Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam, yang disebut juga hukum jinayat. Peraturan daerah (perda) yang menerapkannya disebut Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Meskipun sebagian besar hukum Indonesia yang sekuler tetap diterapkan di Aceh, pemerintah provinsi dapat menerapkan beberapa peraturan tambahan yang bersumber dari hukum pidana Islam. Pemerintah Indonesia secara resmi mengizinkan setiap provinsi untuk menerapkan peraturan daerah, tetapi Aceh mendapatkan otonomi khusus dengan tambahan izin untuk menerapkan hukum yang berdasarkan syariat Islam sebagai hukum formal. Beberapa pelanggaran yang diatur menurut hukum pidana Islam meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol, perjudian, perzinahan, bermesraan di luar hubungan nikah, dan seks sesama jenis. Setiap pelaku pelanggaran yang ditindak berdasarkan hukum ini diganjar hukuman cambuk, denda, atau kurungan. Hukum rajam tidak diberlakukan di Aceh, dan upaya untuk memperkenalkan hukuman tersebut pada tahun 2009 gagal karena tidak mendapat persetujuan dari gubernur Irwandi Yusuf.
Pendukung hukum jinayat membela keabsahannya berdasarkan status otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh. Para penentangnya, termasuk Amnesty International, menolak hukuman cambuk dan pemidanaan hubungan seks di luar nikah, sementara pegiat-pegiat hak perempuan merasa bahwa hukum ini tidak melindungi perempuan, khususnya korban pemerkosaan yang dianggap lebih berat beban pembuktiannya dibandingkan dengan tersangka yang bisa lepas dari tuduhan dengan lima kali sumpah.
Latar belakang
Otonomi khusus Aceh
Setelah mundurnya Presiden Soeharto, Indonesia memberikan lebih banyak wewenang kepada pemerintah daerah.[1] Desentralisasi diatur oleh undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 1999 dan 2004.[1] Kedua undang-undang ini mengizinkan pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda) asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.[1] Perda Aceh dikenal dengan sebutan qanun.[2]
Selain itu, Aceh diberikan otonomi khusus setelah berakhirnya pemberontakan di provinsi tersebut pada tahun 2005.[3] Undang-Undang No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh memberikan berbagai wewenang kepada provinsi ini, termasuk wewenang untuk memberlakukan hukum syariat.[4] Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh bahkan menjadikan penerapan hukum Islam sebagai kewajiban pemerintah Aceh.[5]
Status hukum Islam di Indonesia
Di tingkat nasional, terdapat tiga jenis hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum perdata, pidana, dan dagang. Di luar Aceh, pengaruh hukum Islam hanya terbatas pada hukum perdata, seperti hal yang bersangkutan dengan perkawinan, warisan, dan wakaf. Selain itu, hukum Islam juga memengaruhi hukum dagang dalam bidang perbankan syariah.[6] Sumber hukum perdata dan dagang lainnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan adat.[7]Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur hukum pidana di Indonesia didasarkan pada kitab pidana dari zaman Hindia Belanda, dengan beberapa perubahan yang ditetapkan oleh pemerintah setelah kemerdekaan.[7] Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum pidana berdasarkan syariah atau hukum Islam.[8][9]
Qanun di Aceh tunduk kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hukum nasional, dan juga dapat ditinjau oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.[10] Ini berarti, tidak boleh ada qanun atau hukum syariat Islam di Aceh yang bertentangan dengan hukum nasional.[11] Maka dari itu, tidak semua hukum Islam diberlakukan di Aceh, tetapi hanya unsur-unsur tertentu yang telah diundangkan.[12] Selain itu, tanggung jawab pembuatan qanun berada di tangan DPRA dan gubernur, bukan para ulama.[13]
Hukum Islam di Aceh ditetapkan melalui qanun yang memiliki status sebagai peraturan daerah yang bersifat khusus.[2] Landasan hukumnya adalah undang-undang yang mengizinkan perda serta Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.[10] Untuk mengesahkan suatu qanun, diperlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan gubernur.[13] Walaupun hukum nasional Indonesia masih berlaku di Aceh, qanun ini mengatur hal-hal yang tidak ditetapkan dalam undang-undang nasional, dan kadang-kadang juga menetapkan hukuman yang berbeda.[14] Selain itu, tanggung jawab pembuatan qanun berada di tangan DPRA dan gubernur, bukan para ulama.[13]
Sejarah perundangan
Hukum jinayat pertama kali diberlakukan di Aceh lewat Qanun No.11 tahun 2002, yang kebanyakan isinya bersifat simbolis.[4] Pada tahun 2003, terdapat perda-perda lain yang disahkan: Qanun Nomor 12 tentang minuman khamar dan sejenisnya, Nomor 13 tentang maisir (perjudian), dan Nomor 14 tentang khalwat (perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang atau lebih yang berlainan jenis dan bukan mahram).[4] Pada tahun 2009, DPRA menyetujui qanun baru yang semakin menambah hukum jinayat yang diberlakukan di Aceh, tetapi gubernur yang menjabat kala itu, yaitu Irwandi Yusuf, menolak menandatangani qanunnya karena ia menolak klausul mengenai hukum rajam.[15] Perda ini memerlukan persetujuan dari legislatif dan eksekutif, sehingga penolakan ini secara otomatis membuat hukum tersebut tidak berlaku.[16][17] Pada tanggal 27September 2014, DPRA mengesahkan Qanun Nomor 6 yang merevisi qanun yang sempat ditolak pada tahun 2009 dan menghapuskan klausul rajam.[17][18] Gubernur Zaini Abdullah menandatangani perda tersebut pada 23Oktober 2014, dan perda ini mulai berlaku setahun kemudian pada 23Oktober 2015, seperti yang diatur dalam isinya.[18] Qanun yang menggantikan qanun-qanun tahun 2003 ini menambah jenis kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan hukum jinayat, dan hukuman yang diganjar juga lebih berat.[3][18][19] Dalam qanun-qanun yang dikeluarkan tahun 2003, pelanggar dapat dijatuhi hukuman cambuk dengan rotan sebanyak maksimal 40 kali, dan pada kenyataannya cambukan yang diberikan jarang melebihi 12 kali. Namun, perda tahun 2014 menetapkan batas minimal sebanyak 10 kali dan maksimal sebanyak 150 kali.[18]
Pada Maret 2018, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh mulai mengkaji dan mengukur pendapat umum mengenai pemberlakuan hukuman pancung untuk kejahatan berat seperti pembunuhan.[20] Meskipun Indonesia memiliki hukuman mati, Menteri Hukum dan Hak Asasi ManusiaYasonna Laoly menyatakan bahwa rencana Aceh untuk menerapkan pemenggalan kepala sebagai hukuman atas pembunuhan dilarang di bawah undang-undang nasional yang ada, karena satu-satunya bentuk hukuman mati yang diperbolehkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah penghukuman mati dengan regu tembak.[21]
Sejak April 2018, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam tidak boleh lagi dilakukan di tempat-tempat umum. Eksekusi dilakukan di dalam lembaga permasyarakatan atau instansi pemerintahan yang ditunjuk dan bukan di halaman Masjid lagi. Menurut Irwandi kebijakan itu sesuai dengan Peraturan Gubenur Aceh Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukuman Acara Jinayat yang dilaksanakan di lembaga permasyarakatan, atau rumah tahanan negara, atau cabang rumah tahanan negara wilayah Aceh. Adapun anak kecil dibawah umur 18 tahun dilarang menonton.[22]
Isi
Qanun No. 6 tahun 2014 (juga disebut "Qanun Jinayat") adalah perda terbaru yang mengatur hukum pidana Islam di Aceh. Perda ini melarang konsumsi dan produksi minuman keras (khamar), judi (maisir), sendirian bersama lawan jenis yang bukan mahram (khalwat), bermesraan di luar hubungan nikah (ikhtilath), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh seseorang melakukan zina tanpa bisa menghadirkan empat saksi (qadzaf), sodomi antar lelaki (liwath), dan hubungan seks sesama wanita (musahaqah)[8][23]
Hukuman bagi mereka yang melanggar bisa berupa hukuman cambuk, denda, dan penjara.[23] Beratnya hukuman tergantung pada pelanggarannya.[23] Hukuman untuk khalwat adalah yang paling ringan, yaitu hukuman cambuk sebanyak maksimal 10 kali, penjara 10 bulan, atau denda 100 gram emas.[24] Hukuman paling berat adalah untuk pemerkosa anak; hukumannya 150-200 kali cambuk, 150-200 bulan penjara, atau denda sebesar 1.500-2.000 gram emas).[25] Yang menentukan hukuman mana yang akan dijatuhkan adalah hakim.[25] Menurut Amnesty International, pada tahun 2015 hukuman cambuk dilaksanakan sebanyak 108 kali, dan dari Januari hingga Oktober 2016 sebanyak 100 kali.[8][24]
Hukum ini berlaku untuk semua orang Muslim ataupun badan hukum di Aceh.
Lembaga-lembaga yang terkait dengan penerapan hukum jinayat di Aceh adalah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (atau "polisi syariat"), dan Mahkamah Syar'iyah.[26] MPU terlibat dalam proses perumusan kebijakan bersama dengan pemerintah. Namun, pada praktiknya perda dirumuskan oleh DPRA dan kantor gubernur.[27][13] Wilayatul Hisbah memiliki wewenang untuk menegur mereka yang tertangkap telah melanggar hukum Islam.[27] Mereka tidak punya wewenang untuk menangkap atau mendakwa tersangka, sehingga mereka harus bekerja sama dengan polisi dan jaksa untuk menegakkan hukum.[27] Mahkamah Syar'iyah mempertimbangkan perkara perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam.[28] Namun, kebanyakan perkara yang masuk ke pengadilan ini adalah perkara perdata.[28] Pada tahun 2016, pengadilan ini menerima 10.888 perkara perdata di tingkat pertama dan 131 perkara banding, ditambah dengan 324 perkara pidana dan 15 perkara banding.[29] Mahkamah Syar'iyah adalah bagian dari sistem hukum Indonesia.[30] Putusan mereka dapat digugat hingga ke Mahkamah Agung, dan hakim-hakim Mahkamah Syar'iyah (termasuk ketua hakimnya) diangkat oleh Mahkamah Agung.[31]
Tanggapan
Amnesty International menyatakan bahwa mereka "sangat khawatir" dengan penerapan hukum jinayat di Aceh dan menyerukan agar beberapa isinya dicabut.[8] Mereka mengatakan bahwa cambuk dengan rotan dapat dianggap sebagai tindak penyiksaan dan bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum hak asasi manusia internasional, dan juga dapat menyebabkan luka fisik dan kejiwaan jangka panjang.[8] Selain itu, Amnesty International menentang kriminalisasi hubungan seks di luar nikah atas dasar suka sama suka, karena dianggap melanggar hak atas privasi.[8] Organisasi Solidaritas Perempuan mengatakan bahwa perda syariat di Aceh diskriminatif karena menempatkan perempuan sebagai korban. Selain itu, perlindungan terhadap perempuan di perda ini juga dianggap minim. Apabila ada perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, beban pembuktiannya sangat sulit, sementara pelakunya bisa lepas dari tuduhan dengan lima kali sumpah.[32]
Seorang pakar hukum dari Universitas Malikussaleh yang bernama Hamdani berpendapat bahwa rakyat Aceh punya hak untuk menerapkan hukum Islam sebagai bagian dari kebebasan beragama, dan menurutnya perda ini juga sah secara hukum karena undang-undang Indonesia mengizinkan pemerintah Aceh menerapkan hukum syariat.[33] Munawar Jalil dari Dinas Syariat Islam membantah kritik yang mengatakan bahwa perda ini melanggar hak asasi manusia ataupun hukum yang ada di Indonesia dan Aceh, dan ia mengajak para pengkritiknya untuk mengajukan judicial review apabila perda tersebut memang tidak sesuai.[23]