahui oleh manusia.[10][11] Dalam upaya untuk menentang skeptisisme yang ia temukan dalam tulisan-tulisan karya filsuf David Hume,[12] ia menulis Critique of Pure Reason (1781/1787),[13] salah satu karyanya yang paling terkenal. Dalam karyanya itu, ia mengembangkan sebuah teori pengalaman untuk menjawab pertanyaan apakah pengetahuan apriori sintetik itu mungkin. Hal ini pada gilirannya akan memungkinkan untuk menentukan batas-batas penyelidikan metafisika. Kant menyamakan idenya dengan revolusi Copernicus untuk menentukan objek indera sebagai sesuatu yang sesuai dengan bentuk intuisi spasial dan temporal kita, sehingga kita memiliki apriori kognisi tentang objek tersebut.[a]

Kant berpandangan bahwa akal merupakan sumber moralitas, dan estetika muncul dari kemampuan penilaian yang tidak memihak. Pandangan Kant terus memiliki pengaruh besar pada bidang ilmu filsafat kontemporer, terutama bidang epistemologi, etika, teori politik, dan estetika pasca-modern.[9] Dia berusaha menjelaskan hubungan antara akal dan pengalaman manusia dan bergerak melampaui apa yang dia yakini sebagai kegagalan filsafat dan metafisika tradisional. Dia ingin mengakhiri apa yang dia anggap sebagai era teori pengalaman manusia yang sia-sia dan spekulatif dan menolak skeptisisme para pemikir seperti Hume. Kant dianggap telah menunjukkan jalan melewati kebuntuan antara rasionalisme dan empirisme,[15] dan secara luas telah mensintesis kedua tradisi tersebut dalam pemikirannya.[16]

Kant mendukung gagasan bahwa perdamaian abadi dapat tercapai melalui demokrasi universal dan kerjasama internasional, dan mungkin hal ini bisa menjadi tahap puncak dari sejarah dunia.[17] Pandangan keagamaan Kant terus menjadi subyek perdebatan ilmiah, mulai dari kesan bahwa ia bergeser dari posisi argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan ke agnostisisme berprinsip, ke pandangan yang lebih kritis seperti yang dicontohkan oleh Schopenhauer, yang mengkritik bentuk imperatif etika Kant sebagai "moral teologis", hingga Nietzsche yang mengklaim bahwa Kant mempunyai "darah teolog"[18] dan hanyalah pembela agama Kristen tradisional yang ahli.[b] Di luar pandangan agamanya, Kant telah dikritik karena rasisme dalam beberapa makalahnya seperti "Perihal Kegunaan Prinsip Teleologi Dalam Filsafat" and "Perihal Perbedaan Ras-Ras Manusia".[20][21][22][23] Meskipun dalam sebagian besar karirnya dia menjadi pendukung rasisme ilmiah, pandangan Kant tentang ras berubah secara signifikan dalam dekade terakhir kehidupannya. Pada akhirnya, Kant menolak hierarki rasial dan kolonialisme Eropa dalam karyanya Menuju Perdamaian Abadi: Sebuah Konsep Filosofis (1795).[24]

Selama hidupnya, Kant juga menerbitkan karya-karya penting lainnya tentang etika, agama, hukum, estetika, astronomi, dan sejarah. Ini termasuk Sejarah Alam Universal (1755), Kritik Alasan Praktis (1788), Kritik Penghakiman (1790), Agama dalam Batas-Batas Rasio Murni (1793), dan Metafisika Moral (1797).[8]

Kehidupan pribadi

Immanuel Kant dilahirkan pada tanggal 22 April 1724 di sebuah kota kecil dalam wilayah Prusia Timur, yaitu Königsberg.[25] Keluarganya merupakan penganut Protestanisme yang taat sehingga mempengaruhi pemikiran Kant terhadap moral.[26] Ia dan keluarganya merupakan pengikut gereja Lutheran. Ayahnya merupakan seorang imigran dari Skotlandia, sementara ibunya keturunan Jerman.[27]

Pendidikan Immanuel Kant sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Ia menjadi mahasiswa jurusan teologi di Universitas Königsberg pada usia 18 tahun. Selama kuliah, ia memiliki minat pada matematika dan fisika dari karya-karya Isaac Newton. Studi Kant sempat terhenti ketika ia berusia 22 tahun pada tahun 1746. Penyebabnya adalah kematian ayahnya, sehingga ia berhenti kuliah dan mulai mencari pekerjaan untuk memenuhi nafkah keluarganya. Kant tetap dapat menyelesaikan studinya pada tahun 1755 dan menjadi pengajar di Universitas Königsberg.[28] Ia menjadi profesor di Universitas Königsberg pada tahun 1770. Kant hidup di Königsberg sepanjang hayatnya.[29]

Metode filsafat

Kant meyakini bahwa segala pengetahuan diawali dan didasari oleh pengetahuan terhadap filsafat.[30] Ia meyakini bahwa kenyataan yang dilandasi oleh pengetahuan bersifat objektif.[31] Ia mengembangkan metode penelusuran filsafat yang transendental.[32] Ide transendental dianggapnya sebagai cita yang mengendalikan pemikiran dalam kerangka kerja keilmuan.[33] Ia memulai pemikiran filsafat dengan pertanyaan mengenai sumber dari dasar ilmu alam dalam diri subjek. Semua pertanyaan yang tidak terkait dengan pertanyaan utama ini tidak dipertimbangkan sama sekali. Penyelidikan filsafat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu mengenai peristiwa-peristiwa yang memiliki subjek yang dapat diselidiki dengan bukti empiris. Melalui pemikiran ini, diketahui adanya objek pengetahuan di dalam subjek, tetapi sifatnya tidak dikenali. Hal yang dikenali hanya apa saja yang ada pada diri subjek. Dalam semua bentuk pengetahuan, metode filsafat Kant memerlukan keaktifan dalam pekembangan subjek pengetahuan.[34]

Pemikiran filosofis

Sumber ilmu pengetahuan

Kant mengemukakan teori kritisisme yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan ada dua yaitu akal dan pengalaman.[35] Pandangan Kant terhadap sumber pengetahuan menyeimbangkan antara rasionalisme dan empirisme.[36] Ia meyakini bahwa cita-cita pencerahan dapat tercapai melalui keseimbangan antara rasionalisme dan empirisme dalam hal kebebasan, kemajuan dan kesetaraan.[37] Kant kemudian menyeimbangkan keduanya melalui sintesis terhadap unsur pengenalan pengetahuan. Ia menyatakan bahwa bahan-bahan pengetahuan yang diterima oleh akal berasal dari bukti empiris yang meliputi indra dan pengalaman.[38]

Kant mensintesikan unsur apriori pada rasionalisme dengan unsur aposteriori pada empirisme.[39] Ia meyakini bahwa unsur apriori diperlukan oleh segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indra. Unsur apriori ini harus ada sebelum pengalaman terjadi. Ia memberikan permisalan pada kondisi elemen bentuk, ruang dan waktu yang menyusun benda dalam pengamatan manusia. Ketiga elemen ini telah ada lebih dahulu di dalam akal manusia sebelum adanya pengamatan dan pengalaman.[40] Apriori dalam pendapat Kant mengarahkan objek pengamatan menuju ke akal. Melalui pandangan ini, Kant menganggap belajar sebagai suatu substansi yang bersifat spiritual. Proses tercipta dan terbinanya dilakukan oleh dirinya sendiri.[41]

Moral dan kebaikan

Kant menyebut teorinya tentang moral sebagai prinsip imperatif kategoris. Dalam prinsip ini, semua orang diperlakukan setara dalam kebebasan. Setiap manusia memiliki hak untuk diperlakukan setara dan berkewajiban pula untuk memperlakukan orang lain dengan setara.[42] Ia menganggap Tuhan sebagai kebaikan tertinggi yang menyediakan kehidupan di masa depan yang abadi dari segi moral. Ia mengemukakan bahwa perbuatan baik manusia dilakukan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Harapan untuk meminta keadilan kepada Tuhan masih ada di akhirat, ketika kehidupan di dunia mengalami kesengsaraan sementara kebaikan telah diperbuat. Kant meyakini bahwa secara moral, setiap tindakan manusia di dunia akan memperoleh keadilan oleh Tuhan di akhirat.[43]

Kant menolak pandangan utilitarianisme tentang moral. Utilitarianisme menjadikan tujuan sebagai landasan moral bagi perbuatan. Kant berpendapat bahwa kebaikan dari suatu perbuatan diperoleh atas dasar pemenuhan kewajiban dan tidak memperhatikan tujuannya. Suatu perbuatan dilakukan karena merupakan kewajiban sehingga tidak memerlukan alasan untuk dikerjakan. Pandangan Kant ini dikenal sebagai perbuatan atas dasar legalitas.[44]

Kant berpandangan bahwa kedudukan dari norma-norma di dalam moral lebih tinggi dibandingkan dengan norma hukum. Pertanggungjawaban terhadap moral harus didasarkan kepada hati nurani manusia.[45] Sementara itu, Kant menganggap pemberian pidana atas kejahatan bukan merupakan bentuk kebaikan pelaku kejahatan maupun masyarakat. Ia berpendapat bahwa pidana diberikan sebagai balasan atas kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya. Kant menyatakan bahwa pidana merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri.[46]

Etika dan pendidikan

Kant menetapkan akal pikiran sebagai dasar bagi etika. Pandangan terhadap etika ditentukan oleh adanya kemauan untuk memperoleh hakikat dari sesuatu. Etika yang dikemukakan oleh Kant dapat mewujudkan berbagai perbuatan atau tindakan disertai dengan adanya kesadaran akan kewajiban.[47] Selain itu, dalam pandangan Kant, manusia adalah makhluk hidup dengan martabat yang tinggi.[48] Pendidikan diperlukan oleh manusia untuk menyempurnakan pribadi manusia yang berwatak luhur dan bertanggung jawab. Sifat manusia yang utuh dibangun melalui pendidika bagi individu maupun kelompok. Peran pendidikan ialah menghasilkan individu yang mampu memberikan daya guna melalui keahlian dirinya sehingga memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain.[49]

Keadilan dan kebebasan

Immanuel Kant mengakui adanya kaitan antara keadilan dan kebebasan. Pengakuannya ini disampaikannya melalui bukunya yang berjudul Metaphysical Elements of Justice. Kant menyatakan di dalam bukunya bahwa manusia hanya memiliki satu hak bawaan yaitu kebebasan.[50] Hak atas kebebasan ini hanya dapat diperoleh selama kebebasan ini diberikan secara setara kepada setiap orang. Sifat dari hak atas kebebasan ini adalah kodrati karena dimiliki oleh manusia disebabkan kemanusiaan itu sendiri. Syarat adanya keadilan di dalam masyarakat adalah adanya prinsip kebebasan yang mengakui kebebasan orang lain pula. Prinsip ini dikenal dengan prinsip alteritas atau persamaan pengakuan.[51] Kant meyakini bahwa otonomi atas kebebasan dimiliki oleh moral. Penentuan mengenai sesuatu yang disebut sebagai kebaikan dan kejahatan merupakan tugas dari akal.[52]

Ketuhanan

Kant menjadi salah satu filsuf yang menggunakan argumen teleologi untuk mengungkapkan mengenai alam dan keberadaan Tuhan. Dalam argumen ini, semua gejala alam terjadi karena ada yang mengaturnya dan bukan karena kebetulan semata. Keteraturan alam menandakan bahwa alam diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu oleh suatu zat yang maha mengatur. Zat inilah yang dikenal sebagai Tuhan.[53] Kant berpendapat bahwa status sebagai yang maha mengatur dapat dinaikkan menjadi pencipta melalui penalaran yang mendalam.[54]

Metafisika

Kant mengembangkan metafisika menggunakan unsur apriori. Metafisika yang dikembangkan oleh Kant menetapkan konsep untuk teori dan praktik. Metafisika yang teoretis dikembangkan untuk menentukan persyaratan manusia dalam berpikir. Sementara yang bersifat praktis dikembangkan untuk menentukan persyaratan manusia daalam bertindak. Metafisika Kant menggunakan objek-objek pengalaman sehingga berbeda dengan logika formal. Pemikiran ini membentuk cara berpikir baru dalam metafisika.[55]

Pemikiran sains

Ilmu alam

Immanuel Kant menetapkan 12 kategori untuk menetapkan dasar epistemologi bagi ilmu alam. Seluruh kateogri ini dikemukakan di dalam karyanya yang berjudul Kritik atas Nalar Murni. Kant membagi seluruh kategori ini dalam 4 kelompok yaitu kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas. Kelompok kuantitas meliputi kesatuan, kejamakan dan keutuhan. Kelompok kualitas meliputi kenyataan, negasi dan pembatasan. Kelompok relasi meliputi substansi, kausalitas dan timbal-balik. Sedangkan kelompok modalitas meliputi kemungkinan, peneguhan dan keperluan.Dalam pandangan Kant, seluruh kategori tersebut menjadi pengatur data bagi indra manusia yang sifatnya terbatas pada dunia fisik. Kant menolak dua jenis komponen keberadaan manusia yaitu perasaan dan keinginan untuk bertindak.[56]

Asal mula Tata Surya

Immanuel Kant merupakan salah satu pemikir yang mengkaji mengenai asal mula Tata Surya. Ia merupakan salah seorang pengikut mazhab Monoistik. Mazhab ini merupakan salah satu dari dua mazhab yang menjelaskan Tata Surya hingga tahun 1960-an. Dalam mazhab ini, diyakini bahwa unsur penyusun dari segala benda di Tata Surya berasal dari satu materi yang sama.[57]

Pemikiran politik

Pemisahan kekuasaan

Immmanuel Kant merupakan tokoh yang mempopulerkan ajaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan.[58] Kandt memperluas penggunaan konsep pemisahan kekuasaan dengan istilah trias politica. Istilah ini awalnya diperkenalkan oleh John Locke dengan pemisahan kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif dan federatif. Kemudian oleh Montesquieu, kekuasaan federatif diubah menjadi kekuasaan yudikatif. Dalam definisi Kant, ketiganya dianggap sebagai cabang dari kekuasaan.[59] Selain itu, Kant juga memiliki pendapat mengenai tujuan politik. Kant berpendapat bahwa politik dibuat untuk memenuhi kebutuhan bendawi dan kebahagiaan rohani. Politik dibuat agar setiap orang dapat puas terhadap pengaturannya.[60]

Pemikiran seni

Estetika

Estetika di dalam pandangan Kant merupakan kemampuan manusia dalam mengamati keindahan lingkungannya secara teratur. Pentingnya keindahan bagi manusia menandakan bahwa manusia memiliki perasaan yang menghargai kualitas. Manusia membuat keindahan dengan meniru lingkungan sejak masa purbakala. Salah satu ciri estetika manusia adalah adanya aliran naturalisme dalam seni rupa.[61]

Karya tulis ilmiah

Sampul buku Kritik atas Nalar Murni (1781)

Kritik atas Nalar Murni

Dalam Kritik atas Nalar Murni, Kant juga menjelaskan mengenai keterbatasan dari akal.[62] Kant menyelidiki batas kemampuan dari akal dalam mencapai pengetahuan. Kesimpulannya ialah pengetahuan akal budi selalu dimulai dengan pengalaman. Karenanya penggunaan akal budi murni mustahil manusia dapat mengenal sesuatu hak yang di luar dari pengalaman.[63]

Kritik atas Penilaian

Kritik atas Penilaian merupakan kritik ketiga yang ditulis oleh Kant pada tahun 1790. Karyanya ini membahas mengenai hubungan antara dua konsep yaitu keseluruhan dan bagian. Teori mengenai keduanya dikemukakan oleh Kant melalui penilaian khusus. Sebuah keseluruhan muncul dalam bentuk hierarki topik-topik. Hierarki ini terdiri dari topik utama dan topik subordinat. Rekonstruksi teks sebagai suatu keseluruhan hanya diakui ketika bagian-bagian telah diakui. Sebaliknya, detail dapat dipahami setelah bagian-bagian dimengerti secara keseluruhan. Penilaian atas tingkat kepentingan sesuatu hanya merupakan sebuah tebakan.[64]

Pengaruh pemikiran

Friedrich Julius Stahl

Kant menyatakan bahwa hukum merupakan keseluruhan persyaratan yang diperlukan untuk menyesuaikan kehendak bebas setiap manusia berdasarkan prinsip kemerdekaan.[65] Pemikiran Kant mengenai hukum diadopsi, dimodifikasi dan dikembangkan menjadi neo-kantianisme pada abad ke-20.[66] Pemikiran Kant mempengaruhi Friedrich Julius Stahl dalam pemikiran tentang negara. Stahl mengemukakan teori negara hukum dengan kedaulatan negara dimiliki oleh hukum. Unsur-unsur kedaulalatan hukum meliputi perlindungan hak asasi manusia dan penjaminan atasnya melalui pemisahan kekuasaan. Selain itu, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang, sementara perselisihan diselesaikan melalui peradilan administrasi.[67]

Pragmatisme

Charles Sanders Peirce membuat istilah ‘pragmatisme’ dengan sumber dari filsafat Immanuel Kant. FIlsafat Immanuel Kant menggunakan dua kata yang mirip dengan pragmatisme. Kedua kata ini artinya berbeda. Kata pertama ialah praktisch (bahasa Yunani: praktikos) dan pragmatisch (bahasa Yunani: pragmatikos). Istilah praktisch merujuk diartikan sebagai tindakan dengan tujuan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Ranhanya hanya ada dalam akal budi dan tidaka da dalam pengalaman nyata. Sedangkan, pragmatisch bermakna sebagai suatu gerak dari kehendak manusia yang digunakan untuk mencapai tujuan secara definitif. Tindakan ini merupakan tahap penting untuk mengklarifikasi pemikiran. Dalam karya Kant terdapat istilah keyakinan pragmatis yang berarti tingkat keyakinan hipotetis. Keyakinan ini memiliki kemungkinan untuk mencapai tujuan tertentu dalam dunia nyata.[68]

Referensi

  1. ^ "Kant" Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.. Collins English Dictionary.
  2. ^ "Kant" Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.. Random House Webster's Unabridged Dictionary.
  3. ^ Wells, John C. (2008). Longman Pronunciation Dictionary (edisi ke-3). Longman. ISBN 978-1-4058-8118-0. 
  4. ^ Jones, Daniel (2011). Roach, Peter; Setter, Jane; Esling, John, ed. Cambridge English Pronouncing Dictionary (edisi ke-ke-18). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-15255-6. 
  5. ^ "Immanuel". Duden (dalam bahasa Jerman). Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2020. Diakses tanggal 20 October 2018. 
  6. ^ "Kant". Duden (dalam bahasa Jerman). Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 October 2018. Diakses tanggal 20 October 2018. 
  7. ^ a b McCormick. Internet Encyclopedia of Philosophy. 
  8. ^ a b Rohlf, Michael (2020), Zalta, Edward N., ed., "Immanuel Kant", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Spring 2020), Metaphysics Research Lab, Stanford University, diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020, diakses tanggal 2020-05-27 
  9. ^ a b "Immanuel Kant | Biography, Philosophy, Books, & Facts". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 June 2015. Diakses tanggal 2020-05-27. 
  10. ^ Durant, Will; Durant, Ariel (1967). The Story of Civilization: Rousseau and Revolution. MJF Books. hlm. 571, 574. ISBN 978-1-56731-021-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2020. Diakses tanggal 22 August 2020. 
  11. ^ Nigel Warburton (2011). "Chapter 19: Rose-tinted reality: Immanuel Kant". A little history of philosophy. Yale University Press. hlm. 134. ISBN 978-0-300-15208-1. 
  12. ^ Kant, Immanuel (1996) [First edition originally published in 1781; second edition originally published in 1787]. "Introduction by Patricia Kitcher, C. The Analytic of Principles". Critique of Pure Reason. Diterjemahkan oleh Pluhar, Werner S. (edisi ke-Unified Edition with all variants from the 1781 and 1787 editions). Indianapolis/Cambridge: Hackett Publishing Company, Inc. hlm. l. ISBN 0-87220-257-7. Although Hume's name is not mentioned in either version of this section, from the beginning, Kant's readers have understood that his purpose was to vindicate the causal concept after Hume's devastating attack […] Kant's “reply to Hume” was to argue we could have no cognition of events, of objects changing by acquiring or losing a property, unless we used a concept of causation that included both the offending and related properties of universality and necessity. 
  13. ^ There are two relatively recent translations:
  14. ^ Kant, Immanuel (1999). Critique of Pure Reason. The Cambridge Edition of the Works of Immanuel Kant. Translated and edited by Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge U.P. ISBN 978-0-5216-5729-7. 
  15. ^ Vanzo, Alberto (January 2013). "Kant on Empiricism and Rationalism". History of Philosophy Quarterly. 30 (1): 53–74. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2020. Diakses tanggal 17 December 2015. 
  16. ^ Rohlf. Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Summer 2018). Metaphysics Research Lab, Stanford University. 
  17. ^ Kant, Immanuel (1784). "Idea for a Universal History with a Cosmopolitan Purpose".
  18. ^ Friedrich Nietzsche, The Anti-Christ (1895), para. 10 Error in webarchive template: Check |url= value. Empty..
  19. ^ Friedrich Nietzsche (trans. Walter Arnold Kaufmann), The Portable Nietzsche, 1976, p. 96.
  20. ^ Eze, Emmanuel Chukwudi (1997). Postcolonial African Philosophy: A Critical Reader (dalam bahasa Inggris). Wiley. hlm. 103–131. ISBN 978-0-631-20339-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2020. Diakses tanggal 15 June 2020. 
  21. ^ Eze, Emmanuel Chukwudi (1997). Race and the Enlightenment: A Reader (dalam bahasa Inggris). Wiley. hlm. 39–48. ISBN 978-0-631-20136-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2020. Diakses tanggal 15 June 2020. 
  22. ^ Bouie, Jamelle (5 June 2018). "How the Enlightenment Created Modern Race Thinking and Why We Should Confront It". Slate Magazine (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 June 2020. Diakses tanggal 15 June 2020. 
  23. ^ Bernasconi, Robert (2010). "Defining Race Scientifically: A response to Michael Banton". Ethnicities. 10 (1): 141–148. doi:10.1177/14687968100100010802. ISSN 1468-7968. JSTOR 23890861. 
  24. ^ Kleingeld, Pauline (October 2007). "Kant's Second Thoughts on Race" (PDF). The Philosophical Quarterly. 57 (229): 573–592. doi:10.1111/j.1467-9213.2007.498.x. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 16 February 2019. Diakses tanggal 14 December 2020. 
  25. ^ Noor, Irfan (2010). "Teori Pengetahuan Immanuel Kant dan Implikasinya terhadap Batas Ilmu" (PDF). Ilmu Ushuluddin. 9 (1): 44. ISSN 1412-5188. 
  26. ^ Dahlan, Moh (2009). "Pemikiran Filsafat Moral Immanuel Kant: Deontologi, Imperatif Kategoris dan Postulat Rasio Praktis" (PDF). Ilmu Ushuluddin. 8 (1): 38. 
  27. ^ Abror, Robby Habiba (2018). "Pencerahan Sebagai Kebebasan Rasio dalam Pemikiran Immanuel Kant" (PDF). Yaqzhan. 4 (2): 179. 
  28. ^ Muthmainnah, Lailiy (2018). "Tinjauan Kritis terhadap Epistemologi Immanuel Kant (1724-1804)" (PDF). Jurnal Filsafat. 28 (1): 77. ISSN 2528-6811. 
  29. ^ Amin, Saidul (2015). Hasbullah, ed. Filsafat Feminisme: Studi Kritis Terhadap Gerakan Pembaharuan Perempuan di Dunia Barat dan Islam (PDF). Pekanbaru: ASA RIAU. hlm. 53. ISBN 978-602-1096-40-6. 
  30. ^ Idris, S. dan Ramly, F. (2016). Tabrani, ed. Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (PDF). Yogyakarta: Darussalam Publishing. hlm. v. ISBN 978-602-71602-6-2. 
  31. ^ Miswari (2018). FIisafat Pendidikan Agama Islam (PDF). Lhokseumawe: Unimal Press. hlm. 57. ISBN 978-602-464-031-6. 
  32. ^ Nawawi, Nurnaningsih (2017). Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat Edisi Revisi (PDF). Makassar: Pusaka Almaida. hlm. 16. ISBN 978-602-6253-53-8. 
  33. ^ Muslih, Mohammad (2017). Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan Menuju Lahirnya Sains Teistik (PDF). Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. hlm. 123. ISBN 978-979-567-053-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  34. ^ Sudiantara, Yosephus (2020). Filsafat Ilmu Pengetahuan: Bagian pertama, Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan (PDF). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata. hlm. 68. ISBN 978-623-7635-46-8. 
  35. ^ Kristiawan, Muhammad (2016). Hendri, L., dan Juharmen, ed. Filsafat Pendidikan: The Choice Is Yours (PDF). Yogyakarta: Penerbit Valia Pustaka. hlm. 116. ISBN 978-602-71540-8-7. 
  36. ^ Wahana, Paul (2016). FIlsafat Ilmu Pengetahuan (PDF). Yogyakarta: Pustaka Diamond. hlm. 31. ISBN 978-979-1953-91-7. 
  37. ^ Pamungkas, Cahyo (2017). Yuanjaya, P., dan Agustinova, E., ed. "Peta Teori Ilmu Sosial dan Posisi Ilmu Sosial Keindonesiaan" (PDF). Prosiding Seminar Nasional: Meneguhkan Ilmu-Ilmu Sosial Keindonesiaan. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta: 21. 
  38. ^ Suaedi (2016). Januarini, Nia, ed. Pengantar Filsafat Ilmu (PDF). Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 98. ISBN 978-979-493-888-1. 
  39. ^ Idris, S., dan Ramly, F. (2016). Tabrani, ed. Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (PDF). Yogyakarta: Darussalam Publishing. hlm. 18. ISBN 978-602-71602-6-2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-14. Diakses tanggal 2021-12-14. 
  40. ^ Harisah, Afifuddin (2018). Filsafat Pendidikan Islam: Prinsip dan Dasar Pengembangan (PDF). Sleman: Deepublish. hlm. 112. 
  41. ^ Thabrani, Abdul Muis (2015). Rafik, Ainur, ed. Filsafat dalam Pendidikan (PDF). Jember: IAIN Jember Press. hlm. 86–87. ISBN 978-602-414-018-2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-14. Diakses tanggal 2021-12-14. 
  42. ^ Said, Laila Refiana (2020). GCAINDO, ed. Buku Ajar Etika Bisnis (PDF). Klaten: Penerbit Lakeisha. hlm. 43. ISBN 978-623-6573-92-1. 
  43. ^ Syamsudi, M., dkk. (2009). Pendidikan Pancasila: Menempatkan Pancasila dalam Konteks Keislaman dan Keindonesiaan (PDF). Yogyakarta: Total Media. hlm. 75–76. ISBN 979-1519-27-7. 
  44. ^ Suaedi (2016). Pengantar Filsafat Ilmu (PDF). Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 134. ISBN 978-979-493-888-1. 
  45. ^ Hoesein, Zainal Arifin (2019). Kusmadi, Irwan, ed. "Konstitusionalitas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum" (PDF). Proseding Forum Group Discussion: Menggugat Konstitusionalitas Presidental Threshold, Sebuah Tafsir Demokrasi Pancasila. Legal Era Indonesia: 40. ISBN 978-602-8659-93-2. 
  46. ^ Ishaq (2017). Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta Disertasi (PDF). Bandung: CV. Alfabeta. hlm. 212. ISBN 978-602-289-287-8. 
  47. ^ Hidayat, R., dan Rifa’i, M. (2018). Abdillah, ed. Etika Manajemen Perspektif Islam (PDF). Medan: Lembaga Peduli Pengembangan Pendidikan Indonesia. hlm. 130. ISBN 978-602-51316-3-9. 
  48. ^ Juanda, Anda (2019). Farihin, ed. Pembelajaran Kurikulum Tematik Terpadu: Teori dan Praktik Pembelajaran Tematik Terpadu Berorientasi Landasan Filosofis, Psikologis dan Pedagogis (PDF). Cirebon: Confident. hlm. 35. ISBN 978-602-0834-81-8. 
  49. ^ Sugiarti dan Andalas, E. F., ed. (2020). Membangun Optimisme Meretas Kehidupan Baru dalam Dunia Pendidikan (PDF). Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. hlm. 28. ISBN 978-979-796-512-9. 
  50. ^ Syafei, An Fauzia Rozani (2020). Zainul, Rahadian, ed. Dasar-Dasar Filsafat (PDF). Air Mati: Penerbitan dan Percetakan CV Berkah Prima. hlm. 97. ISBN 978-602-5994-52-4. 
  51. ^ Rahman, M. Taufiq (2018). Kelik, Mas, ed. Pengantar Filsafat Sosial (PDF). Bandung: LEKKAS. hlm. 11. ISBN 978-602-51298-8-9. 
  52. ^ Wattimena, Reza A. A. (2011). Filsafat Kata (PDF). Jakarta: PT Evolitera. hlm. 142–143. ISBN 978-602-9097-13-9. 
  53. ^ Ramadlon, Z. A., dan Septi, D. (2020). Fahyuni, Eni Fariyatul, ed. Membenarkan Allah dalam Iman: Membaca Aqidah dengan Nalar Kritis. Sidoarjo: UMSIDA Press. hlm. 53–54. ISBN 978-623-6833-40-7. 
  54. ^ Wardani (2014). Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik (PDF). Banjarmasin: IAIN Antasari Press. hlm. 204. 
  55. ^ Muslih, Mohammad (2016). Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (PDF). Yogyakarta: LESFI. hlm. 79–80. ISBN 978-979-567-044-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-08. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  56. ^ Hidayat, Ainur Rahman (2018). Afandi, Moh., ed. Sinergitas Filsafat Ilmu Dengan Khazanah Kearifan Lokal Madura (PDF). Pamekasan: Duta Media Publishing. hlm. 131. ISBN 978-602-6546-45-6. 
  57. ^ Siregar, Suryadi (2017). Fisika Tata Surya (PDF). Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Insitut Teknologi Bandung. hlm. 1. ISBN 978-602-74668-6-9. 
  58. ^ Junaidi, Muhammad (2017). Hukum Konstitusi: Pandangan dan Gagasan Moderenisasi Negara Hukum (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 152. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  59. ^ Muhtada, D., dan Diniyanto, A. (2018). Muhtada, Dani, ed. Dasar-Dasar Ilmu Negara (PDF). Semarang: Badan Penerbit Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. hlm. 36. ISBN 978-602-53084-0-6. 
  60. ^ Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (2016). Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pancasila (PDF). Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. hlm. 78. ISBN 978-602-6470-01-0. 
  61. ^ Faisal (2008). Arsitektur Mandar Sulawesi Barat (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film. hlm. 122. ISBN 978-602-8099-13-4. 
  62. ^ Junaidi, Ahmad (2014). Filsafat Hukum Islam (PDF). Jember: STAIN Jember Press. hlm. 19. ISBN 978-602-1640-73-9. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-14. Diakses tanggal 2021-12-14. 
  63. ^ Widodo, Sembodo Ardi (2015). Hamdi, Abu, ed. Pendidikan dalam Perspektif Aliran-Aliran Filsafat (PDF). Bantul: Idea Press. hlm. 94. ISBN 978-602-0850-25-2. 
  64. ^ Talib, Abdullah A. (2018). Filsafat Hermeneutika dan Semiotika (PDF). Palu: Penerbit LPP-Mitra Edukasi. hlm. 53. ISBN 978-602-52089-8-0. 
  65. ^ Usman, S., dan Itang (2015). Arifin, M. Nur, ed. Filsafat Hukum Islam (PDF). Serang: Penerbit Laksita Indonesia. hlm. 3. ISBN 978-602-72411-9-0. 
  66. ^ Sutan Hrp., Nurasiah Faqih (2010). Filsafat Hukum Barat dan Alirannya (PDF). Medan: Utul ‘Ilma Publishing. hlm. 115. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-15. 
  67. ^ Isretno, Evita (2020). Hukum Administrasi Negara: Pengantar Kajian Tentang Kewenangan & Kebijakan Pemerintah (PDF). Jakarta: Cintya Press. hlm. 5. ISBN 978-602-9477-35-1. 
  68. ^ Adinda S., Anastasia Jessica (2015). Wibawa, FX. Setya, ed. Menelusuri Pragmatisme (PDF). Sleman: Penerbit PT Kanisius. hlm. 2. ISBN 978-979-21-4370-6. 

Lihat pula

Pranala luar


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan