Peninggalan sejarah yang mungkin menggambarkan Gilgamesh sebagai Penguasa Binatang. Ia memegang seekor singa di tangan kirinya dan ular di tangan kanannya. Penggambaran ini dapat ditemui di relief istana Asiria dari Dur-Sharrukin yang kini disimpan di Louvre[1]
Catatan tertua yang berhasil ditemukan yang menceritakan tentang kisah petualangan legendaris Gilgamesh terdapat pada lima puisi Sumeria, dengan yang terawal kemungkinan berjudul Gilgamesh, Enkidu, dan Dunia Bawah,[2] di mana Gilgamesh membantu dewi Inanna dan mengusir makhluk-makhluk yang menyerang pohon huluppu miliknya. Dewi Inanna memberinya dua benda yang tidak dikenal, mikku dan pikku, yang lantas hilang. Setelah kematian Enkidu, bayangannya memberi tahu Gilgamesh tentang kondisi suram di Dunia Bawah. Puisi Gilgamesh dan Aga mendeskripsikan pemberontakan Gilgamesh terhadap tuannya, Aga dari Kish. Puisi-puisi Sumeria lainnya menjabarkan penaklukan yang dilakukan Gilgamesh atas raksasa Huwawa dan Banteng Surgawi, sementara puisi kelima yang kondisinya kurang utuh menceritakan kematian dan pemakamannya.
Selanjutnya pada masa Babilonia, kisah-kisah ini dijalin menjadi sebuah narasi yang saling berhubungan. Epos Gilgamesh dalam bahasa Akkadia standar disusun oleh seorang juru tulis bernama Sîn-lēqi-unninni, diperkirakan pada periode Babilonia Pertengahan (sekitar 1600 – 1155 SM), yang didasarkan pada sumber yang jauh lebih tua. Dalam epos tersebut, Gilgamesh adalah seorang manusia setengah dewa dengan kekuatan super yang berteman dengan manusia liar Enkidu. Bersama-sama, mereka melakukan banyak petualangan, yang paling terkenal adalah saat mereka menaklukkan Humbaba (bahasa Sumeria: Huwawa) dan Banteng Surgawi, yang dikirim oleh Ishtar (bahasa Sumeria: Inanna) untuk menyerang mereka setelah Gilgamesh menolak tawarannya untuk menjadi pendampingnya. Setelah Enkidu meninggal akibat penyakit yang dikirim sebagai hukuman dari para dewa, Gilgamesh pun melakukan perjalanan untuk menemui tokoh bijak Utnapishtim, orang yang selamat dari banjir global yang juga merupakan leluhurnya, dengan harapan dapat menemukan keabadian. Gilgamesh berulang kali gagal dalam ujian yang diberikan kepadanya dan kembali pulang ke Uruk, menyadari bahwa keabadian berada di luar jangkauannya.
Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa Wiracarita Gilgamesh berpengaruh besar terhadap Iliad dan Odisseia, dua epos yang ditulis dalam bahasa Yunani Kuno pada abad kedelapan SM. Kisah kelahiran Gilgamesh digambarkan dalam sebuah anekdot dalam De Natura Animalium karya penulis Yunani Claudius Aelianus pada abad kedua M. Aelianus bercerita bahwa kakek Gilgamesh menjaga anak perempuannya agar tidak hamil, karena ia mendapatkan nubuat dari seorang peramal bahwa cucunya akan menjatuhkannya. Anak perempuannya pada akhirnya hamil dan para penjaga melempar anaknya dari sebuah menara, tetapi seekor elang menyelamatkannya di tengah musim gugur dan membawanya ke sebuah kebun buah. Ia lalu dibesarkan oleh seorang tukang kebun.
Wiracarita Gilgamesh sendiri ditemukan kembali di Perpustakaan Ashurbanipal pada tahun 1849. Setelah isi dari epos ini selesai diterjemahkan pada awal dasawarsa 1870-an, timbul kontroversi yang meluas akibat kemiripan sebagian isinya dengan Alkitab Ibrani. Gilgamesh merupakan sosok yang tidak dikenal sebelum pertengahan abad ke-20, namun setelah itu, ia menjadi tokoh yang makin dan makin terkemuka dalam budaya modern.
Raja dalam sejarah
Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa Gilgamesh adalah raja yang benar-benar ada dalam sejarah di negara-kotaUruk di Sumeria.[3][4][5][6] Sumeria sendiri merupakan sebuah peradaban yang terletak di antara Sungai Tigris dan Efrat di Mesopotamia selatan (kini di Irak selatan).[7] Kemungkinan Gilgamesh berkuasa pada awal Periode Dinasti Awal (sekitar 2900 – 2350 SM).[3][4] Pakar sejarah Timur DekatStephanie Dalley menyatakan bahwa "tanggal secara pasti tidak dapat diberikan untuk masa kehidupan Gilgamesh, tetapi pada umumnya yang disepakati berada pada kisaran tahun 2800 hingga 2500 SM."[4] Tidak ada peninggalan sejarah dari zaman Gilgamesh yang menyebutkan namanya. Walaupun begitu, pada tahun 1955, telah ditemukan Inskripsi Tummal, yaitu teks historiografi yang terdiri dari 34 baris dan ditulis pada masa Ishbi-Erra (ca 1953 – ca 1920 SM). Sumber ini menyampaikan berbagai keterangan mengenai masa kekuasaan Gilgamesh.[5] Inskripsi tersebut menyebut nama Gilgamesh sebagai pemimpin yang membangun tembok di Uruk.[8] Baris sebelas hingga lima belas dalam inskripsi tersebut bertuliskan:
Untuk kedua kalinya, Tummal runtuh,
Gilgamesh membangun Numunburra dari Wangsa Enlil.
Ur-lugal, putra Gilgamesh,
Menjadikan Tummal unggul,
Membawa Ninlil ke Tummal.[9]
Gilgamesh juga disebut sebagai raja oleh Raja Enmebaragesi dari Kish, sosok sejarah yang mungkin hidup pada kisaran masa Gilgamesh. Selain itu, Gilgamesh disebutkan sebagai salah satu raja Uruk dalam Daftar Raja Sumeria. Penggalan dari teks epos yang ditemukan di Me-Turan (kini Tell Haddad) mengisahkan bahwa pada akhir hayatnya, Gilgamesh dikubur di dasar sungai.[8] Pada tahun 2003, sekelompok arkeolog dari Jerman menyatakan bahwa mereka telah menemukan makam Gilgamesh di tempat yang pernah berada di dasar Sungai Efrat.[8]
Legenda
Puisi Sumeria
Pada akhir Periode Dinasti Awal, Gilgamesh sudah dipuja sebagai seorang dewa di berbagai tempat di Sumer. Pada abad ke-21 SM, seorang raja Uruk yang bernama Utu-hengal menjadikan Gilgamesh sebagai dewa pelindungnya.[3] Raja-raja Dinasti Ketiga Ur (ca 2112 – ca 2004 SM) sangat mengagumi Gilgamesh,[3][8] bahkan sampai menyebutnya "saudara dewata" dan "sahabat".[3] Raja Shulgi dari Ur (2029 – 1982 SM) menyatakan dirinya sebagai putra Lugalbanda dan Ninsun serta sebagai saudara Gilgamesh.[8] Dalam kurun waktu beberapa abad, mungkin legenda tentang Gilgamesh terus berkembang, dan beberapa kisah mungkin berasal dari kehidupan tokoh sejarah yang benar-benar ada, seperti Gudea, penguasa Lagash (2144–2124 SM).[11] Doa-doa yang tertuliskan di lauh tanah liat menyebut Gilgamesh sebagai hakim orang mati di dunia bawah.[8]
Pada masa ini, ada banyak mitos dan legenda mengenai Gilgamesh.[3][12][13][14] Lima puisi Sumeria yang mengisahkan kiprah Gilgamesh telah ditemukan oleh para arkeolog.[3] Kemungkinan karya sastra pertama yang mengisahkan kehidupan Gilgamesh adalah puisi Sumeria yang berjudul Gilgamesh, Enkidu, dan Dunia Bawah.[15][8] Alkisah terdapat sebuah pohon huluppu (kemungkinan pohon dedalu menurut pakar Sumerologi Samuel Noah Kramer)[16] yang tumbuh di tepi Sungai Efrat. Dewi Inanna memindahkan pohon ini ke kebunnya di Uruk dengan maksud mengukirnya menjadi sebuah takhta jika pohon tersebut sudah besar. Pohon ini pun tumbuh dan menjadi matang, tetapi seekor ular, burung Anzû, dan Lilitu (pendahulu Lilith dalam cerita rakyat Yahudi) tinggal di pohon tersebut, sehingga Inanna pun menangis tersedu-sedu. Gilgamesh (yang digambarkan sebagai saudara kandung Inanna dalam kisah ini) datang dan membunuh si ular, sehingga burung Anzû dan Lilitu pun melarikan diri.[17][8][18] Para sahabat Gilgamesh menebang pohon tersebut dan mengukir sebuah tempat tidur dan takhta yang kemudian diberikan kepada Inanna.[19][8][18] Inanna membalas budi dengan membuat pikku dan mikku (kemungkinan sebuah gendang dan penabuhnya, walaupun makna sebenarnya tidak diketahui secara pasti),[20][8] yang kemudian ia berikan kepada Gilgamesh.[21][8][18] Gilgamesh kehilangan pikku dan mikku tersebut dan bertanya siapa yang akan mengembalikannya. Enkidu turun ke Dunia Bawah untuk mencarinya, tetapi ia melanggar hukum Dunia Bawah dan diharuskan tinggal di sana selamanya.[22] Setelah itu bagian yang tersisa dari puisi ini adalah dialog antara Gilgamesh dengan roh Enkidu mengenai Dunia Bawah.[3][22]
Puisi Gilgamesh dan Agga mengisahkan keberhasilan pemberontakan Gilgamesh melawan penguasanya, Agga, Raja Kish. Gilgamesh dan Huwawa bercerita tentang bagaimana Gilgamesh dan hambanya Enkidu (yang dibantu oleh 50 sukarelawan dari Uruk) mengalahkan raksasa Huwawa yang sebelumnya dijadikan penjaga Hutan Aras oleh dewa Enlil. Dalam puisi Gilgamesh dan Banteng Surgawi, Gilgamesh dan Enkidu membunuh Banteng Surgawi yang dikirim oleh dewi Inanna untuk menyerang mereka.[3] Kisah yang tersurat dalam puisi ini berbeda dari kisah serupa dalam Epos Gilgamesh dari zaman Akkadia. Dalam puisi tersebut, Inanna kemungkinan tidak pernah meminta Gilgamesh untuk menjadi pasangannya seperti yang dikisahkan oleh epos Akkadia. Selain itu, saat Inanna memaksa ayahnya An untuk memberikan Banteng Surgawi kepadanya, puisi ini mengisahkan bahwa Inanna hanya mengancam akan mengeluarkan "teriakan" yang mencapai bumi, sementara dalam Epos Gilgamesh ia mengancam akan membangkitkan orang mati yang akan memakan mereka yang masih hidup.[23] Sementara itu, sebagian besar isi dari puisi yang berjudul Kematian Gilgamesh sudah hilang ditelan zaman, tetapi puisi ini kemungkinan mengisahkan pemakaman besar yang kemudian diikuti oleh kedatangan orang mati di Dunia Bawah. Terdapat kemungkinan bahwa para pakar modern yang memberikan judul tersebut telah melakukan kesalahan penafsiran, dan puisi ini mungkin malah mengisahkan kematian Enkidu.[3]
Relief Mesopotamia kuno (ca 2250 — 1900 SM) yang menggambarkan Gilgamesh sedang membunuh Banteng Surgawi.[26] Kisah ini diceritakan dalam Lauh VI Epos Gilgamesh[25][27]
Seperti yang diungkapkan oleh Kramer, "Gilgamesh menjadi pahlawan dunia kuno terbaik—sosok yang berani, tetapi tragis dan melambangkan angan-angan manusia yang sia-sia untuk mendapatkan ketenaran, kejayaan, dan keabadian."[12] Pada Periode Babilonia Kuno (sekitar 1830 – 1531 SM), legenda Gilgamesh sudah membentuk sebuah atau sejumlah epos yang panjang. Epos Gilgamesh merupakan kisah petualangan Gilgamesh yang paling lengkap. Epos ini ditulis dalam bahasa Akkadia pada Periode Babilonia Pertengahan (sekitar 1600 — 1155 SM) oleh seorang juru tulis yang bernama Sîn-lēqi-unninni.[3] Versi Epos Gilgamesh yang paling lengkap ditulis di dua belas lauh tanah liat yang berasal dari abad ketujuh SM. Lauh-lauh ini ditemukan di Perpustakaan Ashurbanipal di ibu kota Asiria, Niniwe. Banyak bagian dari epos ini yang sudah hilang atau rusak.[3][8][28] Beberapa pakar dan penerjemah mencoba melengkapi bagian yang hilang dengan isi dari puisi Sumeria atau dari versi lain Epos Gilgamesh yang telah ditemukan.[3]
Menurut epos ini, Gilgamesh adalah sosok yang "dua per tiga dewata dan sepertiga manusia".[29] Pada permulaan puisi, Gilgamesh digambarkan sebagai sosok penguasa yang keji.[3][29] Para ahli berpendapat bahwa hal ini menunjukkan Gilgamesh memaksa semua bawahannya untuk melakukan kerja paksa, atau ia mungkin menindas semua bawahannya secara seksual. Untuk menghukum kekejaman Gilgamesh, dewa Anu menciptakan seorang manusia liar yang bernama Enkidu. Setelah dijinakkan oleh seorang pelacur yang bernama Shamhat, Enkidu datang ke Uruk untuk menghadapi Gilgamesh. Lauh kedua kemudian mengisahkan bahwa mereka saling bergulat. Walaupun Gilgamesh berhasil menang, ia mengagumi kekuatan lawannya, dan mereka pun bersahabat. Dalam puisi-puisi Sumeria, Enkidu digambarkan sebagai hamba, tetapi dalam Epos Gilgamesh, mereka berdua adalah sahabat dengan kedudukan yang setara.[25]
Dalam Lauh III dan IV, Gilgamesh dan Enkidu berkelana ke Hutan Aras yang dijaga oleh seorang raksasa yang bernama Humbaba (nama Huwawa dalam bahasa Akkadia).[25] Mereka melintasi tujuh gunung untuk mendatangi hutan tersebut, dan mereka lalu mulai menebang pohon untuk menantang Humbaba.[30] Humbaba mengamuk dan membuat takut Gilgamesh. Gilgamesh pun berdoa kepada dewa matahari Shamash (nama dewa Utu dalam bahasa Semit Timur).[30] Sang dewa kemudian meniupkan delapan angin ke mata Humbaba dan membutakannya.[30] Humbaba memohon belas kasihan, tetapi para pahlawan dalam kisah ini tetap memenggalnya.[30] Lauh VI kemudian berkisah tentang Gilgamesh yang kembali ke Uruk.[25] Dewi Ishtar (nama Inanna dalam bahasa Akkadia) mendatanginya dan meminta agar ia menjadi pasangannya.[25][30][31] Gilgamesh menolaknya karena Ishtar telah memperlakukan semua mantan pasangannya dengan buruk.[25][30][31] Untuk membalas dendam, Ishtar mendatangi ayahnya, Anu, dan meminta Banteng Surgawi darinya.[32][33][23] Ishtar lalu mengirim banteng ini untuk menyerang Gilgamesh.[25][32][33][23] Gilgamesh dan Enkidu berhasil membunuh si banteng dan mempersembahkan jantungnya kepada Shamash.[34][33] Ketika Gilgamesh dan Enkidu sedang beristirahat, Ishtar berdiri di tembok Uruk dan mengutuk Gilgamesh.[34][35] Enkidu memutuskan paha kanan si banteng dan melemparnya ke wajah Ishtar.[34][35] Enkidu berteriak "Jika aku bisa menyentuhmu, inilah yang akan kulakukan padamu, dan akan kucambukkan isi perutmu ke arahmu."[36][35] Ishtar lalu memanggil para pelacur dan perempuan jalang[34] dan memerintahkan agar mereka berduka atas kematian Banteng Surgawi.[34][35] Sementara itu, Gilgamesh merayakan kemenangannya.[37][35]
Lauh VII dimulai dengan kisah Enkidu yang menceritakan mimpinya ketika ia melihat Anu, Ea, dan Shamash yang mengatakan bahwa salah satu dari Gilgamesh atau Enkidu harus mati sebagai hukuman karena telah membunuh Banteng Surgawi. Mereka memilih Enkidu, dan Enkidu kemudian jatuh sakit. Ia bermimpi tentang Dunia Bawah dan lalu mati. Lauh VIII menceritakan duka cita yang dialami Gilgamesh atas kematian sahabatnya, dan juga mengisahkan pemakaman Enkidu.[25] Lauh IX hingga XI menceritakan bagaimana Gilgamesh dirundung duka dan rasa takut atas ajal. Ia lalu berkelana untuk mencari rumah Utnapishtim, satu-satunya orang yang selamat dari Air Bah, yang telah dihadiahi kehidupan abadi oleh para dewa.[25][38]
Perjalanan untuk menemui Utnapishtim tidaklah mudah dan Gilgamesh harus menghadapi berbagai tantangan. Awalnya tantangan-tantangan tersebut mungkin merupakan bagian dari kisah petualangannya sendiri, tetapi dalam epos ini kisah tersebut sudah menjadi "insiden yang cukup tidak berbahaya" menurut Joseph Eddy Fontenrose. Pertama-tama Gilgamesh menjumpai singa-singa di jalur gunung dan lalu membunuhnya. Setelah mencapai gunung Mashu, Gilgamesh berjumpa dengan seorang manusia kalajengking dan istrinya. Tubuh mereka mengeluarkan sinar terang yang amat menakutkan, tetapi setelah Gilgamesh memberitahu kepada mereka maksud dari kedatangannya, mereka mengizinkan Gilgamesh lewat. Gilgamesh melalui kegelapan selama dua belas hari sebelum akhirnya kembali ke wilayah yang terang. Ia berjumpa dengan kebun yang indah di pinggir laut, dan di situ ia bertemu dengan dewi Siduri. Pada mulanya Siduri mencoba mencegat Gilgamesh agar ia tidak memasuki kebun tersebut. Sesudah itu Siduri mencoba meyakinkan Gilgamesh agar ia mau menerima kematian sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dan tidak meneruskan perjalanannya menyeberangi lautan. Gilgamesh menolaknya, dan Siduri pun mengarahkannya untuk bertemu dengan Urshanabi, pendayung para dewa. Sang pendayung membawa Gilgamesh menyeberangi lautan menuju tanah air Utnapishtim.[38] Setelah Gilgamesh tiba di tempat tersebut, Utnapishtim memberitahukan kepadanya bahwa untuk memperoleh kehidupan abadi, ia harus berhenti tidur. Gilgamesh gagal melakukan hal tersebut dan tertidur selama tujuh hari penuh.[25]
Sesudah itu, Utnapishtim memberitahukan kepadanya bahwa walaupun ia tidak bisa hidup abadi, ia bisa kembali muda dengan khasiat sebuah tumbuhan. Gilgamesh mengambil tumbuhan tersebut, tetapi meninggalkannya di pantai saat sedang berenang. Tumbuhan tersebut kemudian dicuri oleh seekor ular, dan hal ini menjadi penjelasan mengapa ular bisa mengganti kulitnya.[25][18] Gilgamesh merasa putus asa dan kembali ke Uruk,[25] dan menunjukkan kotanya kepada sang pendayung Urshanabi.[25] Pada momen ini Epos Gilgamesh tidak lagi memiliki narasi yang koheren.[25][18][39] Lauh XII adalah bagian tambahan yang terkait dengan puisi Sumeria Gilgamesh, Enkidu, dan Dunia Bawah, yang menceritakan kisah hilangnya pikku dan mikku.[25][18][39] Berbagai unsur dalam narasinya tampak menyimpang dari unsur-unsur yang sudah ditetapkan dalam kisah-kisah sebelumnya. Pada permulaan Lauh XII, Enkidu masih hidup, padahal ia sudah mati dalam Lauh VII. Gilgamesh juga berbaik hati kepada Ishtar, padahal mereka menjadi musuh bebuyutan dalam Lauh VI. Selain itu, walaupun sebagian besar bagian dari epos ini memang diadaptasi dari kesusasteraan Sumeria, Lauh XII merupakan terjemahan harfiah dari bagian terakhir puisi Gilgamesh, Enkidu, dan Dunia Bawah.[39] Maka dari itu, para ahli menyimpulkan bahwa narasi ini mungkin diletakkan di bagian akhir karena tidak sesuai dengan narasi secara keseluruhan.[25][18][39] Di bagian tersebut, Gilgamesh melihat penampakan hantu Enkidu, yang berjanji akan mengembalikan barang-barang Gilgamesh yang hilang dan menceritakan keadaan di Dunia Bawah kepada temannya tersebut.[25][22]
Dalam karya seni Mesopotamia
Walaupun kisah mengenai Gilgamesh sangat populer di Mesopotamia kuno, karya seni kuno yang menggambarkannya sangat jarang ditemukan. Tulisan-tulisan populer menyebutkan bahwa Gilgamesh digambarkan sebagai seorang pahlawan dengan rambut panjang dengan empat atau enam ikal, tetapi pernyataan ini terbukti salah. Meskipun begitu, terdapat segelintir karya seni Mesopotamia kuno yang benar-benar menggambarkan Gilgamesh. Karya-karya ini biasanya berupa lempengan tanah liat atau cap gelinding. Pada umumnya, tokoh yang digambarkan dalam suatu karya seni hanya dapat dikenali sebagai Gilgamesh jika karya tersebut jelas-jelas menggambarkan salah satu adegan dari Epos Gilgamesh. Contohnya adalah karya-karya seni yang menggambarkan Gilgamesh dan Enkidu bertarung melawan raksasa (kemungkinan besar Humbaba). Karya-karya lain menggambarkan sepasang pahlawan yang berhadapan dengan seekor banteng raksasa bersayap (kemungkinan besar Banteng Surgawi).[40]
Tinggalan sejarah
Zaman kuno
Epos Gilgamesh sangat memengaruhi Iliad dan Odisseus, dua epos yang ditulis dalam bahasa Yunani Kuno pada abad kedelapan SM.[42][41][43][44] Menurut sejarawan Amerika Barry B. Powell, orang Yunani kuno mungkin memperoleh keterangan mengenai tradisi lisan Mesopotamia dari hubungan mereka dengan peradaban-peradaban di Timur Dekat.[6] Sejarawan Jerman Walter Burkert berpendapat bahwa kisah dalam Lauh VI Epos Gilgamesh tentang Ishtar dan Gilgamesh mirip dengan kisah dalam Buku V Iliad.[45] Dalam buku tersebut, Afrodit dilukai oleh seorang pahlawan yang bernama Diomedes. Ia melarikan diri ke Gunung Olimpus, menangis di hadapan ibunya Dione, dan ditegur oleh ayahnya Zeus.[45]
Powell berpendapat bahwa pembukaan Odisseus tampaknya menyerupai pembukaan Epos Gilgamesh.[29] Selain itu, alur cerita Odisseus juga mirip dengan Epos Gilgamesh.[46][47] Gilgamesh dan Odisseus sama-sama bertemu dengan seorang wanita yang bisa mengubah manusia menjadi hewan: Ishtar (dalam kisah Gilgames) dan Kirke (dalam kisah Odisseus).[46] Dalam epos Odisseus, Odisseus membutakan raksasa Kiklops yang bernama Polifemos, mirip dengan kisah Gilgamesh yang membunuh Humbaba dalam Epos Gilgamesh.[41] Gilgamesh dan Odiseus sama-sama pernah mengunjungi di dunia bawah. Mereka sama-sama tidak bahagia saat tinggal di dunia lain yang seperti surga walaupun ada seorang wanita yang sangat menawan: Siduri (dalam cerita Gilgames) dan Kalipso (dalam kisah Odisseus). Selain itu, kedua pahlawan ini sama-sama mendapatkan kesempatan untuk memperoleh kehidupan abadi, tetapi gagal mewujudkannya (Gilgamesh saat kehilangan tumbuhan peremaja dan Odisseus saat ia meninggalkan pulau Kalipso).[46]
Dalam gulungan Qumran yang dikenal dengan sebutan Buku Raksasa (sekitar 100 SM), nama Gilgamesh dan Humbaba muncul sebagai nama dua raksasa pada masa sebelum air bah,[48][49] yang ditulis (dalam bentuk konsonantal) glgmš dan ḩwbbyš. Naskah yang sama digunakan oleh penganut Maniisme di Timur Tengah, dan Gilgamish/Jiljamish dalam bahasa Arab digunakan sebagai nama salah satu setan oleh seorang ulama Mesir As-Suyuthi (sekitar 1500).[48]
Kisah kelahiran Gilgamesh tidak tercatat dalam teks Sumeria atau Akkadia yang telah ditemukan oleh para arkeolog.[40] Walaupun begitu, terdapat kisah kelahiran yang tercatat dalam De Natura Animalium (Tentang Hakikat Hewan) 12.21 yang ditulis dalam bahasa Yunani Kuno pada kisaran tahun 200 M oleh orator Romawi-Yunani Aelianus.[50][40] Menurut kisah Aelianus, seorang peramal memberikan nubuat kepada Raja Seuechoros dari Babilonia bahwa cucunya, Gilgamos, akan melengserkannya. Untuk mencegah hal ini, Seuechoros mengawasi putri semata wayangnya di Akropolis kota Babilon, tetapi sang putri hamil. Karena takut sang raja akan murka, para penjaga melempar bayinya dari atas menara. Seekor elang menyelamatkan bayi itu saat sedang terbang dan membawanya ke sebuah kebun buah-buahan. Penjaga kebun tersebut menemukan bayi laki-laki itu dan memberinya nama Gilgamos (Γίλγαμος). Pada akhirnya Gilgamos kembali ke Babilon, menjatuhkan kakeknya dari takhta, dan menyatakan dirinya sebagai raja. Kisah kelahiran yang diceritakan oleh Aelianus menyerupai legenda kelahiran lainnya dalam mitologi Timur Dekat, seperti legenda kelahiran Sargon dari Akkadia, Musa, dan Koresh yang Agung.[40]
Pada kisaran tahun 600 M, Theodore Bar Konai yang menulis dalam bahasa Suryani menyebut nama Raja Gligmos, Gmigmos, atau Gamigos sebagai yang terakhir dari garis keturunan dua belas raja; hal ini dianggap mirip dengan garis keturunan para patriark dari Peleg hingga Abraham.[51][52]
Penemuan kembali
Pada tahun 1880, pakar sejarah Asiria George Smith (kiri) menerbitkan terjemahan Lauh XI Epos Gilgamesh (kanan) yang berisi tentang mitos Air Bah.[53] Penerbitan ini menarik perhatian para pakar dan juga perdebatan akibat kemiripannya dengan mitos Air Bah dalam Kitab Kejadian.[54]
Teks Epos Gilgamesh dalam bahasa Akkadia pertama kali ditemukan pada tahun 1849 di Perpustakaan Ashurbanipal di Niniwe oleh arkeolog Inggris Austen Henry Layard.[8][28][13] Layard saat itu sedang mencari bukti yang dapat menunjukkan bahwa kisah dalam Perjanjian Lama merupakan peristiwa sejarah, dan pada masa itu Perjanjian Lama juga dianggap sebagai teks tertua di dunia. Namun, hasil penggaliannya malah menemukan keberadaan teks Mesopotamia yang jauh lebih tua, dan penemuan ini juga menimbulkan dugaan bahwa berbagai kisah dalam Perjanjian Lama diambil dari mitos yang sudah ada terlebih dahulu di wilayah Timur Dekat.[8] Terjemahan pertama Epos Gilgamesh dibuat pada awal dasawarsa 1870-an oleh George Smith, seorang pakar di British Museum,[53][55][56] dan pada tahun 1880 ia menerbitkan kisah air bah dari Lauh XI dengan judul The Chaldean Account of Genesis. Pada awalnya terjadi kesalahan dalam upaya untuk membaca nama Gilgamesh, alhasil nama yang dipakai dalam naskah tersebut adalah Izdubar.[53]
Epos Gilgamesh lantas menarik perhatian akibat keberadaan kisah air bah dalam Lauh XI. Kisah ini memicu perdebatan yang sengit di kalangan pakar, sementara bagian yang lainnya dari epos ini malah diabaikan.[57] Epos ini sangat menarik perhatian di negara-negara berbahasa Jerman,[58] dengan kontroversi yang terkait dengan hubungan antara Babel und Bibel ("Babilon dan Alkitab").[59] Pada Januari 1902, sejarawan Jerman Friedrich Delitzsch menyampaikan kuliah umum di Sing-Akademie zu Berlin di hadapan KaisarWilhelm II dan istrinya. Ia berpendapat bahwa kisah Air Bah dalam Kitab Kejadian disalin secara langsung dari Epos Gilgamesh. Ia juga sempat menggelar kuliah umum kedua mengenai keterkaitan antara Undang-undang Hammurabi dengan Hukum Musa. Kuliah umum yang disampaikan Delitzsch sangat memicu kontroversi. Pada September 1903, terdapat 1.350 artikel pendek dari koran dan jurnal, lebih dari 300 artikel panjang, dan 28 selebaran yang ditulis untuk menanggapi kuliah umumnya. Artikel-artikel ini sangat mengkritik Delitzsch. Sang kaisar menjauhkan dirinya dari pendapat Delitzsch yang radikal. Pada musim gugur tahun 1904, Delitzsch terpaksa menggelar kuliah umum ketiganya di Köln dan Frankfurt am Main alih-alih di Berlin. Delitzsch kemudian menerbitkan sebuah buku yang berjudul Die große Täuschung pada tahun 1920–21 dengan argumen bahwa Alkitab Ibrani sudah "dikontaminasi" oleh pengaruh dari Babilonia. Ia mengklaim bahwa orang Kristen baru dapat mengimani pesan Arya dalam Perjanjian Baru jika Perjanjian Lama yang dibuat oleh manusia dihapuskan dari Alkitab.[57]
Penafsiran pada zaman modern awal
Adaptasi modern pertama Epos Gilgamesh adalah buku puisi Ishtar dan Izdubar (1884) karya Leonidas Le Cenci Hamilton, seorang pengacara dan niagawan Amerika Serikat. Hamilton mempelajari dasar bahasa Akkadia dari buku Assyrian Grammar for Comparative Purposes (1872) karya Archibald Sayce. Isi buku Hamilton sangat bergantung pada terjemahan Epos Gilgamesh versi Smith, walaupun ia juga mengubah berbagai unsur cerita. Sebagai contoh, Hamilton tidak memasukkan bagian air bah sama sekali dan lebih memusatkan perhatiannya pada hubungan antara Ishtar dan Gilgamesh. Ishtar dan Izdubar menambah jumlah baris yang awalnya hanya sekitar 3.000 menjadi sekitar 6.000 baris yang dikelompokkan menjadi 48 canto. Hamilton juga mengubah sebagian besar tokohnya dan menambahkan adegan baru yang tidak ada dalam epos aslinya.[60] Ia sangat dipengaruhi oleh buku Rubaiyat of Omar Khayyam karya Edward FitzGerald dan The Light of Asia karya Edwin Arnold,[61] sehingga tokoh-tokoh dalam cerita Hamilton berpakaian seperti orang Turki pada abad ke-19.[62] Hamilton juga mengganti suasana eposnya dari "realisme suram" dan "tragedi ironis" menjadi "optimisme riang" yang dipenuhi dengan "cinta" dan "keselarasan".[63]
Dalam buku Das Alte Testament im Lichte des alten Orients yang diterbitkan tahun 1904, sejarawan Jerman Alfred Jeremias menyamakan Gilgamesh dengan Raja Nimrod dari Kitab Kejadian. Ia juga berpendapat bahwa kekuatan Gilgamesh berasal dari rambutnya, sama seperti Simson dalam Kitab Hakim-hakim. Ia juga meyakini bahwa Gilgamesh pernah melakukan Dua Belas Tugas seperti Herakles dalam mitologi Yunani. Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul Das Gilgamesch-Epos in der Weltliteratur (1906), tokoh Orientalis Peter Jensen menyatakan bahwa Epos Gilgamesh merupakan sumber dari segala kisah dalam Perjanjian Lama, dan ia berpendapat bahwa Musa adalah "Gilgamesh Kitab Keluaran yang menyelamatkan anak-anak Israel dari keadaan yang juga dihadapi oleh penghuni Erech pada permulaan epos Babilonia." Ia lalu mengungkapkan pendapatnya bahwa Abraham, Ishak, Simson, Daud, dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya merupakan tiruan dari tokoh Gilgamesh. Ia bahkan mengatakan bahwa Yesus "tidak lebih dari Gilgamesh Orang Israel. Tak lain dari sekadar tambahan dari Abraham, Musa, dan masih banyak tokoh lainnya dalam kisah ini."[64] Pandangan semacam ini dikenal dengan sebutan panbabilonianisme, dan kebenaran dari ideologi ini dibantah oleh para ahli.[65] Kritikus panbabilonianisme yang paling lantang berasal dari kelompok Religionsgeschichtliche Schule. Hermann Gunkel menyatakan bahwa pendapat Jensen hanya mencari sensasi.[66] Ia menyimpulkan bahwa Jensen dan orang-orang lain sepertinya tidak mampu memahami kerumitan dalam bidang ilmu yang mengkaji Perjanjian Lama, dan menurutnya Jensen telah membingungkan para ahli dengan "kesalahan yang terang-terangan dan penyimpangan yang luar biasa".[65]
Di negara-negara berbahasa Inggris, penafsiran yang paling banyak diterima pada awal abad ke-20 pertama kali dicetuskan oleh Sir Henry Rawlinson, yang meyakini bahwa Gilgamesh adalah seorang "pahlawan matahari" dan tindakannya melambangkan pergerakan matahari. Ia juga berpendapat bahwa dua belas lauh yang menceritakan Epos Gilgamesh mengacu kepada dua belas simbol zodiak Babilonia.[67] Psikolog Jerman Sigmund Freud (yang mengikuti teori James George Frazer dan Paul Ehrenreich) berpendapat bahwa hubungan antara Gilgamesh dan Enkidu melambangkan hubungan antara lelaki dengan nafsu birahinya. Ia juga menganggap Enkidu sebagai lambang plasenta, "saudara kembar lebih lemah" yang meninggal sesaat setelah terlahir.[68] Sahabat dan murid Freud, Carl Jung, sering kali membahas Gilgamesh dalam karyanya Symbole der Wandlung (1911–1912). Sebagai contoh, ia menyebut ketertarikan Ishtar kepada Gilgamesh sebagai contoh nafsu birahi seorang ibu terhadap putranya. Humbaba menjadi contoh sosok ayah yang penindas yang harus dikalahkan oleh Gilgamesh, dan Gilgamesh sendiri adalah contoh seorang lelaki yang lupa akan kebergantungannya pada alam bawah sadar. Ia pun dihukum oleh para "dewa" yang merupakan lambang ketidaksadaran.[69]
Pengaruh terhadap kebudayaan modern
Seusai Perang Dunia II, Gilgamesh yang awalnya hanya dikenal oleh segelintir pakar mulai menjadi populer di khalayak umum.[70][56] Tema eksistensial dalam Epos Gilgamesh dianggap menarik oleh para penulis Jerman pada masa seusai perang. Penulis Jerman Hermann Kasack dalam novel eksistensialisnya, Die Stadt hinter dem Strom (1947), mengambil berbagai unsur dalam Epos Gilgamesh untuk dijadikan metafor kehancuran di Jerman seusai perang. Ia menggambarkan kota Hamburg yang luluh lantah dengan metafor Dunia Bawah yang menakutkan yang dilihat oleh Enkidu dalam mimpinya. Sementara itu, dalam mahakarya Hans Henny Jahnn yang berjudul Fluß ohne Ufer (1949–1950), bagian tengah triloginya berkisah tentang seorang komponis yang terlibat dalam hubungan homoerotik selama 20 tahun yang serupa dengan hubungan Gilgamesh dengan Enkidu. Mahakarya sang komponis pun ternyata juga merupakan sebuah simfoni yang berkenaan dengan Gilgamesh.[56]
Sebuah drama radio karya Douglas Geoffrey Bridson yang berjudul The Quest of Gilgamesh (1953) membantu memopulerkan Epos Gilgamesh di Britania. Di Amerika Serikat, Charles Olson memuji epos ini dalam puisi dan esainya, sedangkan Gregory Corso meyakini bahwa epos tersebut berisi kebajikan yang dapat membantu menyembuhkan kemerosotan moral pada masa modern. Sementara itu, novel Gilgamesch (1966) karya Guido Bachmann menjadi "sastra queer" klasik Jerman dan memulai tren sastra yang menggambarkan Gilgamesh dan Enkidu sebagai sepasang kekasih. Tren ini sangat populer sampai-sampai Epos Gilgamesh dimasukkan ke dalam The Columbia Anthology of Gay Literature (1998). Pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, kritikus feminis menganalisis Epos Gilgamesh dan menjadikannya sebagai bukti transisi dari matriarki menuju patriarki modern. Seiring dengan menyebarnya Gerakan Hijau di Eropa, kisah Gilgamesh mulai dipandang dari sudut pandang lingkungan, dan kematian Enkidu dianggap sebagai simbol terpisahnya manusia dari alam.[56]
Seorang pakar kesusasteraan modern yang bernama Theodore Ziolkowski menyatakan bahwa "tidak seperti tokoh-tokoh lainnya dari mitos, sastra, dan sejarah, Gilgamesh telah menjadi sosok tersendiri atau hanya sekadar nama, sering kali terpisah dari konteks eposnya. (Contoh yang menjadi analogi adalah Minotauros atau monster Frankenstein)."[72]Epos Gilgamesh telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan juga sering menjadi buku yang harus dibaca dalam kelas sastra dunia di Amerika Serikat.[73] Banyak penulis yang terilhami dari epos tersebut, seperti Joan London dalam novelnya Gilgamesh (2001).[74][56] Di dalam novel The Great American Novel (1973) karya Philip Roth, terdapat seorang tokoh yang bernama "Gil Gamesh". Ia adalah seorang pitcher ternama dalam sebuah regu bisbol fiktif tahun 1930-an yang disebut "Patriot League". Gil Gamesh yakin bahwa ia tidak pernah bisa kalah. Ia mengamuk saat wasit mengambil keputusan yang tidak menguntungkannya, dan ia lalu diusir dari olahraga bisbol. Ia melarikan diri ke Uni Soviet, dan di situ ia menjalani pelatihan sebagai mata-mata. Gil Gamesh belakangan muncul lagi dalam novel tersebut sebagai salah satu mata-mata Josef Stalin.[74]
Semenjak akhir abad ke-20, Epos Gilgamesh mulai dibaca lagi di Irak.[75] Mantan Presiden IrakSaddam Hussein mengagumi Gilgamesh.[76]Novel pertamanya yang berjudul Zabibah wal-Malik (2000) merupakan alegoriPerang Teluk dengan latar di Asiria kuno yang memadukan unsur Epos Gilgamesh dengan Seribu Satu Malam.[77] Seperti Gilgamesh, sang raja pada permulaan novel tersebut adalah penguasa lalim yang menindas rakyatnya.[78] Walaupun begitu, berkat bantuan dari seorang wanita jelata yang bernama Zabibah, ia menjadi penguasa yang lebih adil.[79] Ketika Amerika Serikat menekan Saddam Hussein agar ia turun dari tampuk kekuasaan pada Februari 2003, Hussein berpidato di hadapan jenderal-jenderalnya dan membandingkan dirinya dengan Gilgamesh.[75]
Black, Jeremy; Green, Anthony (1992), Gods, Demons and Symbols of Ancient Mesopotamia: An Illustrated Dictionary, Austin, Texas: University of Texas Press, hlm. 166–168, ISBN978-0-7141-1705-8
Burkert, Walter (1992), The Orientalizing Revolution: Near Eastern Influence on Greek Culture in the Early Archaic Age, diterjemahkan oleh Margaret E. Pinder dan Walter Burkert, Cambridge: Harvard University Press, ISBN978-0674643642
Burkert, Walter (2005), "Chapter Twenty: Near Eastern Connections", dalam Foley, John Miles, A Companion to Ancient Epic, New York City, New York and London, England: Blackwell Publishing, ISBN978-1-4051-0524-8, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-05, diakses tanggal 2019-07-21
Delorme, Jean (1981) [1964], "The Ancient World", dalam Dunan, Marcel; Bowle, John, The Larousse Encyclopedia of Ancient and Medieval History, New York City, New York: Excaliber Books, ISBN978-0-89673-083-0
Mark, Joshua J. (29 March 2018), "Gilgamesh", ancient.eu, Ancient History Encyclopedia, diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-11, diakses tanggal 2019-07-21
Wolkstein, Diane; Kramer, Samuel Noah (1983), Inanna: Queen of Heaven and Earth: Her Stories and Hymns from Sumer, New York City, New York: Harper&Row Publishers, ISBN978-0-06-090854-6
Ackerman, Susan (2005), When Heroes Love: The Ambiguity of Eros in the Stories of Gilgamesh and David, New York City, New York: Columbia University Press, ISBN978-0-231-50725-7
Gmirkin, Russell E (2006). Berossus and Genesis, Manetho and Exodus. New York: T & T Clark International.
Hammond, D.; Jablow, A. (1987). "Gilgamesh and the Sundance Kid: the Myth of Male Friendship". Dalam Brod, H. The Making of Masculinities: The New Men's Studies. Boston. hlm. 241–258.