Ha adalah salah satu aksara wianjana dalam aksara Bali yang melambangkan bunyi /ha/ atau /a/. Jika aksara Ha dialihaksarakan dari aksara Bali menjadi huruf Latin, maka ditulis "Ha".
Fonem
Ha termasuk warga kanthya. Sebagian besar warga kanthya merupakan golongan konsonan langit-langit belakang,[1] misalnya Ka, Kha, Ga, Gha, dan Nga. Meskipun termasuk warga kanthya, sesungguhnya Ha bukanlah konsonan langit-langit belakang, karena Ha melambangkan bunyi /h/, bunyi frikatifglotis. Jadi secara fonologi, Ha termasuk konsonan glotis atau celah suara. Karena sumber bunyi Ha berasal dari kerongkongan, maka secara tradisional ia dimasukkan ke dalam warga kanthya.
Ha melambangkan bunyi /h/ seperti pada kata "hawa" (bahasa Indonesia), hari (bahasa Sanskerta), "hana" (bahasa Jawa), "hen" (bahasa Inggris). Dalam bahasa Bali, huruf Ha tidak dibaca saat digunakan pada permulaan kata. Biasanya, meskipun dalam penulisan kata menggunakan huruf Ha, desahannya tidak timbul, yang diucapkan hanya vokalnya saja. Contohnya, dalam penulisan kata "Hujan", dipakai huruf Ha di depan kata. Namun pada saat membaca kata "Hujan", orang Bali tidak mengucapkan /hu/, melainkan hanya mengucapkan vokalnya saja, yaitu /u/. Jadi yang diucapkan adalah /udʒan/.[2]
Penggunaan
Kanthya (tenggorokan)
Langit-langit belakang
Celah suara/glotis
Selama tidak ada tanda vokal (Bhs. Bali: pangangge suara) yang melekatinya, Ha tetap dibaca /ha/ atau /a/. Meskipun ia termasuk aksara wianjana (huruf konsonan), kadang kala pengucapan Ha disamakan dengan A, huruf vokal. Dengan demikian, Ha berbagi fungsi, bisa digunakan untuk menulis kata-kata yang mengandung bunyi /h/ maupun /a/. Dan bila dilekati oleh tanda vokalisasi (pangangge suara), maka bunyinya berubah sesuai dengan nilai yang dikandung oleh tanda vokalisasi tersebut.
Kata-kata dalam bahasa Bali asli (bukan bahasa Bali serapan) cenderung ditulis menggunakan Ha meskipun diucapkan /a/.[3] Contohnya antara lain: amah (ditulis: hamah; dibaca: /amah/), aba (ditulis: haba; dibaca: /abə/), apang (ditulis: hapang; dibaca: /apaŋ/), ajum(ditulis: hajum; dibaca: /aɟɔm/), dll.
Kata-kata dalam bahasa Bali asli yang diawali dengan bunyi vokal (selain /a/) cenderung ditulis menggunakan Ha.[3] Contohnya antara lain: ilang (ditulis: hilang; dibaca: /ilaŋ/), ubet (ditulis: hubet; dibaca: /ubət̪/), enggal (ditulis: henggal; dibaca: /ɛŋɡal/), olih (ditulis: holih; dibaca: /oːleh/), dll.
Kata dalam bahasa Bali yang diserap dari bahasa non-Bali, yang mengandung bunyi /a/, tidak pantas ditulis memakai huruf Ha, tetapi memakai huruf A kara.[3] Demikian pula pada bunyi vokal lainnya, harus memakai huruf yang sesuai dengan vokal yang dimaksud (I kara, U kara, dan sebagainya). Contohnya: Arjuna (dari bahasa Sanskerta: Arjuna), ica (dari bahasa Sanskerta: icchā), utara (dari bahasa Sanskerta: uttara), eka (dari bahasa Sanskerta: eka), dan lain-lain.
Gantungan Ha mirip bentuknya dengan huruf Pa. Letak penulisannya di bawah huruf (menggantung). Gantungan Ha juga dapat dipakai sebagai gantungan A kara, karena A kara tidak memiliki gantungannya sendiri.
Bunyi /h/ juga dapat ditulis dengan menggunakan bisah, tetapi penggunaannya sebatas pada suku kata terakhir saja. Apabila terdapat bunyi /h/ di tengah kata, dan tidak diikuti oleh huruf vokal, Ha dapat berfungsi sebagai pengganti bisah. Contoh kata yang mengandung bunyi konsonan /h/ di tengah kata: "cihna" (bahasa Bali), "Brahma", "jihwa" (bahasa Sanskerta), dan sebagainya.
Catatan kaki
^Untuk keterangan lebih lanjut, baca artikel IAST.