Mitos Pribumi Malas (bahasa Inggris: The Myth of the Lazy Native) adalah buku karangan ilmuwan dan politisi Malaysia, Syed Hussein Alatas. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1977 dalam bahasa Inggris oleh Frank Cass & Co. LP3ES menerbitkan terjemahan bahasa Indonesia pada tahun 1987, yang kemudian diadaptasi ke bahasa Melayu tahun 1989 dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka.
Dalam Mitos Pribumi Malas, Syed Hussein Alatas menyebutkan bahwa citra pribumi pemalas adalah persepsi yang disebarkan oleh orientalis Barat, sebagai pembenaran buat eksploitasi sumber daya pribumi di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.[1] Alatas menolak pendapat para pemimpin UMNO, partai yang mendominasi politik Malaysia sejak kemerdekaannya, bahwa keterbelakangan Malaysia disebabkan oleh kemalasan warga negara Melayu, terutama dalam kerja fisik. Alatas menuduh para politisi Malaysia yang menciptakan generalisasi ini tunduk terhadap ideologi kapitalis kolonial.[2]
Edisi bahasa Melayu
Buku ini diadaptasi ke bahasa Melayu dengan judul Mitos Peribumi Malas. Edisi bahasa Melayu buku ini memiliki perbedaan penting dibandingkan versi aslinya dan terjemahan Indonesia. Adaptasi Melayu cenderung menekankan keasingan etnis Tionghoa dan India di Malaysia, dan memperkuat kritik terhadap Mahathir Mohammad, yang menjabat perdana menteri Malaysia saat penerbitannya. Di sisi lain, kritik terhadap UMNO cenderung dikurangi dan dilemahkan. [3].
Isi buku
Buku ini memusatkan perhatian kepada orang Jawa (di Indonesia), Melayu (di Malaysia) dan Filipina dalam kurun abad ke-16 sampai abad ke-20. Pada saat itu, ketiga negara dijajah oleh penjajah yang berbeda-beda: Belanda, Inggris, dan Spanyol. Ledakan kolonialisme pada abad ke-19 diiringi oleh kecenderungan intelektual yang mencari-cari pembenaran atas gejala tersebut. Pada saat itu, para penjajah menggambarkan orang pribumi dari ketiga daerah jajahan itu sebagai orang lamban, dungu, terbelakang, curang, berinteligensi tidak lebih dari anak-anak umur 12-14 di Eropa.[4]
Alatas mengutip Denys Lombard, yang dalam buku Nusa Jawa menyebutkan pandangan para pejabat kolonial yang heran mengapa orang-orang pribumi banyak membuang-buang waktu dengan bersantai, bukannya menyelesaikan pekerjaannya. Namun Lombard menyimpulkan bahwa citra pemalas tersebut bukanlah sifat inheren pribumi. Alatas berargumen bahwa yang dianggap oleh penguasa kolonial sebagai sifat malas dari masyarakat pribumi justru merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Dokumen-dokumen Belanda sejak abad ke-17 hingga 18 amat sedikit menyinggung soal kemalasan pribumi. Setelah diterapkannya sistem tanam paksa pada 1830 baru mulailah bermunculan tuduhan-tuduhan dari pihak penjajah, betapa pemalasnya masyarakat Jawa.[5]
Citra pribumi malas ini segera hilang ketika masyarakat Melayu, Jawa, dan Filipina merdeka. Namun di Malaysia, citra tersebut dipertahankan, misalnya lewat brosur Revolusi Mental yang diterbitkan UMNO tahun 1971. Dalam brosur tersebut, masyarakat Melayu disebut kurang berani memperjuangkan kebenaran, bersifat fatalistis, tidak rasional, lebih sering mengikuti perasaaan, tidak disiplin dan tidak menepati janji, ingin lekas kaya tanpa berusaha, dan seterusnya. Alatas berpendapat bahwa citra yang disebarkan lewat brosur tersebut mencerminkan kemiskinan intelektual penulisnya[4]
Referensi